Seorang pemuda berjalan ke seluruh pelosok negeri. Ia tunjukkan cara menemukan air. Ia ceritakan kisah-kisah perdamaian. Bila malam tiba, tak segan ia bersenda gurau di gardu-gardu ronda. Ia ajarkan anak-anak beberapa bait doa dan nasehat untuk terus belajar. Di saat yang sama ia layangkan surat pada raja tentang apa yang dilihat di perjalanannya. Berpuluh-puluh tahun kemudian, pemuda itu sakit dan terkapar sekarat. Orang-orang tahu ia adalah raja mereka yang sesungguhnya. Mereka tumpah ruah di lapangan dan jalan-jalan. Memekikkan kesedihan, memanjatkan doa, serta menghiburnya dengan gurauan dan cerita yang pernah ia sampaikan dulu. Pemuda itu hanya membisikkan sesuatu yang membuat orang-orang terpingkal-pingkal sambil meneteskan air mata. "Ah, betapa indahnya hidup ini ditemani tawa. Dan betapa syahdunya air mata."
Seorang pemimpin yang dicintai adalah pemimpin yang tumbuh bersama rakyatnya. Ia mengenakan caping, baju dan alas kaki yang sama dikenakan rakyatnya. Ia berbicara dan bersenda gurau dengan bahasa rakyatnya. Cinta tak muncul dalam semalam. Ia ditanam dan dipupuk selama sebuah generasi. Karenanya, janganlah bermimpi menjadi pemimpin yang dicintai bila belum pernah merasakan bahwa keringat kita sama asinnya. Darah kita sama merahnya.
Amati sekeliling anda. Mungkin akan anda jumpai seseorang atau beberapa orang yang menyandang beban di pundak mereka. Bukan hanya beban mereka sendiri, melainkan juga beban orang lain. Bahkan beban anda juga. Beban itu teramat berat. Namun seringkali mereka seolah berdiri tanpa teman dan menanggung tanggung jawab itu sendiri. Beban itu semakin berat karena banyak orang menganggap bahwa mereka sepantasnya melakukan itu sendiri. Tahukah anda siapakah mereka?
Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang anda angkat. Anda meletakkan harapan pada mereka. Anda meminta mereka bekerja dan menunjukkan jalan. Sementara anda mengekor di belakang. Semestinya anda turut mengangkat cangkul, menggemburkan bumi dan menebar benih kemakmuran. Orang-orang yang tak tahu diri hanya bisa berteriak bahwa jalan itu salah, tanpa mau menyingsingkan lengan baju membantu membersihkan semak belukar. Memang tak mudah menjadi pemimpin, apalagi seorang yang sejati. Karena itu hanya segelintir saja yang bersedia berdiri di depan. Sedangkan para pecundang bersembunyi di barisan terbelakang. Namun berlari paling kencang ketika masa panen tiba. Dimana pun pecundang tak memiliki setetespun rasa malu.
Jelas sekali bahwa bukan tugas bagi seorang pemimpin untuk membangun sebuahkerajaan bagi dirinya sendiri. Tugas pemimpin yang paling utama adalahmembuat sebuah perbedaan; perbedaan yang benar-benar dibutuhkan bagilingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Dan yang dimaksud denganperbedaan bukanlah maju dari satu langkah menuju satu depa; melainkanmelompat melintasi keterbatasan-keterbatasan, menyibak kekhawatiran akankegagalan, serta menjelajahi imajinasi dan visi.
Kepada siapakah kita mendapatkan kepemimpinan yang mengayomi semua orang? Pyuh!, betapa sulitnya menjawab pertanyaan ini. Bila kita baca koran, dengar radio atau nonton tv, yang kita temukan adalah kebuntuan besar. Ketika orang merujuk si A, di saat sama ia mencela si B. Sedangkan, ketika orang lain menunjuk si C, ia juga menikam si D. Bahkan di kalangan mereka yang dianggap pemimpin pun tak bersepakat tentang banyak hal besar. Zaman apakah ini? Bagaimana lokomotif bisa berjalan bila tak ada masinis yang menunjuk dengan telunjuk agungnya?
Mari kita coba runtuhkan semua perhitungan matematika politik. Kita lebih membutuhkan pelajaran perdamaian. Berhentilah sejenak menunjuk sana-sini. Yang kita dambakan bukanlah pemimpin yang tiba-tiba datangdari tempat yang jauh di sana. Namun, pemimpin yang lahir dari tanah dimanakita sama-sama belajar mengenai kehidupan; pemimpin yang tumbuh dari airdimana kita sama-sama meneguk pengalaman; pemimpin yang merekah dari udara dimana kita sama-sama menghirup suka duka. Perubahan terbaik hadir dari pemimpin yang menyemaikan jiwanya pada ladang tempat ia dan pengikutnya sama-sama mencangkul. Inilah zaman dimana kita semestinya belajar dan diajar menemukan kepemimpinan sejati di halaman rumah sendiri - ia bernama nurani. Memang pemimpin ini tak bersuara lantang karena ia tak terletak di bibir. Ia pun tak berlagak garang, karena ia tak mengandalkan kepalan. Ia berbisik lembut, sejuk, terang dan damai. Karena ia terletak di hati; ia bergelar hati nurani. Mari kita angkat suara hati nurani sebagai pemimpin agung kita di masa yang penuh kerancuan ini. Karena hanya ia yang pantas dijunjung di segala zaman.
Wicaksana, 2008
Seorang pemimpin yang dicintai adalah pemimpin yang tumbuh bersama rakyatnya. Ia mengenakan caping, baju dan alas kaki yang sama dikenakan rakyatnya. Ia berbicara dan bersenda gurau dengan bahasa rakyatnya. Cinta tak muncul dalam semalam. Ia ditanam dan dipupuk selama sebuah generasi. Karenanya, janganlah bermimpi menjadi pemimpin yang dicintai bila belum pernah merasakan bahwa keringat kita sama asinnya. Darah kita sama merahnya.
Amati sekeliling anda. Mungkin akan anda jumpai seseorang atau beberapa orang yang menyandang beban di pundak mereka. Bukan hanya beban mereka sendiri, melainkan juga beban orang lain. Bahkan beban anda juga. Beban itu teramat berat. Namun seringkali mereka seolah berdiri tanpa teman dan menanggung tanggung jawab itu sendiri. Beban itu semakin berat karena banyak orang menganggap bahwa mereka sepantasnya melakukan itu sendiri. Tahukah anda siapakah mereka?
Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang anda angkat. Anda meletakkan harapan pada mereka. Anda meminta mereka bekerja dan menunjukkan jalan. Sementara anda mengekor di belakang. Semestinya anda turut mengangkat cangkul, menggemburkan bumi dan menebar benih kemakmuran. Orang-orang yang tak tahu diri hanya bisa berteriak bahwa jalan itu salah, tanpa mau menyingsingkan lengan baju membantu membersihkan semak belukar. Memang tak mudah menjadi pemimpin, apalagi seorang yang sejati. Karena itu hanya segelintir saja yang bersedia berdiri di depan. Sedangkan para pecundang bersembunyi di barisan terbelakang. Namun berlari paling kencang ketika masa panen tiba. Dimana pun pecundang tak memiliki setetespun rasa malu.
Jelas sekali bahwa bukan tugas bagi seorang pemimpin untuk membangun sebuahkerajaan bagi dirinya sendiri. Tugas pemimpin yang paling utama adalahmembuat sebuah perbedaan; perbedaan yang benar-benar dibutuhkan bagilingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Dan yang dimaksud denganperbedaan bukanlah maju dari satu langkah menuju satu depa; melainkanmelompat melintasi keterbatasan-keterbatasan, menyibak kekhawatiran akankegagalan, serta menjelajahi imajinasi dan visi.
Kepada siapakah kita mendapatkan kepemimpinan yang mengayomi semua orang? Pyuh!, betapa sulitnya menjawab pertanyaan ini. Bila kita baca koran, dengar radio atau nonton tv, yang kita temukan adalah kebuntuan besar. Ketika orang merujuk si A, di saat sama ia mencela si B. Sedangkan, ketika orang lain menunjuk si C, ia juga menikam si D. Bahkan di kalangan mereka yang dianggap pemimpin pun tak bersepakat tentang banyak hal besar. Zaman apakah ini? Bagaimana lokomotif bisa berjalan bila tak ada masinis yang menunjuk dengan telunjuk agungnya?
Mari kita coba runtuhkan semua perhitungan matematika politik. Kita lebih membutuhkan pelajaran perdamaian. Berhentilah sejenak menunjuk sana-sini. Yang kita dambakan bukanlah pemimpin yang tiba-tiba datangdari tempat yang jauh di sana. Namun, pemimpin yang lahir dari tanah dimanakita sama-sama belajar mengenai kehidupan; pemimpin yang tumbuh dari airdimana kita sama-sama meneguk pengalaman; pemimpin yang merekah dari udara dimana kita sama-sama menghirup suka duka. Perubahan terbaik hadir dari pemimpin yang menyemaikan jiwanya pada ladang tempat ia dan pengikutnya sama-sama mencangkul. Inilah zaman dimana kita semestinya belajar dan diajar menemukan kepemimpinan sejati di halaman rumah sendiri - ia bernama nurani. Memang pemimpin ini tak bersuara lantang karena ia tak terletak di bibir. Ia pun tak berlagak garang, karena ia tak mengandalkan kepalan. Ia berbisik lembut, sejuk, terang dan damai. Karena ia terletak di hati; ia bergelar hati nurani. Mari kita angkat suara hati nurani sebagai pemimpin agung kita di masa yang penuh kerancuan ini. Karena hanya ia yang pantas dijunjung di segala zaman.
Wicaksana, 2008
Komentar