Jakarta Maghrib merupakan film Indonesia yang dirilis pada 4 Desember 2010. Film ini disutradarai oleh Salman Aristo serta dibintangi antara lain oleh Indra Birowo, Widi Mulia,Asrul Dahlan, Sjafrial Arifin, Lukman Sardi, Ringgo Agus Rahman, Deddy Mahendra Desta, Fanny Fabriana, Lilis, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, dan Aldo Tansani.
Film Jakarta Maghrib merangkum “Maghrib” sebagai waktu spesial yang telah lama menebar berbagai anggapan ke tengah masyarakat. Ia berusaha menangkap maghrib bukan saja sebagai fenomena relijius tetapi sebagai bagian yang khas dari masyarakat urban Jakarta, lalu menyusunnya kedalam lima tautan cerita sebagai strategi penyampaian narasinya.
Seusai menonton Jakarta Maghrib, perasaan yang sama kembali terulang. Film ini hangat. Akrab. Meskipun saya tidak hidup di ibukota, tapi harus diakui bahwa Salman Aristo pintar menggali keseharian dan hubungan personal antar manusia menjadi nyaman untuk disaksikan. Walau sekali lagi-----sekasus dengan Jakarta Hati, film ini juga bukan film luar biasa. Sehabis menyaksikan, banyak pemikiran menarik yang ingin saya utarakan (segmen per segmen). Ini dia.
Iman Cuma Ingin Nur
Iman Cuma Ingin Nur adalah bagian dari film Jakarta Maghrib yang berusaha menangkap ruang personal dari warga Jakarta: rumah tangga.
Plot Iman (Indra Birowo) hanya punya satu keinginan: bercinta dengan Nur (Widi Mulia), istrinya. Iman orang Sidoarjo. Nur asli Betawi. Penat tiga hari lembur akibat bayi mereka sakit, rasanya akan terbayar dengan seks yang melegakan. Hanya saja, gabungan Maghrib dan mertua membawa Iman dan Nur ke sudut yang lain dalam hubungan mereka.
Sebenarnya segmen pertama ini bukanlah segmen dengan durasi terpendek (durasi terpendek adalah Adzan) namun entah kenapa saya merasa segmen ini sekedar hanya melintas. Iman Cuma Ingin Nur menunjukkan potret masyarakat kelas bawah (Iman adalah satpam) dan suatu waktu dimana ia terdesak kebutuhan seksualnya pada sang istri, Nur. Maghrib kemudian "memaksa" mereka untuk tidak sempat menuntaskan kepuasan birahi masing-masing karena pantangan dan kepercayaan yang dipegang sejak lama.
Dalam satu dialog yang memperlihatkan Nur bilang "lagipula emang anak ga boleh tidur kalau maghrib begini" serta batalnya mereka melakukan hubungan seks, menandakan kelas bawah memaknai maghrib sebagai "sesuatu yang tidak boleh diganggu gugat" karena itu salah satu momen religius, tampak dalam gambaran Iman dan Nur yang patuh mengikuti pola pikir seperti itu. Meski segmen pembuka ini tidak buruk, sebenarnya saya mengharapkan sesuatu yang lebih lagi ketimbang hanya berlalu belaka. Tapi buat sebuah gerbang masuk menuju segmen selanjutnya, ya bolehlah.
Dalam satu dialog yang memperlihatkan Nur bilang "lagipula emang anak ga boleh tidur kalau maghrib begini" serta batalnya mereka melakukan hubungan seks, menandakan kelas bawah memaknai maghrib sebagai "sesuatu yang tidak boleh diganggu gugat" karena itu salah satu momen religius, tampak dalam gambaran Iman dan Nur yang patuh mengikuti pola pikir seperti itu. Meski segmen pembuka ini tidak buruk, sebenarnya saya mengharapkan sesuatu yang lebih lagi ketimbang hanya berlalu belaka. Tapi buat sebuah gerbang masuk menuju segmen selanjutnya, ya bolehlah.
Adzan
Adzan adalah bagian dari film Jakarta Maghrib yang berkisah tentang ruang religiusitas dan kontemplasi warga Jakarta.
Plot Baung (Asrul Dahlan) adalah pemuda kelahiran Jakarta, seorang preman. Pak Armen (Sjafrial Arifin) asal Solok, Sumatera Barat, adalah seorang marbot atau penjaga mushola dan pemilik warung. Keduanya ada di sebuah kampung yang musholanya bersih tapi sepi pengunjung. Suatu sore, setelah malam yang mabuk bagi Baung, mereka bercakap-cakap di warung Pak Armen. Mulai dari pekerjaan sampai kematian. Beberapa menit menjelang Maghrib, sesuatu terjadi pada Pak Armen. Sesuatu yang membuat Baung menangis. Sesuatu yang membuat warga kampung berbaris marah menuju mushola.
Adzan juga merupakan segmen dimana Maghrib diidentifikasi sebagai momen religius yang sakral, namun bila segmen pertama memotret sepasang suami-istri dengan konflik kecil, Adzan menabrakkan dua orang dengan jurang pemikiran yang saling berbeda------seorang pemabuk dan seorang penjaga warung yang taat adzan di mushola. Konflik tentang dua orang yang berbeda tabiat inilah yang membuat Adzan meskipun durasinya lebih pendek dari segmen pertama, menyimpan kepentingan cerita yang lebih kuat dan menarik untuk disaksikan. Seperti dalam sinetron atau ftv religi umumnya, kita sering menemui situasi preman (orang zalim) bertemu ustadz (orang alim) dan bisa tertebak pula kemana arah segmen ini akan berorientasi. Pertobatan atau kembali ke jalan yang benar adalah isu yang dikemukakan segmen ini, walau tetap saya merasa kasusnya sama dengan segmen pertama : terlalu pendek, kesannya malah tergesa-gesa padahal ada beberapa adegan yang harusnya diberi pace lebih lambat dan mengalir. Meski begitu, segmen ini memang punya makna yang lancar sekaligus sindiran yang tepat guna, coba lihat diakhir cerita dimana para warga merasa terganggu dengan adzan dan akhirnya memilih mendatangi mushola. Padahal biasanya mereka tidak pernah hirau, namun karena seseorang yang dianggap pendosa "melecehkan" tempat agama, mereka pun langsung sigap bertindak. Satir macam ini yang dengan mulus membuat Adzan-----terlepas dari kekurangannya, menjadi segmen yang membuat kita merefleksi ulang kaitannya dengan potret sosial masyarakat yang urakan juga tentang permasalahan oknum-oknum agama dewasa ini. Jempol untuk Salman Aristo.
Menunggu Aki
Menunggu Aki adalah bagian dari film Jakarta Maghrib yang menceritakan tentang interaksi antar warga kota Jakarta.
Plot Di sebuah kompleks perumahan, Aki selalu ditunggu. Dia selalu datang sehabis Maghrib menjajakan nasi goreng yang diakui sebagai salah satu yang terenak. Karena tungkunya menggunakan arang. Nasi pun jadi gurih tiada tara. Membuat para penghuni selalu berkumpul. Namun hari itu Aki tidak datang. Para penghuni kompleks pun ‘terpaksa’ berkenalan satu sama lain. Mengenali diri masing-masing. Sampai Maghrib tiba mereka kembali menjadi warga Jakarta sejati: individualistis.
Ini segmen terbaik menurut saya. Menunggu Aki adalah cerminan masyarakat kelas menengah-----bahkan bisa lebih jauh sebenarnya sedang mempresentasikan generasi masyarakat kota besar sekarang ini. Menunggu Aki adalah tentang bagaimana keadaan "mendesak" kita untuk berbaik hati basa-basi dengan tetangga sebelah, karena selama ini rutinitas (dan pola pikir diri sendiri) tidak mengindahkan untuk menyisakan waktu berramah-tamah dengan lingkungan sekitar. Di era teknologi, dimana masyarakatnya dikatakan sebagai "generasi menunduk" dan menjadi lebih individualistis, kebutuhan orang untuk berjumpa dan berkenalan dengan orang baru sudah diambil alih oleh social media, dan bahkan disana lebih menguntungkan karena kita bebas memilih siapa saja untuk berkenalan. Adalah lucu bagaimana sikap individualistis manusia di jaman modern suatu hari mesti terkalahkan oleh momen tak disengaja : ketika menunggu abang langganan nasi goreng tak kunjung tiba. Segmen ini sangat-sangat keseharian, kamu pasti pernah menemukan terjebak secara tidak sengaja saat mengantri makanan dan akhirnya mulai mengobrol dengan orang asing disebelahmu. Salman Aristo membedah keunikan itu menjadi lebih jauh lagi : ia juga menyeret dan sedang menyindir fakta-fakta di lapangan tentang sifat generasi masyarakat kota besar. Pada percakapan orang-orang itu kita bisa melihat bagaimana obrolan mereka terasa saling pas, seperti sebuah kelompok yang mewacanakan sesuatu dan saling cocok. Ketika kemudian satu tokoh mengusulkan untuk "merealisasikan" inti obrolan mereka waktu itu, semua langsung emoh. Itulah letak kelucuannya. Sebenarnya Salman Aristo sedang menyindir generasi omong doang seperti kita, yang hanya tekun sebatas status atau tweet belaka, namun ciut dalam tindakan nyata. Segmen ini dibuka dan ditutup dengan sangat bagus, dengan interpretasi yang dapat saya tangkap dengan lengkap. Setiap gerak-gerik, kecanggungan antar karakter saat bercakap malah merupakan kelebihan segmen ini, karena itu sebenarnya sedang mencirikan realita yang kita hadapi bila tidak sengaja mesti terjebak bersama orang asing. Disini juga kamera menggunakan metode long shot yang menarik, bergerak menyorot satu persatu tokoh yang kemudian semuanya saling berkumpul. Saat kamera mengamati mereka saling bercakap, ada perasaan akrab yang ikut menyelimuti, seakan kita juga merupakan salah satu orang asing yang ikut asyik melebur didalamnya. Namun begitu pula basa-basi yang harus diakhiri, ketika di akhir cerita maghrib menyapa, seorang demi seorang mulai pamit pulang. Maghrib dimaknai sebagai bel pulang pengingat bahwa manusia kembali saling mengasingkan diri, saling melepas ikatan sosial satu sama lain.
Jalan Pintas
Jalan Pintas adalah bagian dari film Jakarta Maghrib yang menceritakan cuplikan kaum muda Jakarta yang terkurung dalam ruang hubungan antar personalnya
Plot Dua orang anak muda. Laki-laki (Reza Rahadian) dan perempuan (Adinia Wirasti). Mempertaruhkan hubungan pacaran selama tujuh tahun dalam mobil di tengah rumitnya tata kota Jakarta. Mereka berkejaran dengan adzan Maghrib. Sebab si Cewek menargetkan mereka harus sampai sebelum Maghrib di tempat pernikahan kerabat. Ada misi ‘jalan pintas’ yang mereka kejar agar mereka sendiri juga bisa dipercaya dan mendapat izin menikah.
Cerita Si Ivan
Cerita Si Ivan adalah bagian dari film Jakarta Maghrib yang menggambarkan salah satu potret anak-anak Jakarta dan apa yang telah merasuki pikiran mereka selama ini.
Plot Ivan (Aldo Tansani) bolos dari Madrasahnya. Demi bermain game di sebuah rental langganan. Tapi ternyata itu tidak mudah karena rental hari itu penuh. Dia pun mengarang berbagai cerita horor tentang seramnya Maghrib, agak bisa ‘mengusir’ teman-temannya dari tempat rental. Tapi begitu Maghrib tiba, Ivan harus pulang dan harus berhadapan dengan cerita-ceritanya sendiri.
Cerita Si Ivan bisa jadi cuma segmen biasa dengan ceritanya yang tak seberat segmen-segmen sebelumnya, melainkan hanya pelengkap tentang interpretasi lain tentang Maghrib. Selain sebagai momen sakral dan bel pertanda pulang para pekerja kota besar, Maghrib dalam segmen ini adalah sebuah titik keramat. Ingat kata-kata yang disampaikan sejak dulu dari ibu-nenek kita? "Jangan keluar pas maghrib-maghrib, nanti ketemu hantu" sebagai masyarakat yang masih mendewakan pantangan dan mitos, juga masih percaya dengan yang berbau mistik, Cerita Si Ivan hadir sebagai presentasi dari itu semua. Bukan segmen yang besar memang, namun menafsirkan Maghrib versi masyarakat Indonesia ya memang tidak boleh meninggalkan desas-desus perihal urban legend seperti yang coba ditampilkan segmen ini.
Ba’da
Ba'da adalah bagian penutup dari film Jakarta Maghrib yang menceritakan bahwa semua karakter di atas akhirnya nanti akan bertemu di kisah ini. Berinteraksi secara langsung dan tidak. Setelah tiap-tiap orang mengalami Maghrib-nya masing-masing di Jakarta.
Seperti yang saya tulis di paragraf awal, menonton Jakarta Maghrib mendatangkan perasaan yang sama ketika saya menonton Jakarta Hati. Perasaan hangat dan akrab, meski memang hasilnya tak terlampau benar-benar istimewa. Untuk catatan lain, saat menonton Jalan Pintas, saya teringat dengan satu segmen berjudul Dalam Gelap di Jakarta Hati. Dua segmen itu mewakili kesamaan tema : tentang hubunganrelationship pasangan muda yang punya masalah akut dan "dibongkar" habis-habisan hanya dalam suatusetting sempit (Jalan Pintas di mobil, Dalam Gelap di dalam kamar) bahkan Dalam Gelap, penonton dibuat "buta" dengan keseluruhan adegan karena perkara mati lampu (saya bahkan baru tahu pemainnya itu Agni Pratistha :D) disana bisa ditangkap adanya permainan eksplorasi yang lebih jauh dari Salman Aristo untuk bisa menghadirkan penonton lebih intim pada cerita, dengan menantang mereka menjadi saksi bisu tanpa mata.
Overall, usaha Salman Aristo dalam Jakarta Maghrib patut diapresiasi, sebuah film dengan ritme yang nyaman dan menarik untuk diikuti. Mari tunggu apa cara Salman berikutnya untuk menerjemahkan cerita-cerita baik tentang permasalahan sosial, hubungan relasi antar manusia, atau cerita besar di sudut-sudut kecil menjadi sebuah karya yang menghangatkan lagi. Biar kita siap-siap mengintip lagi.
Overall, usaha Salman Aristo dalam Jakarta Maghrib patut diapresiasi, sebuah film dengan ritme yang nyaman dan menarik untuk diikuti. Mari tunggu apa cara Salman berikutnya untuk menerjemahkan cerita-cerita baik tentang permasalahan sosial, hubungan relasi antar manusia, atau cerita besar di sudut-sudut kecil menjadi sebuah karya yang menghangatkan lagi. Biar kita siap-siap mengintip lagi.
Sutradara | Salman Aristo |
---|---|
Pemeran | Indra Birowo Widi Mulia Asrul Dahlan Sjafrial Arifin Lukman Sardi Ringgo Agus Rahman Deddy Mahendra Desta Fanny Fabriana Lilis Reza Rahadian Adinia Wirasti Aldo Tansani |
Tanggal rilis | 4 Desember 2010 |
Durasi | 75 menit |
Negara | Indonesia |
Komentar