Mungkin seringkali kita menonton film-film heroik yang diwarnai peperangan dahsyat. Seperti Saving Private Ryans, Pearl Harbour, atau yang paling mengesankan dari segi film adalah Rambo. Namun perwatakan yang paling mengesankan bagi saya adalah film-film yang dibintangi Mel Gipson.
Asyik banget menonton film-film perjuangan. Saya sampai bisa ikut merasakan, betapa gigih dan dahsyatnya perjuangan mereka membela negara. Segala daya upaya dikerahkan sepenuhnya untuk melawan musuh baik tenaga, kecerdasan, strategi dan modal kekuatan persenjataan agar menang dalam peperangan. Resiko terberat pun dihadapi dengan jantan. Ada yang hancur kakinya, pecah kepalanya, atau tak berbentuk lagi tubuhnya karena terkena dahsyatnya ledakan granat dan mesiu. Ada pula yang terkoyak dagingnya, berlobang dada, perut atau dahinya karena tertembus ganasnya desingan peluru, atau terkelupas kulit sekujur tubuhnya karena kobaran api peperangan.
Tak terbayangkan, bagaimana heroiknya lagi jika kita bisa menikmati film-filmnya perjuangan Bung Tomo, Panglima Sudirman atau Pangeran Diponegoro melawan para penjajah. Mungkin darah kita akan mendesir merasakan berada di tengah-tengah pertempuran mereka membela kehormatan bangsa.
Hancur badan atau nyawa melayang tentu sudah resiko peperangan. Dan tentu sudah diperhitungkan sebelumnya. Walaupun mati adalah resiko terberat dalam sebuah perjuangan, karena artinya dia sendiri tidak akan bisa menikmati perjuangan tersebut (itupun kalau berhasil).
Tapi tetap saja pejuang itu pantang menyerah. Baginya, arti kematian dirinya mungkin tidaklah begitu berarti. Namun itu akan sangat berarti bagi pejuang lainnya, menjadi cambuk semangat dan inspirasi bagi pejuang-pejuang penerus berikutnya.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana jika kita bukan tentara atau jendral dalam perang? Bahkan seorang tentara ataupun jendral ketika tidak ada peperangan akan sulit mengejawantahkan arti kepahlawanan jika tanpa pertempuran. Lalu, bagaimana dengan kita?
Profesi paling melekat dengan kepahlawanan, selain perjuangan dalam peperangan adalah atlet olah raga atau ikut dalam kompetisi tertentu. Mungkin mudah bagi mereka untuk membela negara, mengharumkan atau berjuang demi nama baik bangsa. Akan tetapi, bagaimana jika kita seorang wiraswasta, dosen, mahasiswa, guru, pedagang atau bahkan petani atau nelayan?
Amat banyak dari kita kadang terlalu menganggap remeh diri kita sendiri, bahkan merendahkan martabat sendiri. Saya pernah membaca berita, katanya banyak orang yang sebenarnya mampu, tapi lebih memilih tidak malu mengaku sebagai orang miskin agar bisa mendapatkan jatah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Tentu dia lebih senang menerima sumbangan (rela dianggap orang miskin), daripada berjuang jadi orang terhormat (yang bisa menyumbang misalnya).
Selebihnya, jika bertanya pada diri sendiri. Siapa kita? jawabannya malah dikonotasikan kurang terhormat, kurang berderajat, atau kurang elit. Kita lebih senang mengkonotasikan diri kita sebagai kaum rata-rata, orang biasa-biasa saja. Akhirnya karena sudah sugesti, ya tetap saja jadi orang biasa.
Padahal, jika kita berani memikirkan yang besar, yang positif dan membangun. Kita orang Insya Allah juga bisa menjadi besar. Besar yang dipikirkan, besar yang dilakukan, dan akan besar pula impactnya bagi kehidupannya.
Berpikir Besar
Untuk bisa berpikir besar, memang dibutuhkan keyakinan. Untuk memiliki keyakinan dibutuhkan ilmu dan pengalaman. Nah, oleh karena itu, ilmulah titik utamanya. Sehingga mengapa Al-Qur’an sangat mengutamakan menuntut ilmu.
Akan tetapi, seringakali orang menuntut ilmu tidak dengan semangat / motivasi yang besar. Dia hanya mengikuti ritme linier, menurut kurikulum yang ada. Sehingga, banyak dari sarjana yang lulus, akan tetapi tidak memiliki visi dan semangat perjuangan. Ini juga bisa menjadi ketimpangan tersendiri.
Yang ideal adalah menuntut ilmu dengan semangat perjuangan. Semangat perjuangan bukan hak asasi para pejuang kemerdekaan, olahragawan, atau pahlawan bangsa. Semangat juang adalah hak tiap warga negara yang ingin membela bangsa dan negaranya. Boleh mahasiswa, boleh pengusaha, boleh petani atau nelayan.
Akhirnya, yang menjadi fokus dari semua nilai perjuangan adalah niat. Meluruskan niat agar memiliki sikap kepahlawanan butuh perenungan dan berpikir. Memang tidak mudah memiliki semangat juang pahlawan kalau jadi seorang petani. Tidak mudah pula untuk seorang ibu rumah tangga.
Akan tetapi Allah sudah mentakdirkan kita menjadi apa yang saat ini kita hadapi. Tinggal bagaimana kita bisa bersyukur, menjalani dan mengisinya, dengan semangat perjuangan bak pahlawan. Ada 4 hal yang ditakdirkan Allah yang dapat merubah takdir itu sendiri, yaitu :
1. ikhtiar maximal : "Allah tidak merubah keadaan sebuah kaum kecuali ikhtiar mereka sendiri" (QS 13 : 11),
2. Doa : "tiada yang merubah qodhoKu kecuali doa hambaKu"
3. Baik Sangka : "AKU bagaimana prasangka hambaKu"
4. Tawakkal : " Siapa tawakkal kepada Allah, maka Allah akan menyelesaikan urusannya" (QS 65:3)
Jangan pernah menyerah..., berpeganglah pada keyakinan yang dimiliki, belajar disetiap waktu dan kesempatan yang ada...akan terlihat kualitas diri yang sesungguhnya...
(wicaksana, 2011)
Komentar