Membahas mengenai masalah ketenagakerjaan, kesiapan Indonesia dalam menghadapi tantangan penyediaan tenaga kerja atau sumber daya manusia yang bermutu belumlah maksimal. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Waspada, 2002) bahwa pekerja Indonesia sangat memprihatinkan kualitasnya karena menempati posisi terendah dari 12 negara ASEAN.
Kemudian data UNDP dari PBB juga menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia juga menduduki posisi terendah. Dengan kondisi ini wajar jika riset yang dilakukan oleh PERC (Kompas, 2003) mengatakan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia sejajar dengan negara-negara Afrika, atau dengan kata lain menduduki posisi 95 dari 110 negara yang disurvey.
Fakta ini membuat pakar ekonomi menyatakan pesimis akan kemampuan dunia usaha Indonesia memasuki pasar bebas dan pasar global. Padahal Indonesia telah ikut meratifikasi perjanjian perdagangan bebas baik untuk kawasan regional AFTA maupun yang berskala internasional seperti APEC dan GATT yang berarti Indonesia harus siap untuk memasuki pasaran negara asing dan siap pula sebaliknya menerima negara asing untuk membuka usaha di Indonesia. (Nasution, 2000).
Selama ini banyak perusahaan di Indonesia berhasil memperoleh kesuksesan karena adanya praktek monopoli, proteksi dan subsidi, terutama industri-industri yang dianggap memiliki posisi kunci dan strategis. Praktek ini tentunya akan hilang pada era liberalisasi perdagangan nanti. Oleh sebab itu mau tidak mau perusahaan harus mengubah landasan suksesnya agar dapat mencapai keunggulan bersaing dalam era perdagangan bebas nanti (SWA, 2002).
Djawahir (SWA, 2002) mengemukakan suatu fenomena bahwa perusahaan masih menyarankan karyawannya hanya untuk bekerja. Dengan kata lain, karyawan hanya dijadikan sebagai robot. Kenyataan seperti ini akan melahirkan orang-orang yang hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir, sehingga dapat diartikan bahwa sumber daya manusia masih dianggap sebagai salah satu faktor produksi dan bukan sebagai asset dalam arti sebagai mitra perusahaan.
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan filsafat pemberdayaan manusia masa sekarang dalam setting organisasi. Wright (1994) mengatakan bahwa kompetisi global harus dihadapi perusahaan dengan meningkatkan kontribusi sumber daya manusia. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Pfeffer (1996) bahwa pada masa sekarang ini hanya ada satu landasan untuk keunggulan bersaing yang lestari bagi perusahaan, yaitu bagaimana mengelola faktor sumber daya manusia di perusahaan.
Menurut Pfeffer keunggulan bersaing yang dicapai melalui pengelolaan sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan dapat dijadikan sebagai sumber keunggulan kompetitif serta tidak mudah ditiru pesaing karena, antara lain:
* Tidak setransparan mengelola sumber daya lain seperti komputerisasi sistem informasi
* Adanya pengaruh budaya dalam mengelola sumber daya manusia, dimana budaya organisasi akan mempengaruhi ketrampilan, kemampuan, serta kesesuaian dengan sistem yang ada.
Pengelolaan sumber daya manusia yang mengarah pada pencapaian prestasi dapat dilakukan dengan menumbuhkan situasi kompetisi antar karyawan. Kompetisi yang berarti saling mengatasi dan berjuang antara dua individu, atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan obyek yang sama (Chaplin, 1999) jika dilakukan dengan aturan main yang jelas dan adil akan menghasilkan keuntungan tersendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Porter (Ginting, 1999) bahwa hadirnya pesaing memungkinkan individu dapat meningkatkan keunggulan bersaingnya.
Di Indonesia sendiri, kompetisi masih sulit diterima oleh individu karena lingkungan manusianya yang berbeda dan sistem personalnya yang tidak mendukung. Kemungkinan utama adalah faktor senioritas lebih dominan daripada prestasi dan ketrampilan sehingga keinginan untuk berkompetisi dalam mencapai prestasi sulit untuk dikembangkan.
Ditambahkan pula bahwa untuk meningkatkan keinginan berkompetisi, faktor motivasi dan pembelajaran yang diberikan organisasi menjadi sangat menentukan. Hal ini berarti pihak manajemen harus memperhatikan aspek suasana kerja dan umpan balik yang memungkinkan karyawan mampu meningkatkan kemampuan dalam mencapai tujuan tugas yang memuaskan (Gibson, dkk. 1998).
Keinginan berkompetisi tumbuh melalui dorongan motivasi berprestasi pada karyawan. Menurut Mc.Clelland (1987) jika seseorang memiliki motivasi berprestasi maka ia akan berusaha untuk mengungguli orang lain, berprestasi sesuai dengan standar, dan berjuang untuk sukses. Mereka juga mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau efisien daripada yang dilakukan sebelumnya.
Memotivasi seorang karyawan tentu saja tidak terlepas dari usaha pihak organisasi untuk meningkatkan ketrampilan karyawan. Di Inggris, tuntutan untuk memperbaharui atau menambah ketrampilan karyawan kini menjadi agenda politik (Dale, 2003). Sebagai contoh, National Council for Vocational Qualification (NCVQ) dibentuk untuk memfokuskan kembali fungsi pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan yang berkaitan dengan kerja dan membuat standar kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis demi pencapaian suatu produktivitas kerja karyawan yang baik.
Organisasi didorong untuk melatih karyawan sesuai dengan tuntutan pekerjaan, bukan mempelajari apa yang seharusnya tidak perlu dipelajari. Lembaga pendidikan NCVQ kini mulai bekerja sama dengan dengan organisasi bisnis untuk bisa menghasilkan lulusan yang mampu bekerja dan memiliki ketrampilan.
Selain itu organisasi juga didorong untuk melakukan pelatihan para karyawannya. Gerakan Investor in People (Dale, 2003) bertujuan mendorong organisasi untuk memastikan bahwa karyawannya secara sistematis dilatih dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Telah diakui bahwa salah satu sebab buruknya kinerja dan lemahnya daya saing ekonomi Inggris adalah kelalaian para pemberi kerja dalam pembelajaran.
Selain itu, banyaknya orang yang telah lama dan sering menganggur menyebabkan hilangnya ketrampilan, termasuk kemampuan belajar, yang telah mereka kuasai sebelumnya. Banyak ketrampilan yang telah mereka miliki menjadi ketinggalan jaman karena terjadinya perubahan teknologi dan cara kerja.
Pedler, dkk (Dale 2003) mengatakan bahwa organisasi pembelajar adalah sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan diri. Hal ini sejalan dengan pendapat Farago dkk. (Munandar, 2003) yang mengatakan bahwa organisasi adalah tempat berjalannya suatu proses yang berkesinambungan dalam tujuannya meningkatkan kemampuan diri dan orang-orang yang terlibat didalamnya.
Ditambahkan lagi oleh Farago, dkk. (Munandar 2003) bahwa organisasi pembelajar akan mengarah pada: (1) Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya; (2) Secara terus menerus menunjang kemampuan untuk berubah; (3) Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif; dan (4) Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang terbaik.
Keseluruhan aspek yang dikemukakan oleh Farago mengarah pada keinginan untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungan disekitarnya dalam tujuan untuk memperbaiki kinerja dan mengamati kinerja orang lain. Keinginan untuk maju dan terus belajar menjadi kunci tujuan organisasi pembelajar.
Dari sisi jumlah individu organisasi pembelajar dapat dilihat dari bentuk kerja sama dalam kelompok maupun dalam bentuk personal yang mengarah pada aspek persaingan. Persaingan yang dimunculkan oleh individu karyawan dalam usaha meningkatkan kinerja inilah yang sebenarnya menjadi topik yang menarik karena pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk bersaing yang dimunculkan dari motivasi berprestasinya.
Dari uraian di atas maka ingin dilihat sejauh mana dampak dari penerapan organisasi pembelajaran terhadap keinginan karyawan untuk berkompetisi melalui pengembangan diri yang optimal. Kemampuan karyawan dalam mengembangkan diri akan menumbuhkan motivasinya untuk bersaing dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan.
Kompetisi Kerja
Bernstein, Rjkoy, Srull, dan Wickens (1988) mengatakan bahwa kompetisi terjadi ketika individu berusaha mencapai tujuan untuk diri mereka sendiri dengan cara mengalahkan orang lain. Menurut Sacks dan Krupat (1988) kompetisi adalah usaha untuk melawan atau melebihi orang lain. Sedangkan menurut Hendropuspito (1989) persaingan atau kompetisi ialah suatu proses sosial, di mana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi.
Wrightsman (1993) mengatakan bahwa kompetisi adalah aktivitas dalam mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi. Salah satunya adalah Competitive reward structure dimana tujuan yang dicapai seseorang memiliki hubungan negatif, artinya ketika kesuksesan telah dicapai oleh satu pihak maka pihak lain akan mengalami kekalahan. Hal ini disebut Deutsch’s (Wrightsman, 1993) sebagai Competitive Interdependence.
Setiap individu pada umumnya dikuasai nafsu bersaing. Menurut Teori Seleksi dari D.C. Ammon (Hendropuspito, 1989), berdasarkan pada teori Darwin dan Spencer, sejak dahulu makhluk hidup didorong oleh alamnya sendiri untuk melewati proses seleksi menuju ke keadaan yang makin sempurna. Melalui perjuangan hidup makhluk hidup yang lemah tersingkir dari kehidupan dan yang kuat terus bertahan melewati proses seleksi baru.
Prinsip the survival of the fittest (yang bertahan adalah yang bermutu paling baik) kemudian dikembangkan sebagai landasan dari semua bentuk persaingan. Dengan persaingan itulah masyarakat mengadakan seleksi untuk mencapai kemajuan.
Jadi persaingan mempunyai beberapa fungsi positif, yaitu :
* Persaingan merupakan pendorong yang positif bagi manusia dan masyarakat untuk terus-menerus mencapai tahap-tahap kemajuan yang makin tinggi.
* Dengan persaingan orang didorong untuk memusatkan perhatian dan pikiran, tenaga dan sarana untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada hasil yang dicapai kini, bahkan hasil terbaik di antara orang-orang lain.
* Semangat persaingan mendorong orang untuk membuat penemuan-penemuan baru yang mengungguli penemuan orang lain.
Kompetisi merupakan bagian dari konflik, dimana konflik dapat terjadi karena perjuangan individu untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas dan lainnya, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga menundukkan saingannya. Dengan potensi yang ada pada dirinya, individu berusaha untuk memaksakan kehendak atau berusaha untuk mendapatkan pengakuan atas kemenangannya, dalam memperebutkan kesempatan (Anoraga, 2001; Widiyanti.,1993).
Sedangkan menurut Gitosudarmo & Sudita (2000) persaingan dalam memperebutkan sumber daya tidak akan menimbulkan konflik manakala sumberdaya tersedia secara berlimpah sehingga masing-masing subunit dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya.
Akan tetapi ketika sumberdaya yang ada tidak cukup untuk memenuhi tuntutan dari masing-masing subunit atau kelompok, maka masing-masing subunit atau kelompok berupaya untuk mendapatkan porsi sumberdaya yang langka tersebut lebih besar dari orang lain dan konflik mulai muncul.
Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2000), determinan bagi terbentuknya kompetisi adalah sebagai berikut:
1) Struktur reward yang terbatas. Dalam arti ketika individu hendak mencapai reward tersebut harus ada pihak lain yang mengalami kekalahan.
2) Nilai personal individu. Dimana ada individu yang merasa harus melakukan hal yang lebih baik dari orang lain.
Banyak manajer menggunakan teknik-teknik untuk merangsang terjadinya kompetisi dalam sebuah kelompok. Salah satu penghargaan yang diberikan agar karyawan menunjukkan unjuk kerja yang efektif adalah dengan pemberian insentif dan bonus (Gibson, Ivancevich, & Donnelly.,1997).
Ciri khas dari persaingan menurut Hendropuspito (1989), yaitu :
1. tujuan yang sama yang hendak dicapai.
2. penilaian yang berbeda didasarkan pada cara dan derajat mutu persaingan.
3. kecepatan dan keindahan dalam pencapaian tujuan serta kesesuaiannya dengan “aturan permainan” menentukan mutu persaingan.
4. tidak adanya kekerasan dan ancaman untuk menghancurkan pihak lain. Hal ini memungkinkan persaingan berjalan dengan damai.
Dari beberapa pendapat mengenai kompetisi dalam kerja dapat disimpulkan bahwa kompetisi merupakan situasi dimana ada satu tujuan yang hendak diraih oleh banyak individu, sehingga memotivasi individu tersebut untuk melebihi orang lain dengan cara meningkatkan unjuk kerja.
Faktor-faktor Mempengaruhi Kompetisi Kerja
Jenis Kelamin
Penelitian tentang perbedaan antara pria dan wanita telah banyak dilakukan. Banyak perbedaan yang telah ditemukan, baik dari segi fisik, kepribadian maupun dalam perilaku kerja. Ancok, Faturochman & Sutjipto (1988) mengatakan bahwa salah satu penyebab mengapa wanita kemampuannya lebih rendah dibandingkan pria adalah anggapan bahwa sejak kecil wanita memang lebih rendah dari pria.
Stereotipe peran jenis mengatakan bahwa pria lebih kompetitif dibandingkan wanita. Wanita lebih bersifat kooperatif dan kurang kompetitif (Ahlgren, 1983). Keadaan ini disebabkan adanya perasaan takut akan sukses yang dimiliki wanita serta konsekuensi sosial yang negatif yang akan diterimanya. Bila wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan merasa kehilangan feminimitas, popularitas, takut tidak layak untuk menjadi teman kencan atau pasangan hidup bagi pria, dan takut dikucilkan (Dowling, dalam Arnold & Davey, 1992).
Anggapan tersebut didukung oleh penelitian bahwa sikap kooperatif lebih tinggi pada wanita dan sikap kompetitif lebih tinggi pada pria (Ahlgren & Johnson, dalam Ahlgren, 1983).
Jenis Pekerjaan
Gibson (1996) mengatakan bahwa kompetisi akan terjadi pada pekerjaan-pekerjaan dimana terdapat insentif, bonus atau hadiah.. Kompetisi secara luas dapat diterima pada pekerja white collar dan juga pada pekerja tingkat manajerial, yaitu mereka yang berada pada tahap tingkat pekerjaan minimal staf.
Tingkat Pendidikan
Liebert & Neake (1977) berpendapat bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi semakin kuat. Harapan-harapan dan ide kreatif akan dituangkan dalam usaha penyelesaian tugas yang sempurna (Caplow, dalam As’ad, 1987). Ide yang kreatif merupakan simbol aktualisasi diri dan membedakan dirinya dengan orang lain dalam penyelesaian tugas serta kualitas hasil.
Promosi Karir
Berdasarkan penyelidikan di negara-negara barat, ternyata gaji hanya menduduki urutan ketiga sebagai faktor yang merangsang orang untuk bekerja. Sedangkan faktor yang paling utama di dalam memotivisir orang bekerja adalah rasa aman dan kesempatan untuk naik pangkat (promosi) dalam pekerjaanya (Anoraga, 2001).
Rosenbaum & Turner (Dreher, dkk. 1991) mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman individu pada awal bekerja dimana ia mampu mengalahkan rekan kerjanya dalam perolehan pengetahuan, keahlian dan informasi akan memberi dampak positif bagi kecerahan prospek karirnya.
Dijelaskan bahwa adanya dukungan dari perusahaan, terutama orang-orang sebagai sponsorship yang memberikan arahan akan mendorong karyawan untuk lebih berhasil dalam pencapaian karir selanjutnya. Sponsor atau yang dikenal dengan mentor memberikan informasi tentang karir, kesempatan yang diperoleh dalam usaha pengembangan pribadi, dan memberikan konseling karir bagi mereka (David & Newstrom, 1989).
Umur
Gellerman (1987) berpendapat bahwa para pekerja muda pada umumnya mempunyai tingkat harapan dan ambisi yang tingi. Mereka mempunyai tantangan dalam pekerjaan dan menjadi bosan dengan tugas-tugas rutin. Mereka tidak puas dengan kedudukan yang kurang berarti. Hal ini juga terjadi pada pekerja usia menengah. Status menjadi sesuatu yang penting. Pada usia inilah mereka akan ditentukan apakah sukses atau tidak. Sebaliknya, di usia lanjut, kompetisi biasanya dielakkan karena menurunnya stamina.
Sosial Ekonomi
Arnold (Freedman, Sears, & Carlsmith, 1981) berpendapat bahwa adanya bonus yang diberikan pihak perusahaan bagi mereka yang dianggap berprestasi merupakan tendensi alami untuk berkompetisi. Bonus yang diberikan umumnya berupa uang, dan sangat mempengaruhi keinginan individu untuk berkompetisi meraihnya. Atkinson (Mc. Clelland, 1987) berpendapat bahwa semakin tinggi ganjaran uang, semakin tinggi pula performansi, terutama saat munculnya kesempatan untuk meraih kemenangan.
Masa Kerja
Para pekerja usia menengah dengan pengalaman kerja yang cukup sangat mementingkan status. Pada usia ini sangatlah menentukan apakah mereka akan sukses selanjutnya atau tidak. Kesuksesan diperoleh melalui keinginan berkompetisi dalam pencapaian tujuan, karena pada tingkat usia menengah mereka telah sampai pada tahap pemeliharaan karir.
Usaha mempertahankan dan meningkatkan karir dilakukan dengan menunjukkan prestasi kerja sebaik-baiknya. Prestasi kerja meningkat sejalan dengan bertambahnya pengalaman dalam penyelesaian tugas (Ghiselli & Brown, 1955; Blum & Nayer, 1968).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melakukan kompetisi dalam kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat eksternal dan internal. Jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, masa kerja, promosi karir, dan keinginan untuk meningkatkan status sosial ekonomi sangat mempengaruhi keinginan seseorang untuk berkompetisi.
Perbedaan antara pria dan wanita berdasarkan penelitian merupakan hal mendasar yang membedakan keinginan untuk berkompetisi. Karakteristik pribadi yang dimiliki wanita lebih mengarahkan mereka menghindari konflik danpersaingan.
Organisasi Pembelajar (Learning Organization)
Istilah organisasi pembelajar sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa “jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.”
Statemen-nya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh praktek terbaik sehingga organisasi pembelajar bisa dijiplak dan diperbanyak. Kondisi ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan berusaha mencari contoh dari perusahaan yang berhasil. Dengan kata lain mereka berusaha mencari organisasi yang paling sempurna untuk dicontoh tanpa menyadari bahwa tidak ada bentuk organsiasi yang seperti itu.
Dengan suatu proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka Pedler, Boydell dan Burgoyne (1988) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai berikut:
“Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasi diri.”
Pedler, dkk (1988) menekankan sifat dua sisi dari defenisi tersebut. Suatu perusahaan pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan. Perlunya pengembangan ketrampilan individu tertanam dalam konsep, setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan pembelajaran organisasi.
Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi yang:
1. Mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;
2. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan;
3. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis;
4. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus;
Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Peter Sange (1990) mengatakan sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi “yang terus menerus memperbesar kemampuannya untuk menciptakan masa depannya” dan berpendapat mereka dibedakan oleh lima disiplin, yaitu: penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran tim, dan pemikiran sistem.
Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan ketrampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya, pembelajaran organisasi adalah:
1. Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota;
2. Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3. Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali unsur-unsur organisasi;
4. Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk meta-pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan;
5. Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-oleh mengikat beberapa sub-proses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian.
6. Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktek-praktek organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku.
Tokoh lain yang memberikan defenisi mengenai organisasi pembelajaran adalah John Farago & David Skyrme (Munandar, 2003). Dalam salah satu tulisan mereka mengatakan bahwa: “Learning Organizations are those that have in place systems, mechanism and processes, that are used to continually enhance their capabilities to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate.”
Dari uraian di atas dapat dicatat butir-butir berikut ini, yaitu bahwa organisasi pembelajaran adalah:
1. Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya;
2. Secara terus menerus menunjang kemampuan untuk berubah;
3. Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif;
4. Menggunakan hasil pembelajaran untuk mencapai hasil yang lebih baik;
Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi pembelajaran adalah organisasi yang secara terus menerus dan terencana memfasilitasi anggotanya agar mampu terus menerus berkembang dan mentransformasi diri baik secara kolektif maupun individual dalam usaha mencapai hasil yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan bersama antara organisasi dan individu di dalamnya.
Karakteristik Organisasi Pembelajar
Megginson dan Pedler (Dale, 2003) memberikan sebuah panduan mengenai konsep organisasi pembelajaran, yaitu:
“Suatu ide atau metaphor yang dapat bertindak sebagai bintang penunjuk. Ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini bagi mereka sekarang dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu menciptakan kondisi dimana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajar dapat dihasilkan”.
Kondisi-kondisi tersebut adalah:
1. Strategi pembelajaran;
2. Pembuatan kebijakan partisipatif;
3. Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang tersedia);
4. Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan);
5. Pertukaran internal;
6. Kelenturan penghargaan;
7. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan;
8. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan;
9. Pembelajaran antarperusahaan;
10. Suasana belajar;
11. Pengembangan diri bagi semua orang.
Meskipun melakukan semua hal di atas, tidak otomatis suatu organisasi menjadi organisasi pembelajar. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan sumber daya manusia.
Dalam organisasi pembelajar, pembelajaran menjadi inti dari semua bagian operasi, cara berperilaku dan sistem. Mampu melakukan transformasi dan berubah secara radikal adalah sama dengan perbaikan yang berkelanjutan.
Schein (Munandar, 2003) mengemukakan karakteristik organisasi pembelajar sebagai berikut:
* Dalam hubungan dengan lingkungan maka organisasi bersifat lebih dominan dalam menjalin hubungan;
* Manusia hendaknya berperilaku proaktif;
* Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik;
* Manusia pada dasarnya dapat diubah;
* Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan kolektivisme sama-sama penting;
* Dalam hubungan atasan-bawahan kesejawatan atau partisipatif dan otoritatif atau paternalistik sama-sama pentingnya;
* Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek;
* Untuk penghitungan waktu lebih digunakan satuan waktu yang medium;
* Jaringan informasi dan komunikasi berkesinambungan secara lengkap;
* Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya.
* Perlunya berpikir secara sistematis.
Farago dan Skyrme (Munandar, 2003) mengatakan bahwa organisasi pembelajaran memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berorientasi pada masa depan dan hal-hal yang sifatnya eksternal atau di luar dari diri organisasi;
2. Arus dan pertukaran informasi yang jelas dan bebas;
3. Adanya komitmen untuk belajar dan usaha individu untuk mengembangkan diri;
4. Memberdayakan dan meningkatkan individu-individu di dalam organisasi;
5. Mengembangkan iklim keterbukaan dan rasa saling percaya;
6. Belajar dari pengalaman;
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari organisasi pembelajaran adalah keyakinan bahwa individu adalah proaktif untuk meningkatkan keinginan diri, berusaha maju dan terus belajar dengan menciptakan iklim organisasi yang terbuka dan arus informasi yang jelas.
Kondisi ini nantinya akan menghasilkan proses yang terus berkesinambungan dengan tetap mengacu pada kondisi internal organisasi yang pada akhirnya mengacu pada kondisi dan tuntutan eksternal di luar organisasi.
Organisai Pembelajar (Lanjutan)
Sesuai dengan orientasi pengembangan sumber daya manusia dewasa ini, organisasi perusahaan dituntut untuk selalu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi terutama yang di luar organisasi. Saat ini orang menyadari bahwa perubahan terjadi sangat cepat.
Semua aspek mengalami perubahan. Gaya hidup, tradisi, teknologi, perekonomian bahkan kepemimpinan mengalami pergeseran-pergeseran yang jauh berbeda dari dasawarsa sebelumnya. Tidak ada yang menetap saat ini kecuali perubahan itu sendiri.
Iklim persaingan global mengacu pada dua hal: (1) Persaingan antar perusahaan; dan (2) Persaingan antar individu di dalam perusahaan. Kondisi ini berarti untuk sukses maka perusahaan atau organisasi harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya untuk selanjutnya bergerak menuju “perang” yang sebenarnya, yaitu perang antar perusahaan (Pfeffer, 1996)
Melalui penelitiannya, Mc. Clelland (Gibson, 1996) menemukan adanya hubungan motivasi berprestasi (need for achievement) dengan keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Jika seseorang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, maka ia terdorong untuk menetapkan tujuan yang penuh tantangan, serta menggunakan ketrampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pencapaiannya.
Kehadiran orang lain akan lebih memacu produktivitasnya. Orang lain dipandang sebagai saingan yang melahirkan perilaku kompetitif dalam pencapaian tujuan yang menantang, yaitu pengembangan aktualisasi. Penelitian tentang motivasi berprestasi ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara prestasi dengan keinginan berkompetisi (Johnson, 1981).
Kehadiran orang lain juga disebut sebagai pencetus lahirnya evaluation apprehension, yaitu perasaan orang lain turut mengevaluasi penampilan kerjanya (Cotrell, dalam Mc. Clelland, 1987). Pendapat ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keinginan berkompetisi dengan motivasi berprestasi. Orang-orang yang ingin bersaing dan mengungguli orang lain pada dasarnya memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.
Menurut Mc. Clelland, bisanya orang dengan n-ach tinggi umumnya memasang target pencapaian yang lebih tinggi dari apa yang bisa ia peroleh. Hal ini yang menyebabkan mengapa mereka selalu berorientasi pada kesuksesan. Selain itu ciri lain yang utama adalah mereka selalu menginginkan perubahan. Bukan hanya menginginkan tapi bahkan menyenangi perubahan.
Kondisi-kondisi yang terjadi di luar dirinya atau di luar organisasi tempat ia bekerja merupakan hal yang memberikan kepuasan baginya untuk ditaklukkan. Untuk itu mereka menuntut agar keinginan menghadapi perubahan difasilitasi oleh organisasi dalam bentuk upaya-upaya pembelajaran dan peningkatan kemampuan (Pedler, dkk dalam Dale, 2003).
Pada dasarnya orang-orang dengan jiwa kompetisi yang tinggi tidak menyukai iklim yang permanen. Mereka menuntut perubahan atau transformasi yang dilakukan organisasi secara terus menerus. Cita-cita mereka untuk mencapai “standard of excellent” akan dapat menjadi kenyataan dengan organisasi yang juga proaktif memajukan diri mereka melalui proses pelatihan dan pembelajaran. Menjadi anggota organisasi pembelajaran berarti berada dalam sebuah organisasi dimana pengajuan pertanyaan dan perubahan adalah hal yang normal (Lundberg, 1995).
Dalam istilah-istilah organisasi, tingkat perubahan ini mengharuskan orang melakukan hal-hal yang berbeda dan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Mungkin saja orang yang sama bekerja di tempat yang sama, memberikan jasa yang sama persis dengan sebelumnya, tetapi bekerja dengan cara yang sepenuhnya berbeda karena alasan-alasan baru.
Selanjutnya ditambahkan oleh Dale (2003) bahwa hidup di dalam dunia yang berkembang membawa tingkat ketidakpastian yang tinggi. Misalnya, staf mungkin tahu bagaimana visi organisasi karena perhatiannya telah diberikan untuk mendapatkan makna yang sama.
Namun, “apa artinya bagi saya” mungkin tidak jelas dan mungkin masih demikian jika pekerjaan tidak dimulai untuk menerapkan visi itu. Visi mungkin tidak berubah esensinya, tapi bagaimana visi itu dilihat dan dipahami mungkin berubah. Visi akan dipandang oleh orang-orang yang berbeda dari perspektif yang berbeda pada waktu yang berbeda dan ditafsirkan secara berbeda.
Sifat yang nisbi dari perubahan membuat orang harus mempersiapkan diri menuju iklim kompetitif. Sesuai dengan pendapat Hendropuspito (1989) kompetisi ditandai dengan penilaian yang berbeda pada cara dan mutu persaingan. Hal ini akan mengarah pada usaha-usaha mempersiapkan diri sesuai dengan persepsi diri individu mengenai persaingan tersebut.
Asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik dan proaktif mencapai perubahan (Schein, 1992) menjadikan upaya pembelajaran adalah hal yang ditempuh oleh individu-individu untuk mencapai kesuksesan persaingan.
Iklim kompetisi akan menuju pada keanekaragaman perilaku individu dalam mengembangkan diri dan mencapai tujuannya. Di dalam organisasi pembelajaran dikemukakan pula kemampuan dalam “mengelola keanekaragaman” (Dale, 2003). Hal ini berarti bahwa masing-masing individu mempunyai hak untuk menjalankan perbedaan dan harus didorong untuk memberikan kontribusi yang unik.
Pengelolaan keragaman membawa konflik keluar, ke dunia yang terbuka. Dengan memahami perspektif dan cara kerja yang berbeda-beda, akan dimungkinkan untuk membangun kualitas organisasi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa orang-orang yang memiliki jiwa kompetisi tinggi akan hidup dalam persaingan dan keinginan saling mengalahkan (Wrightsman, 1993).
Dunia baru penuh tantangan yang berbeda-beda sehingga kita perlu mencari cara kerja yang baru. Organisasi pembelajaran yang sedang dikembangkan selain merubah individu didalamnya juga bertujuan untuk merubah system dan cara kerja lama yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan perubahan eksternal dan tuntutan peningkatan kompetensi individu didalamnya.
Namun organisasi pembelajaran juga menekankan unsur kolektivisme selain unsur individual dalam pembelajaran dan keinginan berubah (Farago & Skyrme, dalam Munandar 2003). Kondisi ini nantinya tentu akan mengurangi dorongan untuk berkompetisi. Namun perlu juga diingat bahwa kompetisi tidak selalu mengarah pada persaingan individu.
Apa yang dikemukakan oleh Hendropuspito (1989) bahwa kompetisi tidak mengandung kekerasan dan ancaman untuk menghancurkan pihak lain. Hal ini memungkinkan persaingan berjalan dengan damai. Artinya individu bisa berusaha untuk maju tanpa melupakan kolektivisme.
PENUTUP
Kondisi ketenagakerjaan dan pengembangan sumber daya manusia sudah mengalami pergeseran nilai yang jauh berbeda dari dasawarsa sebelumnya. Pandangan mengenai karyawan yang dulunya sebagai obyek bergerak menjadi sebagai mitra perusahaan yang dihargai dan dipandang memberikan kontribusi tidak ternilai.
Globalisasi di segala bidang turut mempercepat aplikasi dari pandangan baru di atas. Indonesia sebagai salah satu anggota bangsa-bangsa di dunia mau tidak mau turut ikut melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Harus diakui bahwa Indonesia sebenarnya belum begitu siap dalam melaksanakan perubahan-perubahan tersebut.
Namun mau tidak mau, cepat atau lambat hal tersebut harus segera dilaksanakan. Kompetisi, baik dalam bentuk kompetisi kelompok maupun kompetisi individual dipandang perlu pada saat ini. Terutama untuk kompetisi individu dituntut pengembangan diri dan peningkatan kompetensi tanpa batas sebagai upaya untuk menjawab tantangan eksternal. Untuk itu keinginan individu untuk berkembang perlu untuk difasilitasi oleh pihak perusahaan.
Harmonisasi dari individu untuk berubah dan berkembang serta kesadaran organisasi untuk mengembangkan diri dan anggotanya merupakan kunci utama dari peningkatan kinerja dan mutu organisasi secara keseluruhan. Organisasi pembelajaran sebagai satu kosakata baru dalam pembahasan manajemen dipandang penting untuk memfasilitasi dan meningkatkan keinginan individu karyawan untuk berkompetisi.
Peningkatan kemampuan secara berkesinambungan baik dalam skill, nilai dan visi organisasi saat ini memang belum begitu optimal dilaksanakan. Seringnya pelatihan-pelatihan tanpa “need analysis” yang jelas membuat pelatihan kehilangan makna dan kekuatan.
Selain itu pelatihan sering dipandang hanya sebagai obat dari suatu penyakit yang sifatnya kuratif tanpa adanya upaya untuk mempersiapkan organisasi secara transformasional. Transformasi organisasi tidaklah sama dengan pengembangan organiasi Transformasi organisasi merujuk pada upaya organisasi yang untuk secara proaktif merubah semua aspek yang ada didalamnya, baik individu, kepemimpinan, sumber daya, struktur organisasi maupun proses-proses pertukaran informasi.
Pembelajaran organisasi adalah sesuatu yang baru yang kadang masihsering disalahtafsirkan hanya sebagai upaya-upaya pelatihan maupun pengembangan kemampuan organisasi dan karyawan. Sebenarnya organisasi pembelajaran membawa misi dimana pembelajaran yang dilakukan lebih pada merubah hakikat manusia atau individu karyawan untuk sadar akan potensi yang dimilikinya.
Pembelajaran yang berkesinambungan merupakan inti dari organisasi pembelajaran. Selain itu organisasi pembelajaran harus melihat ke dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain tidak ada pembelajaran instant yang bisa diterapkan sama pada semua pihak. Kekuatan organisasi pembelajaran lebih kepada kemampuan organisasi untuk menilai siapa dirinya, siapa orang-orang didalamnya yang selanjutnya digunakan sebagai sumber analisa dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan ciri khas suatu organisasi.
Untuk menjawab tantangan itu tentu saja perlu kerjasama antara organisasi dengan individu di dalamnya, kepekaan mengenai visi dan misi, kemampuan mengetahui harapan-harapan karyawan, serta kemampuan untuk merubah sikap dan perilaku kerja karyawan.
Diharapkan dengan kondisi saat ini yang penuh persaingan, dimana yang siapa akan tetap maju dan yang tidak siap akan tertinggal maka karyawan dapat termotivasi untuk selalu berbenah, baik sikap mental maupun ketrampilannya.
Berangkat dari kompetisi antar perusahaan diharapkan dengan organisasi pembelajaran, kompetisi muncul pada masing-masing individu bukan untuk saling mengalahkan, namun saling terpacu untuk selalu memberikan yang terbaik, belajar dari pengalaman dan tidak pernah puas akan hasil yang dicapai. Organisasi pembelajaran diharapkan akan menjadi wadah untuk menyalurkan semua harapan-harapan individu karyawan untuk tetap maju dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
* Ancok, J., Faturochman, Sutjipto, H.P. 1988. Persepsi terhadap Kemampuan Kerja Wanita. Jurnal Psikologi. Tahun XVI. No. 1, Juli 1988. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
* Anoraga, P. (2001). Psikologi Kerja. (Edisi ke-3). Jakarta : Rineka Cipta.
* As’ad, M. 1987. Hubungan Faktor Umur, Pendidikan, Masa Kerja, dan Kepuasan Kerja terhadap Produktivitas Kerja pada Petugas Dinas Luar Asuransi. Penelitian (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
* Chaplin, J.P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. (Edisi 5). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dale, M. 2003. Developing Management Skill (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia
* Djawahir, K.M. (2002, 10-23 Oktober). Tantangan (Makin) Sulit Tumbuhkan Komitmen Karyawan. SWA, 21, 36-38.
* Gellerman, S.W. 1987. Motivasi & Produktivitas (Terjemahan S. Wandoyo). Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
* Ginting, E.D.J. (1999). Hubungan antara Persepsi terhadap Pengembangan Karir dengan Intensi Melakukan Kompetisi Kerja pada Karyawan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
* KEPUSTAKAAN :
Gitosudarmo, I., Chons, M.C. Sudita, I.N. (2000). Perilaku Keorganisasian. (1 st ed.). Yogyakarta : BPFE.
* Hendropuspito, D. (1989). Sosiologi Sistematik. Jakarta : Kanisius.
* Munandar, A.S. 2003. Learning Organization dan Penerapannya Dalam Dunia Usaha Makalah Seminar Industri Kolokium di Makassar (Tidak Diterbitkan)
* Nasution, A. 2000. Peluang Bisnis di Era Kompetitif. Jakarta: PT. Pustaka Binnaman Pressindo
Komentar