Langsung ke konten utama

Mas Bento !


Salah satu pandangan yang keliru, yang sayangnya menjadi mindset sebagian orang di Indonesia adalah bahwa dengan kekayaan, mereka dapat meningkatkan harga diri dalam keluarga, kerabat, dan komunitas sosialnya. Kendaraan mewah, titel berderet, asesoris yang bermerk, rumah berharga milyaran menjadi simbol kesuksesan saat berkumpul dengan para kerabat dan teman-teman. Ada suatu cerita pendek yang kurang lebih mencerminkan pandangan masyarakat secara umum dan menjadi bahan renungan kita, terutama saya pribadi.

Begini ceritanya, ketika lebaran tiba, seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang baru lima tahun bekerja di ibukota pulang ke kampungnya. Namun karena kesulitan transportasi sang PNS, sebut saja namanya mas Bento, baru tiba pada hari kedua Idul Fitri di kampungnya. Ketika sampai di halaman rumah orang tuanya, kebetulan sedang berlangsung acara “open house” di kalangan saudara satu buyut. Mas Bento masuk ke rumah diiringi pandangan “aneh” dari para kerabatnya. Kenapa mereka memandang aneh? Ternyata mas Bento hanya mengenakan kaos “T-SHIRT” dengan celana jeans dan sepatu kets sambil memanggul ransel. Sang Ibu yang kebetulan ada di beranda rumah segera menghampirinya, menciumnya dan menyuruhnya duduk di kursi depan teras.

Sambil menyiapkan minuman teh hangat, si ibupun menanyakan mengapa mas Bento terlambat sampai di kampung halaman. “Maklum bu, kerjaan masih numpuk dan saya kesulitan mendapatkan angkutan di kampung Rambutan,” begitu kilah mas Bento. “Ah, si fulan anak pakde yang satu kantor sama kamu malah sudah sampe di kampung dua hari sebelum lebaran. Dia pake mobil dinas membawa keluarganya. Padahal dia baru dua tahun bekerja. Sementara kamu pulang ke rumah ini cuma bawa ransel tanpa membawa anak isterimu,” terdengar suara si bapak yang baru keluar dari ruang tamu. “Si Fulan bahkan bisa membagi-bagikan uang lima puluh ribuan kepada keponakan-keponakannya setelah selesai shalat Ied. Dia menyumbang banyak uang untuk mesjid kampung dan panti anak yatim. Trus bapak juga lihat kalau dia, isteri dan anaknya memakai baju-baju yang bagus, sementara kamu pake kaos kaya gelandangan aja, mana anak isteri gak dibawa lagi pulang kampung. Belum lagi saya dengar langsung dari si Fulan bahwa dia baru pindah dari rumah kontrakan ke perumahan cukup mewah di daerah perumahan tempat tinggal para artis dan pejabat, apa itu namanya, Pondok Nyaman… (mungkin maksudnya Pondok Indah)…….????,” bapak mas Bento terus memberondong dengan kata-kata yang pedas tanpa memberi kesempatan mas Bento mencicipi teh panas yang dihidangkan ibunda tercinta. Mas Bento hanya menunduk, sedih, namun juga menertawakan bapaknya dalam hati.

“Kamu bener-bener bodoh,” sang Bapak masih meneruskan menumpahkan uneg-unegnya,” Fulan baru dua tahun bekerja tapi sudah berhasil membanggakan pakdemu, sementara kamu yang sudah lima tahun bekerja di kantor yang sama dengan si Fulan belum bisa memberikan kebanggaan yang sama.” Si ibu yang mendengarkan saja sejak tadi tidak tahan segera angkat suara : “sudah to pak, anak kita masih cape, biarkan dia minum dulu.” Dengan penuh kasih dia menyodorkan cangkir teh tersebut ke mas Bento. “Terima kasih bu,” jawab mas Bento sambil menerima cangkir itu dan langsung meminumnya. Sementara itu para keponakan segera berbaris untuk menyalami om-nya yang baru tiba dari Jakarta, berharap menerima amplop seperti yang mereka terima dari om Fulan. Namun ternyata mereka hanya mendapatkan wejangan dan doa dari pamannya, semoga engkau menjadi anak yang sholeh, yang akan menyelamatkan orang tuamu kelak dengan doa-doa dan amal salehmu ketika mereka sudah tiada, demikian yang disampaikan om Bento setiap kali bersalaman.

“Pak,“ akhirnya mas Bento menggunakan hak jawabnya,” saya bekerja sesuai dengan pesan bapak, selalu menjunjung tinggi kejujuran dan mengutamakan kepentingan orang banyak. Saya bekerja di kantor yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saya tidak meminta sesuatu yang bukan hak saya kepada mereka yang memerlukan pelayanan, karena saya sudah digaji oleh Pemerintah. Saya memang dipercaya oleh kantor memegang mobil dinas, namun mobil tersebut hanya saya pergunakan untuk tugas dinas dan tidak saya bawa ke rumah karena di Jakarta lebih murah dan cepat menggunakan angkutan umum. Alhamdulillah gaji saya cukup untuk menghidupi saya sekeluarga dan sedikit menabung untuk keperluan mendadak. Insya Allah pak, tahun depan jika tabungan saya cukup dan saya diperkenankan cuti lebih awal, saya akan membawa anak dan isteri saya ke kampung.” Demikian penjelasan mas Bento yang tetap ditanggapi sang bapak dengan cemberut.

Lalu mengapa mas Bento tersenyum dalam hati, walaupun di satu sisi jiwanya menangis ? Karena mas Bento tahu persis siapa dan bagaimana kelakuan si Fulan di kantornya. Dia memegang posisi sebagai “orang kepercayaan” Kepala Kantor. Masyarakat yang ingin menemui Kepala Kantor harus melalui persetujuan si Fulan. Tidak jarang untuk mendapatkan jadual pertemuan, orang-orang harus memberikan “sesuatu” agar diberi kesempatan pertama. Belum lagi surat-surat keputusan, harus “melewati” Fulan sebelum mendapat disposisi Kepala Kantor. Ketika si Fulan mulai bekerja dua tahun yang lalu, dia ikut di rumah mas Bento. Namun hanya setengah tahun dia tinggal di rumah mas Bento. Keinginan Fulan membawa keluarganya dari kampung dan jam pulang kerjanya yang selalu larut malam membuat Fulan meminta ijin mas Bento untuk pindah dan mengontrak rumah. Mas Bento juga sempat mendengar cerita dari Fulan bahwa dia sering pulang larut malam bahkan kadang subuh, karena menemani pimpinan dalam pertemuan dengan para rekanan di kantor. Pertemuan itu seringnya dilakukan di tempat-tempat hiburan dan baru selesai hampir sebelum azan subuh berkumandang.

Saat bersalaman mas Bento memberikan “bekal” nasihat kepada adik sepupunya,” Dik Fulan, hidup hanya sementara, hati-hati dalam melangkah karena setiap langkah ada konsekuensinya,” begitu pesannya saat melepas Fulan meninggalkan rumahnya. Seingat mas Bento, itulah terakhir kali ia bertemu dengan Fulan secara langsung. Setelah itu paling mas Bento bertegursapa menggunakan layanan pesan singkat (sms).

Dia juga menangis dalam hati, melihat pandangan sinis sanak saudara, bahkan hardikan bapaknya karena memandang dirinya bodoh, tidak bisa sukses seperti saudara sepupunya, si Fulan. Mereka menduga bahwa dengan kekayaan, mereka dapat meningkatkan harga diri mereka dalam keluarga. Harga diri Fulan terangkat, karena dapat memperlihatkan kekayaan (yang merupakan simbol kesuksesan dalam masyarakat kapitalis) saat berkumpul dengan para kerabat dekat dan tetangganya. Fulan dan keluarganya merasa bangga bila banyak orang tahu bahwa mereka menyumbang tempat ibadah, yayasan anak yatim piatu dan keluarga tidak mampu dengan siraman uangnya. Ternyata sebagian besar saudara dan bahkan masyarakat di kampungnya mendewa-dewakan harta dan kekuasaan yang memberikan manfaat bagi mereka, tidak peduli darimana dan dengan cara apa harta serta kekuasaan itu diperoleh. Fulan dan sebagian anak negeri, justru menderita inferiority complex (meminjam terminologi Adler, 1978), dan untuk kelihatan menjadi superior, mereka melakukan KKN. Mereka lupa, bahwa dengan melakukan tindakan korup, mereka telah merendahkan dirinya sendiri, melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan menyiderai asas keadilan. Sangat tidak adil mengorbankan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi (dan kepentingan kelompok/golongannya), terutama dalam situasi sulit seperti sekarang ini yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia. Hingga Maret 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta atau 13,33% dari jumlah penduduk Indonesia (detikFinance).

Tanpa terasa mata mas Bento basah, saat ibunda tercinta dengan penuh kasih membelai mukanya yang basah oleh keringat. “Jangan sedih anakku, cintaku, permata hatiku. Aku tetap bangga kepadamu karena keputusanmu untuk bekerja dengan jujur walaupun engkau tidak berkelebihan dalam harta. Doa ibu selalu Ke Hadirat Ilahi Robbi Kiranya Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu Menganugerahkan Kemuliaan kepadamu dengan Kemuliaan yang Hakiki. Kemuliaan bukan dari apa yang kau peroleh, namun dengan apa yang bisa kau bagikan kepada sesama.”

“Jika engkau ingin kaya, sukses dan terkenal, engkau harus berusaha dengan keras, namun “JANGAN BERHARAP KAYA DENGAN MENJADI PNS/POLRI/TNI.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga