Langsung ke konten utama

Inovasi dan Budaya Pembelajaran



PENGANTAR Penemuan dan perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi, serta isu globalisasi telah mengubah wajah dunia dan karakteristik lingkungan bisnis. Peter Drucker menyebut era sekarang sebagai era turbulensi karena perubahan sangat cepat, mendasar dan revolusioner. Pada saat ini lingkungan bisnis berkembang sangat cepat sehingga sulit diprediksi. Giddens (2001) meyakini bahwa globalisasi telah menjadikan dunia lepas kendali (runway world). Dalam situasi turbulen dan lepas kendali, setiap organisasi pada semua skala dan tingkatan dituntut mengembangkan diri dan memiliki daya saing agar mampu bertahan dan memenangi persaingan yang semakin kompetitif. Dalam konteks ini, inovasi secara berkelanjutan sering diletakan sebagai sumber pertumbuhan dalam pasar bebas (Getz dan Robinson, 2003), faktor kritikal kesuksesan organisasi (Aliaga, 2004), dan keunggulan bersaing atau competitive advantage pada milinium ini (Hamel, 2000); (Peter, 1999). Strategisnya nilai inovasi bagi organisasi ikut melonjakan derajat inovasi dalam jagad diskursus daya saing organisasi. Tidak mengherankan bila saat ini inovasi menjelma menjadi mantra baru yang kerapkali diucapkan para pemimpin bisnis, mahaguru manajemen, media massa, dan pemerintah (Getz dan Robinson, 2003). Hingga kini, banyak sarjana dari beragam disiplin ilmu telah melakukan studi untuk menguraikan tentang inovasi beserta renik-renik yang terlibat dalam proses munculnya inovasi dalam suatu organisasi. Secara garis besar tradisi penelitian inovasi dapat dikelompokan dalam dua arus utama, yakni penelitian anteseden (antecedent research), dan penelitian proses inovasi (King, 1990). Penelitian anteseden fokus pada upaya mencari faktor penghambat dan fasilitator inovasi, dan penelitian proses lebih memberi perhatian pada peristiwa (event) yang menentukan dalam inovasi. Sedangkan level analisanya bisa dikelompokan dalam tiga tingkat, yakni level individu, kelompok dan organisasi. Penelitian proses inovasi pada level organisasi melalui beberapa tahapan/sekuensi peristiwa atau proses. Ada banyak model tahapan inovasi, tapi yang paling menonjol adalah model yang dikemukakan oleh Zaltman et al., dan Rogers. Zaltman et al., (1973) mengembangkan teori proses inovasi berdasarkan pada titik pandang unit adopsi individual. Kerangka kerjanya tersusun dalam dua tahap utama, yakni tahap inisiasi terdiri dari tiga sub-tahap: knowledge-awareness, formasi sikap terhadap inovasi, dan keputusan. Tahap implementasi terdiri dari dua sub-tahap: inisial implementasi, dan kerberlanjutan. Sedangkan Rogers (1983), membagi proses inovasi dalam dua bagian dan lima tahap yakni inisiasi dan implementasi. Bagian inisiasi terdiri dari tahap (1) agenda setting, ketika organisasi merumuskan atau mendefinisikan secara umum masalah dan kebutuhan organisasi. Termasuk dalam tahap ini adalah merumuskan kesenjangan kinerja; (2) Matching, organisasi berusaha memprediksi bagaimana inovasi yang bagus di capai. Dengan kata lain mencocokan masalah organisasi dengan inovasi. Bagian implementasi terdiri atas (3) redefining/restructuring, ketika inovasi mulai diterapkan dalam organisasi. Pada sub-tahap ini inovasi di definisi ulang untuk mengakomodasi struktur dan kebutuhan organisasi; (4) clarifying, ketika secara perlahan inovasi digunakan secara meluas, dan anggota organisasi semakin memahami makna inovasi; (5) routinizing, ketika inovasi telah menjadi bagian hidup keseharian suatu organisasi. Beberapa studi (misalnya King, 1990) menemukan tiga faktor yang bisa menjadi anteseden inovasi dalam organisasi yaitu: (1) karakteristik atau perilaku anggota organisasi seperti karakteristik pemimpin/pengambil keputusan, dan resistensi faktor-faktor psikologis individu dalam melakukan inovasi; (2) faktor-faktor ekstra organisasi seperti kompleksitas lingkungan dan persaingan; dan (3) karakteristik organisasi, seperti ukuran organisasi, struktur organisasi, sumberdaya, umur organisasi, kemampuan organisasi mengidentifikasi potensi untuk melakukan inovasi, strategi, iklim dan budaya organisasi. Sudah banyak studi (seperti Fischer dan Farr, 1985; Kanter, 1983) yang mengkonfirmasi budaya organisasi sebagai anteseden inovasi. Namun demikian pemahaman kita masih kabur tentang apa jenis budaya organisasi yang memfasilitasi lahirnya inovasi dalam organisasi. Pada sisi yang lain banyak literatur menempatkan budaya organisasi sebagai faktor penting dalam peningkatan kinerja organisasi (Kotter dan Heskett, 1992); dan organisasi pembelajar sebagai organisasi yang mampu beradaptasi dan lebih fleksibel terhadap lingkungan eksternal sehingga mampu meningkatkan kinerja dalanm jangka waktu yang panjag. Literatur organisasi pembelajar membahas peran budaya organisasi dalam membangun konsensus diantara anggota organisasi tentang nilai (pem)belajar dan menggunakan pembelajaran untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi (Bates & Khasawneh, 2005). Walaupun temah inovasi, budaya organisasi dan pembelajaran organisasi telah mendapat perhatian luas dari para peneliti, tapi penelitian-penelitian tersebut masih meletakkan temah ini dalam konstruk yang terpisah. Upaya untuk melihat keterkaitan dan hubungan antara ketiga tema ini masih relatif sedikit. Bates & Khasawneh (2005) yang meneliti hubungan budaya pembelajaran organisasi dengan iklim transfer pembelajaran dan inovasi dengan sampel perusahaan Jordania menunjukan bahwa budaya pembelajaran organisasi mampu memprediksi iklim transfer pembelajaran; dan kedua hal ini mempengaruhi secara signifikan inovasi organisasi. Sayangnya penelitian ini tidak menempatkan variabel kepemimpinan dan praktek manajemen sebagai faktor mediator hubungan budaya pembelajaran organisasi dengan inovasi. Padahal beberapa penelitian menunjukan bahwa pemimpin berperan dalam proses transformasi budaya (Schein, 2004); dan merupakan anteseden inovasi organisasi (Nystrom, 1990). Demikian juga persepsi karyawan terhadap praktek manajemen mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi (seperti Sherman, 1999). Artikel ini bermaksud mengeksplorasi lebih mendalam tentang interaksi antara inovasi dengan budaya pembelajaran dalam organisasi. Tulisan ini dimulai dengan pembahasan tentang definisi inovasi dan dilanjutkan dengan peran budaya organisasi sebagai anteseden inovasi serta peran pemimpin dan praktek manajemen dalam interaksi antara inovasi dan budaya pembelajaran juga akan dibahas. Pada bagian selanjutnya, saya akan mengeksplorasi bagaimana interaksi antara inovasi dan budaya pembelajaran. DEFINISI INOVASI Selama empat dasawarsa terakhir penelitian tentang inovasi berkembang sangat pesat. Temah ini telah ditelaah dari berbagai sudut padang dan disiplin ilmu, seperti manajemen bisnis, sosiologi, antropologi dan psikologi. Masalah yang sering muncul ketika pertama kali mengkaji inovasi adalah masalah bagaimana inovasi didefinisikan. Ada kecenderungan para peneliti memberi redaksi definisi yang relatif berbeda. Thompson (1965) mendefinisikan inovasi sebagai pembangkitan, penerimaan dan implementasi ide, proses atau jasa baru baru pertama kali dalam organisasi. Myers dan Marquis (1969) menyatakan inovasi adalah kompleks aktifitas yang di mulai dari konseptualisasi ide baru untuk mengatasi masalah, dan kemudian memanfaatkan secara ekonomi dan sosial. Sedangkan, Zaltman et al. (1973) mendefiniskan inovasi sebagai ide, praktek atau material artefak baru. Kanter (1983) mendefiniskan inovasi sebagai proses menggunakan ide baru dalam pemecahan masalah. Rogers (1985) menyatakan inovasi sebagai sebuah ide dan praktek, atau obyek yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopsi yang lain. Berangkat dari definisi-definisi yang ada West dan Farr (1990) merumuskan definisi inovasi sebagai intensi memperkenalkan dan mengaplikasi suatu ide, proses, produk atau prosedur baru dalam organisasi untuk mendapatkan keuntungan bagi organisasi dan masyarakat luas (hlm. 9). BUDAYA SEBAGAI ANTESEDEN INOVASI Budaya organisasi merujuk pada seperangkat nilai (values), kepercayaan (beliefs) dan pola perilaku yang merupakan bentuk identitas inti organisasi dan membantu membentuk perilaku anggota. Secara elaboratif, Schein (2004) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pakem asumsi dasar yang dibagikan (pattern shared basic assumptions) yang dipelajari oleh kelompok sebagai hasil belajar untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan integrasi internal dan adaptasi eksternal. Ada tiga tingkatan budaya dalam pengertian Schein, yakni: asumsi dasar (underlying assumption), nilai-nilai dan kepercayaan (espoused belief and values), dan benda-benda (artifacts). Asumsi dasar sebagai lapisan paling dalam dari suatu budaya sangat mempengaruhi nilai-nilai yang dianut dan perilaku anggota organisasi. Ada enam asumsi dasar atau dimensi terdalam organisasi, yakni (1) sifat dasar dari realitas dan kebenaran, (2) sifat dasar tentang waktu, (3) sifat dasar tentang jarak-tempat (space), (4) sifat dasar dari manusia, (5) sifat dasar aktifitas manusia, (6) sifat dasar hubungan manusia dan alam. Keenam dasar ini memberi implikasi terhadap nilai-nilai dan artefak serta perilaku anggota organisasi. Gambar 1. Level of Culture Sumber: Edgar H. Schein (2004). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa budaya organisasi berperan sebagai fasilitator inovasi karena memainkan peran pembelajaran dan perubahan. Nystrom (1990) mengajukan model inovasi organisasi (lihat gambar 2) dengan variabel: innovative direction seperti perubahan apa yang ingin capai oleh perusahaan; innovative potential: apa yang bisa diberikan perusahaan, seperti sumberdaya material dan non-material. Dalam kerangka kerja ini kepemimpinan strategik mempengaruhi apa yang ingin dilakukan dan apa yang bisa dilakukan perusahaan. Dengan memfokuskan pada teknologi baru yang spesifik dan pasar, perusahan bisa mengubah innovative direction-nya dan dengan membangkitkan sumberdaya terbaik perusahaan bisa meningkatkan innovative potential-nya, seperti kemungkinan keberhasilan inovasi. Model ini menempatkan budaya perusahaan sebagai salah satu sumberdaya yang penting dalam mencapai keberhasilan inovasi. Penelitian Nystrom terhadap EKA Nobell (perusahaan kimia Swedia) menemukan perbedaan budaya pada divisi yang berbeda di perusahaan tersebut. Divisi-divisi yang inovatif memiliki pandangan dan perilaku lebih terbuka, dan memilki tradisi debat dalam mencapai inovasi. Sedangkan divisi yang kurang inovatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kurang tertantang, kurang mendapat dukungan ide dan tidak berani mengambil resiko. Gambar 2: Model Inovasi Organisasi Sumber: Harry Nystrom (1990) Temuan senada dapat kita temui dalam studi Deshpande & Farley (1999) tentang hubungan antara budaya perusahaan dengan orientasi pasar pada perusahaan Jepang dan India. Mereka menunjukkan bahwa jenis budaya berhubungan dengan kesuksesan perusahaan di pasar. Ada empat jenis budaya perusahaan yakni: budaya kompetitif (competitive culture), budaya entrepreneur (entrepreneur culture), budaya birokratik (bureauacratic culture), dan budaya konsensual (consensual culture). Studi tersebut menemukan bahwa banyak perusahaan India yang sukses memiliki budaya entrepreneur, sementara perusahaan Jepang memiliki budaya entrepreneur dan budaya kompetitif. Dalam budaya entrepreneur menekankan nilai inovasi, mengambil resiko (risk-taking), dinamika tinggi dan kreatifitas. Sedangkan budaya kompetitif berorientasi pada tuntutan tujuan, keunggulan bersaing, superioritas dalam pemasaran dan keuntungan. Bertolak dari typlologi budaya perusahaan Deshpande & Farley, penelitian Rashid et al., (2003) terhadap perusahaan-perusahaan di Malaysia menunjukan ada korelasi antara budaya perusahaan dengan komitmen organisasi serta kinerja keuangan perusahaan. Mereka menemukan 43% responden menganut budaya entrepreneur, 31% menganut budaya kompetitif, 24% budaya konsensual yang memegang nilai loyalitas dan tradisi. Budaya perusahaan tersebut berhubungan secara signipikan dengan kinerja keuangan seperti return on assets (ROA) dan return on investment (ROI). Dalam kategori Handy (dalam Budihardjo, 2003), budaya perusahan yang memungkinkan promosi inovasi organisasi adalah task culture yang menekan keahlian daripada karisma atau posisi. Task culture sangat baik untuk inovasi, karena budaya tersebut berorientasi pada kinerja, minimalisasi perbedaan gaya dan status dalam tim, fleksibel, adaptif dan sensitif terhadap lingkungan. Penelitian Kotter dan Heskett (1992) mengkonfirmasi sekaligus membuktikan bahwa budaya adaptif merupakan faktor penting dalam upaya melahirkan inovasi suatu perusahaan. Mereka menemukan bahwa budaya perusahaan yang memperhatikan konstituen seperti konsumen, pelanggan, stakeholder, dan karyawan sebagai perusahaan yang memiliki kinerja yang tinggi. Karakteristik lingkungan bisnis yang berubah sangat cepat mensyaratkan perusahaan di kelola dengan profesional dan mengaplikasi nilai dan strategi inovatif agar perusahaan berhasil menciptakan dan menawarkan produk-produk baru (Budihardjo, 2003). Digital Equipment Corporation (DEC) merupakan salah satu perusahaan yang memandang kebenaran dan ide berasal dari setiap orang. Keputusan dalam perusahaan ini diambil melalui sebuah diskusi dan debat yang panjang. Mereka beranggapan bahwa ide yang baik adalah ide yang dihasilkan dalam debat yang sengit. Asumsi dasar ini juga mempengaruhi artefak. Lay out tempat kerja DEC ditata sedemikian rupa sehingga semua karyawan bisa berinteraksi secara bebas, tidak ada previlise terhadap orang yang memiliki jabatan tinggi dan tidak ada tempat parkir khusus. Sebaliknya, Ciba-Geigy, perusahaan farmasi yang berbasis di Swis melihat kebenaran bersumber dari kebijaksanaan para peneliti atau ilmuwan. Budaya Ciba-Geigy memandang ide yang baik berasal dari atasan dan para ahli. Oleh karena itu otoritas sangat dihormati dan cenderung menghindari konflik. Lay out kantor cenderung terbuka dan berbeda-beda sesuai dengan posisi dalam organisasi. Para atasan memiliki ruang makan tersendiri. BUDAYA PEMBELAJARAN Pembelajaran organisasi (organizational learning) merupakan kapasitas menciftakan, mentransfer dan mengimplementasi pengetahuan (Shipton, et al. 2005). Salah satu karakteristik budaya pembelajaran organisasi adalah anggota organisasi memiliki budaya (pem)belajar dan berusaha mencapai kinerja tinggi melalui aplikasi pembelajaran untuk kemajuan dan inovasi kerja. Budaya pembelajaran organisasi mensyaratkan keterbukaan pertukaran informasi dan ide dalam cara memfasilitasi pembelajaran dan aplikasinya secara kreatif. Budaya pembelajaran organisasi mendukung akuisisi informasi dan kemudian mendistribusi sehingga mendorong dan mendukung pembelajaran berkelanjutan serta menerapkan untuk meningkatkan organisasi. Jadi, budaya pembelajaran direfleksikan oleh nilai dan kepercayaan tentang pentingnya pembelajaran beserta implementasi dan penyebarannya. Konsekwensinya, budaya organisasi pembelajar bisa di lihat sebagai fasilitator yang penting kreatifitas dan inovasi karena budaya ini mendukung penyelidikan, risk-taking dan percobaan (Bates & Khasawneh, 2005). Tujuan (goals), kepercayaan (beliefs), sikap (attitudes), sifat dan perilaku menyumbangkan membentuk lingkungan kerja yang inovatif (Sherman, 1999). Studi Collin dan Poras (1997) menunjukan bahwa kemampuan perusahaan melakukan peningkatan secara berkelanjutan atau mechanisms of progress (mekanisme kemajuan) sebagai faktor penting dalam keberhasilan suatu perusahaan. Dalam konteks ini, Welch (2001) menyatakan bahwa sistem, proses dan pengorganisasian perusahaan yang berfokus kepada pelanggan sebagai faktor penting dalam melakukan peningkatan secara berkelanjutan. Peran pemimpin sangat penting Sherman (1999) menyatakan bahwa bahwa praktek manajemen yang memberi rasa aman dan menghargai karyawan sangat besar andilnya dalam promosi inovasi dalam organisasi. Getz dan Robinson (2003) sampai pada kesimpulan bahwa inovasi bukanlah faktor penting dalam kehidupan dan kemajuan perusahaan. Inovasi bukanlah air atau makanan, yang bila tanpanya suatu organisasi tidak akan hidup. Banyak perusahaan yang tidak melakukan inovasi terbukti mampu bertahan lama dan menikmati keuntungan, dan sebaliknya tidak sedikit perusahaan yang kerapkali menemukan produk inovasi terjerembab pada kinerja rendah. Bagaimana mendapatkan air dan makanan bagi perusahaan? Untuk mendapatkan air, para pemimpin memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses perusahaan. Sedangkan untuk menghasilkan makanan, pemimpin perlu melakukan mekanisme peningkatan dengan cara memiliki kemampuan mendengar ide dan tindakan para karyawan lini depan. Peran para karyawan ini penting karena sebagian besar ide brilyan lahir dari benak dan pikiran para karyawan. Dana Corporation misalnya 80% ide yang bagus datang dari para karyawan, dan 20% dari manajemen.

REFERENSI
Aliaga, O. Alfredo. (2005). A Study of Innovative Human Resources Development Practices in Minnesota Companies. PhD dissertation University of Minnesota. Bates, Reid & Khasawneh, Samer. (2005). Organizational Learning Culture, Learning Transfer Climate and Perceived Innovation in Jordanian Organizations. International Journal of Training and Development 9:2 Budihardjo, Andreas. (2003). Peranan Budaya Perusahaan: Suatu Pendekatan Sistematik dalam Mengelola Perusahaan. Prasetya Mulya Management Journal Vol. VIII No. 14 - May Deshpande, R & Farley, J. (1999). Executive Insights: Corporate Culture and Market Orientation; Comparing Indian and Japanese Firm. Journal of International Marketing Vol. 7 No. 4 Giddens, Anthony. (2001). Runway World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hamel, G. (2000). Leading the Revolution. Boston: Harvard Business School Press Nystrom, Harry. (1990). Organizational Innovation, in West, Michael A & Farr, James L. (ed). Innovation and Creativity at Work; Psychological and Orgazation Strategies. New York: John Wiley & Sons Kanter, R.M. (1983). The Change Master. New York: Simon & Schuster Kotter, John P; Heskett, James L. (1992). Corporate Culture and Performance. The Free Press King, Nigel. (1990). Innovation at Work: Research Literature, in West, Michael A & Farr, James L. (ed). Innovation and Creativity at Work; Psychological and Orgazation Strategies. New York: John Wiley & Sons Myers, S & Marquis, D.G. (1969). Successful Industrial Innovation. National Science Foundation. Peters, Tom. (1999). The Circle of Innovations. New York: The Vintage Books Rashid, MZ. Abdul; Sambasivan, Murali; Johari, Juliana. (2003). The Influence of Corporate Culture and Organisational Commitment on Performance. Journal of Management Development Vol. 22 No. 8 Schein, Edgar H. (2004). Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass Sherman, D. Michelle. (1999). Managing Innovation: A Psychological Perspective. PhD dissertation Duke University Shipton, Helen; Fay, Doris; West, Michael; Patterson, Malcolm; & Birdi, Kamal. (2005). Managing People to Promoto Innovation. Journal Creativity and Innovation Management, 14 (2) West, Michael A & Farr, James L. (1990) Innovation at Work, in West, Michael A & Farr, James L. (ed). Innovation and Creativity at Work; Psychological and Orgazation Strategies. New York: John Wiley & Sons Zaltman, G; Duncan, R & Holbek, J. (1973), Innovation and Organizations. London: John Wiley & Sons



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga