Langsung ke konten utama

Pasukan Berani Mati (1982)



Sebuah romantika perang revolusi kemerdekaan. Ada penduduk gagah berani, ada maling yang jadi nekat, ada dendam, ada tentara kecut tapi lalu nekat, ada pengkhianat, ada pedagang yang hanya mementingkan diri. Sebuah gambaran klise. Batalion pimpinan Kapten Bondan (Dicky Zulkarnaen) yang menyatu dengan rakyat bergerilya hingga merepotkan Belanda. Dengan berbagai upaya termasuk kelicikan, Belanda akhirnya bisa tahu tempat persembunyian batalion itu. Maka porak-porandalah batalion itu diserbu. Kapten Bondan meninggal. Enam sisa pasukannya dan seorang penduduk yang selalu mendukung perjuangan tentara secara spontan membentuk pasukan berani mati. Mereka menyerbu markas Belanda dan ganti memorak-porandakan markas itu dengan imbalan kematian nekat mereka.

Mengenai kata Pasukan Berani Mati ini sendiri dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno belum menjadi Presiden Republik Indonesia. Ia, sebut saja, sebagai proklamator, karena memang Bung Karno yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, di hari pertama merdeka, hampir saja terjadi insiden berdarah di kediaman Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur 56, Menteng, tempat dilangsungkannya proklamasi dan pengibaran bendera pusaka merah putih.

Matahari mulai condong ke Barat. Bung Karno masih sempat memandangi kibar bendera merah putih yang dikerek naik tadi pagi. Hatinya membatin, “Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang.” Tekadnya menggumpal, “Kalaupun ia turun lagi, maka ia hanya akan turun melalui tujuh puluh dua juta mayat dari bangsaku yang bergelimpangan. Kami takkan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”

Belum lama Bung Karno rebahan dalam kamar, karena kondisi fisiknya yang sakit, Sudiro, sekretaris pribadi Bung Karno mengetuk pintu dan langsung masuk. Ia mengabarkan bahwa lima orang opsir Kenpetai memaksa masuk rumah. “Mereka mau bicara dengan Bung Karno. Anak-anak tinggal menunggu perintah, apa yang akan kita lakukan terhadap tentara Jepang itu.”

Benar. Situasi memang berubah. Jika sebelumnya penguasa Jepang tampak “mendukung” kemerdekaan kita, setelah kalah perang dari Sekutu, ia harus mengikuti perintah Sekutu untuk mempertahankan “status quo” di Indonesia, sampai saatnya Sekutu mendarat kembali di Nusantara, dan mengembalikan Hindia Belanda kepada Negeri Belanda.

Sukarno paham situasi itu. Ia pun dengan tenang keluar kamar dan menemui para tentara Jepang. Belum lagi Bung Karno mempersilakan para opsir Jepang itu duduk, ia sudah kena semprot, “Apa yang tuan lakukan, Sukarno San?”

“Memproklamasikan kemerekaan kami,” jawab Bung Karno kalem.

“Tuan tidak boleh melakukannya,” opsir Kenpetai itu memotong dan menyerang. “Perintah dari Sekutu kepada kami supaya kami meneruskan roda pemerintahan sampai mereka datang. Kami diperintahkan untuk menyampaikan larangan keras bagi pernyataan kemerdekaan Indonesia.”

Bung Karno, dalam keadaan sakit, mulai hilang kesabaran. Maka, nada suaranya pun meninggi, “Tapi pernyataan (kemerdekaan) itu sudah diucapkan. Saya yang mengucapkannya.”

Opsir Jepang, merasa masih berkuasa atas tanah Indonesia, selangkah maju mendekat sambil berkacak pinggang. Ia menyulut konfrontasi dengan Bung Karno. Empat opsir lainnya pun menampakkan sikap siaga, seperti hendak mengancam keselamatan Bung Karno.

Demi melihat reaksi lima orang opsir Jepang yang menampakkan gelagat main kasar, Bung Karno tetap tenang. Akan tetapi, ia melayangkan pandangannya ke arah kiri, kanan, dan belakang lima orang opsir Jepang itu. Di sana, ratusan pemuda berwajah garang, bersenjata kampak, clurit dan bambu runcing. Semua mata mewaspadai dengan seksama setiap gerak-gerik opsir Jepang.

Para opsir Jepang yang memelototkan bola mata ke arah Bung Karno, refleks mengikuti sapuan pandangan Bung Karno ke arah belakang, ke kiri dan ke kanan, ke arah ratusan pemuda yang siap menerkam lima opsir Jepang tadi. Terbayanglah tentunya, tusukan bambu runcing bisa langsung memburaikan usus seseorang. Kematian yang ditimbulkan oleh bambu runcing berlangsung lambat sekali dan sangat menyiksa.

Sadar kalah jumlah, para opsir Jepang berubah ekspresi, dari ganas menjadi lemas, dari sangat menjadi hambar. Sejenak mereka saling adu pandang. Sejurus kemudian mereka balik kanan, meninggalkan Bung Karno tanpa kata-kata. Sejarah kemudian mencatat, usai para opsir Jepang itu ngeloyor pergi, Bung Karno di harapan ratusan pemuda mengeluarkan seruan untuk membentuk “Pasukan Berani Mati”.

bendera merah putihTugas mereka yang utama adalah mempertahankan sang merah putih tetap berkibar di angkasa raya. Tidak lama setelah seruan itu dikumandangkan, sambung menyambung dari satu mulut ke telinga yang lain, dalam waktu tidak terlalu lama, Jl. Pegangsaan Timur 56 telah penuh dengan sukarelawan berani mati. Tidak hanya pemuda atau laki-laki, bahkan seorang perempuan yang menggendong anak pun, tampak dalam barisan yang mendaftar masuk “Pasukan Berani Mati”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga