Langsung ke konten utama

Buah Agama





Lihatlah bagaimana ia berakhlak kepada Allah ... Sudahkah ia menundukkan hatinya, mengharap pertolongan-Nya, ikut apa mau-Nya (menjalani perintah dan menjauhi larangan-Nya)?

Lihatlah bagaimana ia berakhlak terhadap dirinya sendiri? Apakah ia sudah menyayangi tubuhnya sendiri? Apakah ia sudah memakan makanan yg bergizi-sehat-halal, meminum minuman yang menyegarkan-menetralkan, beristirahat dengan cukup. Apakah ia sudah membaca Al-quran dan buku2 yg penuh hikmah dan motivasi? Apakah ia memiliki visi dan misi yang jelas dan mulia?

Lihatlah bagaimana ia berakhlak kepada sesama manusia ... Sudahkah ia menghormati dan bersikap santun kepada kedua orang tuanya, mertuanya? Sudahkah ia sayang dan memberikan yg terbaik (sesuai dengan kemampuannya) kepada istri dan anaknya. Sudahkah ia beretos kerja tinggi, jujur, amanah, dapat dipercaya, cerdas, do the best? Sudahkah ia menghormati atasan, tidak meremehkan teman sejawatnya, dan memperhatikan nasib bawahannya?

Lihatlah bagaimana ia berakhlak kepada alam semesta (hewan, tanaman, dll)? Sudahkah ia menyayangi binatang, melindungi tanaman, menjaga kebersihan?


SOBAT Yang Budiman, beberapa di antara manusia ingin mengetahui apa (saja) indikator keberhasilan atau indeks keberhasilan seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pada beberapa ajaran agama samawi (langit) indeks keberhasilan agamawan dapat diukur atau dilihat dari atribut yang diberikan atau disematkan oleh para pengikutnya di bumi (ardhi), sebut saja: pendeta, bhiksu, rohaniawan, suhu, kiai dan sebagainya. Namun demikian sebutan atau sematan atribut di atas nyata-nyata masih banyak kurang memuaskan bagi para pengikut ajaran agama. Sebut saja kekacauan akhlak atau degradasi moral maupun bad attitude yang menerpa anak didik terhadap guru/ orang tua selama ini sampai-sampai pada kesenjangan distribusi ekonomi dikarenakan penerapan asas ekonomi kapitalisme, seolah menepis kepercayaan manusia akan hakikat indeks keberhasilan keagamaan tersebut.

Tuan-Tuan Yang Mulia, ajaran agama kita jelas-jelas menegaskan bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalankan aturan atau ajaran Tuhan dapat dilihat dari AKHLAK-nya. Sejatinya antara pemahaman ajaran Islam dengan akhlak pengikutnya memiliki koefisian yang berbanding lurus; artinya bahwa makin baik pemahaman seseorang atas ajaran Tuhan maka HARUS makin baik AKHLAK-nya baik akhlak terhadap manusia maupun akhlak kepada Tuhannya. Teladan kita Rasulullah saw menitipkan suatu hadis kepada kita semua: innamaa buitstu liutamimmaa makaarimal akhlak; yang artinya; sesungguhnya aku diutus (ke bumi) adalah untuk memulyakan (memperbaiki) akhlak. Nampak bahwa akhlak manusia menjadi kunci indikator (key indicator) atas kesuksesan agamawan.

Hadis di atas menuntun kita untuk mengetahui bahwa buah dari keagamaan itu adalah AKHLAK. Boleh saja seseorang telah berhaji tiga atau sampai lima kali karena memang secara finansial memungkinkan, namun pertanyaannya adalah; sudahkah akhlaknya ikut berhaji? Apakah kebiasaan buruk yang dilarang agama mulai ditinggalkannya sepulang berhaji? Apakah bicara dan perbuatannya di kantor atau di masyarakat masih menyakiti bawahan atau saudaranya? Apakah amarah masih menjadi makanan keseharian di rumah tangganya? Apakah ia masih "ringan tangan" kepada istri dan anak-anak-nya? Demikianlah sekelumit pertanyaan yang hendaknya menjadi renungan kita dalam hal menilai buah keagamaan.

Akhlak seseorang disusun oleh perjalanan ruhaninya dalam mencari hakikat ke-Tuhan-an yang dalam ajaran Islam akhlak tersebut disusun berdasarkan kalimat Tauhid; Laa ilaaha illallaah; tidak ada yang diTuhankan (diagungkan) kecuali Allah. Maka termasuk pula dia tidak boleh menyombongkan diri atau menepuk dada walaupun dia sendiri mampu untuk itu. Tersebutlah suatu malam Rasulullah saw pulang agak larut malam sehingga pintunya terkunci oleh istri beliau. Diketuknya pintu rumah beliau seraya mengucapkan salam; 'Assalaamu'alaikum' sebanyak tiga kali. Namun rupanya istri beliau tidak mendengar salam Rasulullah dikarenakan lelah beristirahat. Maka Rasulullah saw pun menggelar sorban beliau dan tidur di depan pintu rumah beliau sampai keesokan paginya beliau dibangunkan oleh istri beliau. Apakah Rasulullah saw marah? Sekali-kali tidak, walaupun beliau memiliki kans untuk marah saat itu. Beginilah sejatinya akhlak manusia yang ruhaninya telah menapak jalan ke-Tuhanan sehingga rasa amarah mudah disingkirkannya digantikan oleh rasa kedamaian.

Maka menjadi jelas bagi kita semua bahwa HANYA dengan akhlak yang terpuji manusia dapat dikatakan orang yang saleh atau salehah yaitu orang yang telah lulus dalam meniti jalan keagamaan. Nilai-nilai mengingat Tuhan (zikir) yang dituangkan dalam bentuk SHALAT (waaqiimushalaati lidzikri) dapat dilihat dari akhlah manusia yang mengerjakan shalat tersebut. Tatkala shalat dia mengucap Allaahu Akbar saat Takbiratul Ikhram yang artinya: 'Allah Maha Besar'. Maka sejatinya ego dan sombong-nya harus mampu ditinggalkan. Amarah dan sifat dengki harus dapat dibuang jauh-jauh. Semua itu digantinya (substitute/ compensate) dengan kedamaian dan ketulusan hidup. Sedangkan tatkala dia menutup shalat dengan ucapan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh' (semoga keselamatan rahmat dan keberkahan dari Allah meliputi kalian) maka seharusnya orang yang selesai shalat dapat memberikan 'kesejukan' bagi orang-orang di sekeliling-nya.

Dengan akhlak yang terpuji Rasulullah saw membangun rumah tangga dan membangun negara saat itu. Sehingga sampai-sampai dari rumah beliau yang sempit dan terbuat dari bilik korma, muncullah kata-kata beliau; baiti jannatii; yang artinya; rumah-ku adalah surga-ku. Rupanya Rasullullah saw telah sampai kepada 'pantai' ketenangan hidup berumah tangga. Beliau sadar betul bahwa surga rumah tangga yang baik dan benar tidak berdasar atas kumpulan materi atau ukuran luas dan bagusnya rumah, akan tetapi beliau sadar betul rumah tangga yang damai adalah yang didasarkan atas keluasan dan kesatuan visi keagamaan dengan istri. Lalu bagaimana dengan rumah tangga kita? Apakah dengan tabungan/ giro/ deposito/ saham/bonds yang telah kita miliki ditambah lagi dengan beberapa investasi rumah dan tanah telah mampu mengantarkan keadaan rumah tangga kita menjadi surga layaknya yang dirasakan Rasulullah saw tersebut?.

Akhlak yang prima haruslah diiringi dengan keyakinan kepada Tuhan yang prima pula. Keyakinan yang membawa kaki dan tangan kita berani melangkah dan mengambil suatu keputusan hidup. Orang yang yakin akan Tuhannya maka hilanglah rasa ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini dicontohkan oleh Tuhan tatkala 'mendidik' Musa a.s. sebagaimana FirmanNya dalam QS Thaha ayat 17-21; 'Dan Apakah yag ada di tangan kanan-mu, wahai Musa?' Musa berkata: 'Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya dan aku merontokkan daun-daun dengannya untuk makanan kambingku, dan bagiku masih ada manfaat yang lain'. Allah ber-Firman; 'Lemparkanlah ia, wahai Musa'. Lalu Musa melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: 'Peganglah dia (khudzhaa) dan jangan takut (walaa takhaf). Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula'.

Sebagai manusia saat itu rupanya Musa a.s. memendam rasa takut memegang ular besar tersebut sehingga Allah swt menegaskannya dengan kata khudzhaa walaa takhaf (peganglah dan jangan takut). Beginilah Tuhan telah mampu mendidik Musa a.s. sehingga beliau memiliki keyakinan yang prima dan percaya diri penuh untuk menghadapi perintah Tuhan yang berat selanjutnya, yaitu menghadapi Fir'aun.

Dari keterangan di atas menjadi jelaslah bagi kita semua bahwa akhlak yang mulia bersumber pada tunduk dan patuh kepada perintah Allah swt. (sami'na wa 'atha'na). Dengan kontraproduktif dapat dikatakan bahwa HANYA dengan tunduk dan patuh kepada Allah swt semata kita mampu menggapai akhlak yang mulia baik di sisi Tuhan maupun di sisi manusia. Keberhasilan pendidikan akhlak maupun moral bagi pengikut ajaran agama (the follower)dapat pula diukur dari sejauh mana ia mampu mengontrol hawa nafsunya atau keinginan-nya baik itu berupa hawa nafsu seks, makan, minum, marah maupun hawa nafsu materi. Hal ini ditengarai Tuhan dalam Firman-Nya QS Al Furqan ayat ke 43: 'Sudahkan engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan-nya?' Ayat ini mendidik kita untuk pandai-pandai menempatkan dan mengontrol 'keinginan-keinginan' atau hawa nafsu kita, agar mereka tidak menjerumuskan sehingga kita dibuat lupa akan Tuhan kita, Allah swt yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar.

Dengan akhlakul karimah - akhlak yang mulia, Rasulullah saw berhasil membangun mahligai rumah tangga yang penuh ketenangan (sakinah) penuh rasa cinta (mawaddah) serta penuh rasa kasih sayang (rahmah) di dalamnya. Sehingga beliau mampu merasakan surga dunia dalam rumah tangga walaupun kelak beroleh surga Tuhan di negeri Akhirat kelak. Dengan akhlak yang ter-puji dan telah teruji pula beliau mampu membangun masyarakat madani (civil society) beserta para pengikutnya yang pertama di muka bumi yaitu di Kota Madinah yang berkembang menjadi negara yang penduduk-nya mencintai Allah dan Allah-pun cinta kepada penduduk-nya (baldatun thayyibatun warabbun ghafur).

Menjadi teranglah 'kaca batin' kita sekarang bahwa 'buah agama' atau 'buah ke-agama-an" adalah akhlak manusia itu sendiri. Sejatinya sejak kita mengaku beragama Islam, ber-Tauhid; laa ilaaha illallaah; maka kita harus berupaya terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan akhlak kita. Utamanaya akhlak kepada istri dan anak kita, akhlak kepada orang tua, mertua dan saudara-saudara kita, dan juga akhlak kepada para tetangga kita. 'Buah Agama' yang baik adalah apabila orang-orang yang berada di sekeliling kita terhindar dari tangan dan ucapan kita. Terhindar dari ucapan kita yang menyakitkan orang lain maupun perbuatan tangan kita yang 'mematikan' orang lain. Dengan demikian manusia di sekeliling kita merasa aman dan terayomi karena keberadan kita. Dan itulah esensi ajaran akhlak Islam sesunggunya. Allaahu'alam, Wassalam (hmp)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga