Soerabaia 45 adalah Film perjuangan Indonesia yang dirilis pada tahun 1990. Film yang disutradari oleh Imam Tantowi ini dibintangi antara lain oleh Nyoman Swadayani, Leo Kristi dan Usman Effendy.
Kisah perang yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November di Surabaya. Antara lain tokoh pembakar semangat, Bung Tomo, perobekan bendera Belanda, tertembaknya jendral Inggris dan lain lain. Film ini seolah direkonstruksi ulang sebagai sebuah visual ulang kisah heroik itu dari kacamata rakyat biasa.
Soerabaia `45 menceritakan kemarahan rakyat Surabaya yang meledak begitu mengetahui bahwa pasukan Sekutu membawa misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Perlawanan bersenjata pun dikobarkan hingga terbunuhnya pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur yaitu Brigadir Jenderal Mallaby.
Surabaya | Berbekal materi yang diadaptasi dari buku Peristiwa 10 November 1945 yang diterbitkan Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang diprakarsai oleh almarhum Bapak Blegoh Soemarto, mantan Ketua DPRD Tingkat I Jawa Timur, film nasional buatan tahun 1990 ini mencoba mengajak kita untuk kembali mengenang dan merefleksikan pada diri betapa heroiknya peristiwa pertempuran bersejarah di Surabaya yang cukup membuka mata bangsa dan dunia. Film ini cukup begitu sederhana namun berkesan, karena memang film ini seolah sebuah pemvisualan ulang kisah heroik itu dari kacamata rakyat biasa.
Surabaya, sebuah kota yang tiga kali berturut-turut meraih Adipura, supremasi keberhasilan untuk kategori kota raya berpenduduk 1 juta jiwa ke atas pada waktu itu, melahirkan tiga buah film dengan waktu yang berurutan, barangkali catatan untuk prestasi khusus. Selama ini industri film selalu digeber orang-orang Jakarta. Kini Surabaya bangkit, apalagi bagi film “Soerabaia 45” yang konon dibiayai dengan dana sebesar Rp. 2 miliar, setidaknya merupakan keseriusan untuk mengembalikan kejayaan kegairahan persinemaan di Surabaya dan Jawa Timur kala itu, menurut Soetanto Soepiadhy, SH., pemeran tokoh Dokter Moestopo pada film ini.
Agaknya orang-orang Jakarta harus waspada akan ancaman dari timur, “Soerabaia 45” bukan film main-main. Ada orang-orang serius Surabaya yang terlibat di dalamnya. Catat saja nama Leo Kristi yang memerankan tokoh Bung Tomo. Lihat akting dan mainnya Soetanto Soepiadhy yang dedengkot teater di Surabaya itu. Atau amati sepak terjang Gatut Kusumo, mantan Ketua Dewan Kesenian Surabaya yang pernah menyutradarai beberapa sinetron, sutradara film “Penjeberangan” (dibintangi Rima Melati dan Wahab Abdi – 1966). Catat, tokoh yang disebut terakhir ini pernah sekolah film di Amerika, dan terlibat pertempuran langsung 10 Nopember 1945. Agaknya tak mengherankan jika ada pendapat: Imam Tantowi dan Gatut Kusumo adalah pasangan yang pas. Imam Tantowi pakar film kolosal, sementara Gatut Kusumo banyak memberikan jiwa pada film tersebut. Jadi, menolehlah ke timur, wahai orang-orang Jakarta.
Cerita dibangun sejak Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui telegrap yang diterima Kantor Domei Soerabaia pada dini hari hingga Soerabaia dibumihanguskan, yang terkenal dengan Peristiwa 10 November 1945. 208 scene (adegan) yang ditulis oleh Gatut Kusumo tidak semuanya dapat diangkat ke layar perak. Penyunting sehandal Janis Badar harus memilah dan memilih untuk memenuhi rentang waktu 115 menit. Itu pun sebetulnya masih terlalu panjang. Biasanya film lain hanya membutuhkan waktu 90 sampai dengan 100 menit. Bisa juga dipaksakan lebih, namun mempunyai resiko tinggi pada peredaran. Kalau ada gedung bioskop yang menyunting sendiri akan lebih fatal akibatnya.
Mengingat film ini mempunyai kandungan sejarah, maka garis merah tokoh fiktif yang dihadirkan guna menjalin cerita harus rela menyisih dan memberi jalan pada informasi sejarah itu sendiri. Kendati adegan Pertiwi (Nyoman Swandayani) melahirkan, boleh berarti simbolik dari kelahiran Republik Indonesia. Kelebihan film ini mempunyai warna lokal yang jelas, tidak terseret arus berkiblat pada Jakarta sebagaimana film nasional lain. Warna lokal dibangun tidak hanya dalam dialog yang Suroboyoan saja, tapi perangkat lain juga dapat dimunculkan, misalnya bekupon (rumah burung dara) yang khas Suroboyo, dam Jagir, dan kidungan Jula-Juli, yang dimanfaatkan sangat manis untuk mengiringi sub-title maupun dalam adegan. Tak hanya itu, film ini semakin kental nuansa kebangsaannya, seiring kehadiran ilustrasi musik dari sang maestro, Idris Sardi, yang membuat film ini selalu dikenang sepanjang jaman.
Tokoh-tokoh sejarah yang berperan dalam peristiwa itu ditampilkan lengkap. Dari mulai Bung Tomo (Leo Kristi); Drg. Moestopo (Soetanto Soepiadhy, SH.); Soengkono (Jill P. Kalaran); M. Yasin (Djoko P.); Roeslan Abdoelgani (Saiku Arifin); Doel Arnowo (M. Yuwono). Sementara tokoh putri Lukitaningsih (Dita Agustina); dan Bu Dar Mortir (Tuti Koesnan). Pemeran tokoh di atas dibawakan arek-arek Suroboyo sendiri, kecuali peran Bung Karno dan Bung Hatta yang diperankan oleh Nurhuda dan H. Djamaludin dari Bandung dan Jakarta. Dari deretan tokoh fiktif, Amirin (Masadji Paramatma) yang mempunyai jati diri. Sementara itu kelompok remaja lain, misalnya Kamdi (Jacok H.) yang badung; Sofyan (Halim Faus) sedikit emosional. Dan tiga sekawan lain, Bambang (Ipam Nugroho); Aryono (Tatok); dan Kunto (Iskandar Z.) mewakili remaja yang lugu. Tokoh benang merah lain, keluarga Darno (S. Bono), mempunyai dua orang anak, Rahadi (Teguh Harianto) dan Sutini (Anneke Putri). Di lain pihak ada si petualang Bramantyo (Indra G.).
Mengenai film ini, tak sedikit orang pada tahun tersebut sungguh kagum dengan usaha bung Imam Tantowi sebagai sutradara, karena setidaknya mampu menghadirkan Surabaya dengan suasana tahun 45 di saat Surabaya yang sudah mulai modern dan konsumtif. Setiap sudut-sudut kota yang bernuansa historis benar-benar dilibatkan sebagai pembangunan setting, mulai dari perubahan jalur jalan Praban hingga penghancuran monumen di depan Hotel Majapahit. Bahkan hingga salah seorang teman saya yang bernama Nugroho Ternatianto punya kesan tersendiri, ketika mengikuti casting film ini yang diadakan di Balai Surabaya Post, dekat monumen Bambu Runcing. Dengan semangat 45 dia membawa sekantung plastik saos tomat yang dipergunakan sebagai darah buatan dan berangkat pagi-pagi hingga rela bolos sekolah kala itu demi mendapatkan peran di film itu walaupun pada akhirnya gagal untuk pemeran figuran sekalipun. Namun, baginya tak ada penyesalan atas kegagalan tersebut, akan tetapi menjadi sebuah cerita manis yang mungkin tak ternilai harganya.
Pada akhirnya, seolah mengulang “kesuksesan” film Pengkhianatan G30S PKI (1982) yang disutradarai oleh alm. Arifin C. Noer, maka setelah film ini jadi, film ini pun pada akhirnya menjadi tontonan wajib keluarga dan sekolah-sekolah di Surabaya. Tiap kepala sekolah di Surabaya dan sekitarnya mendapatkan anjuran dari Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya untuk memberangkatkan anak didiknya menikmati film epos ini di bioskop Mitra 21 dan Surabaya 21, dan membuat review sesudah menontonnya untuk diceritakan ulang di sekolah pada saat pelajaran IPS, PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) ataupun Bahasa Indonesia. Sebuah usaha sederhana untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan nyurabayani kala itu. Tak sia-sia usaha ini dan pada akhirnya pada FFI (Festival Film Indonesia)-Penganugerahan Piala Citra tahun 1991 mengukuhkan Imam Tantowi sebagai sutradara terbaik dan film ini mendapatkan penghargaan khusus dari Dewan Juri sebagai film terbaik yang menggambarkan semangat juang bangsa Indonesia.
Sutradara | Imam Tantowi |
---|---|
Penulis | Imam Tantowi |
Pemeran | Nyoman Swadayani Sasetyo Wilutomo Leo Kristi Juari Sanjaya Usman Effendy Tuty Kusnandar |
Musik | Idris Sardi |
Sinematografi | Max J. Pakasi |
Penyunting | Janis Badar |
Distribusi | Sinar Permatamas Film |
Durasi | 123 menit |
Negara | Indonesia |
Komentar
ihdinas siratal mustaqim jasa percetakan sampul raport K13 percetakan lamongan cetak poster terdekat