Langsung ke konten utama

TAHUN BERAPAKAH SEKARANG ? (Bagian Kedua: Kalender Hijriyah)


DALAM TULISAN terdahulu kita telah membicarakan kalender Masehi yang berdasarkan matahari (solar). Kini kita membahas kalender Hijriyah yang berdasarkan bulan (lunar). Meskipun negara kita memakai kalender Masehi sebagai almanak resmi, kalender Hijriyah tidaklah mungkin kita abaikan, sebab mayoritas bangsa kita memeluk agama Islam yang menggunakan kalender Hijriyah untuk menentukan saat berlangsungnya puasa Ramadhan dan Idul Fitri, ibadah haji dan Idul Adha, masa iddah istri yang ditinggal suami, perhitungan zakat tahunan, dan sebagainya.


Kalender Arab Pra-Islam

Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w., masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Awal tahun (Ra’s as-Sanah = Kepala Tahun) selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar September. Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai Shafar (“kuning”). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi`) berturut-turut dinamai Rabi`ul-Awwal dan Rabi`ul-Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau “beku”) sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan Maret.

Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya`ban (syi`b = lembah), saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah tanah pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Inilah bulan-bulan Ramadhan (“pembakaran”) dan Syawwal (“peningkatan”). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzulqa`dah (qa`id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Dzulhijjah, sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim a.s.

Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi’ yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzul-Hijjah.

Ternyata tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi’. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi’, belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab yang saat itu masih dalam suasana jahiliyah.


Pemurnian Kalender Lunar

Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad s.a.w., maka turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi’. Hal ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 36 dan 37:

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketentuan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, empat daripadanya bulan-bulan haram (Dzul-Qa`dah, Dzul-Hijjah, Muharram, Rajab). Itulah keputusan yang lurus (sesuai peredaran benda langit). Maka janganlah kamu menganiaya dirimu (dengan berperang) pada bulan-bulan haram itu. Dan (jika bulan-bulan haram telah lewat) perangilah kaum musyrikin seutuhnya sebagaimana mereka memerangimu secara utuh pula. Ketahuilah bahwa Allah menyertai orang-orang yang bertaqwa.

Sesungguhnya bulan nasi’ (interkalasi) hanyalah tambahan bagi kekafiran. Orang-orang kafir tersesat oleh bulan nasi’ itu. Mereka menghalalkan tahun yang satu dan mengharamkan tahun yang lain untuk memanipulasi bilangan bulan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan (perang) yang diharamkan Allah. Dihiaskan kepada mereka keburukan perbuatan mereka. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir.


Dengan turunnya wahyu Allah di atas, maka Nabi Muhammad s.a.w. mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi tergantung kepada perjalanan matahari. Hal ini lebih dipertegas dalam khutbah Nabi di Arafah tatkala beliau menunaikan haji. Meskipun nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzul-Hijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya, bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhan (“pembakaran”) tidak selalu di musim panas dan Jumadil-Awwal (“beku pertama”) tidak selalu di musim dingin.

Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Sangatlah tidak adil jika misalnya Ramadhan (bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin. Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni, masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa 16 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya udara Makkah di musim dingin.


Perhitungan Tahun Hijriyah

Pada masa Nabi Muhammad s.a.w. penyebutan tahun tidaklah memakai angka melainkan berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada tahun tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad s.a.w. lahir tanggal 12 Rabi`ul-Awwal Tahun Gajah (`Am al-Fil), sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah raja Abrahah dari Yaman berniat menyerang Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. mengalami Isra’-Mi`raj tanggal 27 Rajab Tahun Dukacita (`Am al-Huzn), sebab pada tahun itu Khadijah (istri Nabi) dan Abu Talib (paman Nabi) wafat. Kelahiran Nabi dan peristiwa Isra’-Mi`raj masing-masing bertepatan dengan tanggal 23 April 571 dan 27 Februari 621 Masehi.

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, gubernur Iraq Abu Musa al-Asy`ari berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain: “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun.”

Khalifah Umar ibn Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam Sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Talib, Abdurrahman ibn Auf, Sa`ad ibn Abi Waqqas, Talhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan perhitungan dari tahun kelahiran Nabi (`Am al-Fil, 571 M), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama (`Am al-Bi’tsah, 610 M). Tetapi akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali ibn Abi Talib, yaitu tahun berhijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah (`Am al-Hijrah, 622 M).

Ali ibn Abi Talib mengemukakan tiga argumentasi. Pertama, dalam Al-Qur’an sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladziina haajaruu). Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijrah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.

Maka Khalifah Umar ibn Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan hari Jum’at 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriyah. Dokumen tertulis bertarikh Hijriyah yang paling awal (mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar ibn Khattab kepada seluruh penduduk kota Aelia (Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi.


Sistem Kalender Hijriyah

Dari Muharram sampai Dzulhijjah, setiap bulan 30 atau 29 hari sehingga 354 hari setahun. Dalam setiap siklus 30 tahun, 11 tahun adalah kabisat (Dzul-Hijjah dijadikan 30 hari), yaitu tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Awal bulan (tanggal satu) ditandai dengan munculnya hilal (sehari atau dua hari sesudah konjungsi), yang dapat ditentukan dengan metode hisab (perhitungan astronomis) atau metode ru’yah (menyaksikan hilal dengan mata). Pada tanggal 18 Desember 2009, kita memulai tahun baru 1 Muharram 1431 Hijriyah, tahun ke-21 dalam siklus 1411-1440.

Oleh karena peredaran bulan adalah sesuatu yang eksak, maka awal puasa dan Idul-Fitri pada masa mendatang sudah dapat kita hitung secara ilmiah! Kita akan memulai ibadah puasa Ramadhan tanggal 11 Agustus 2010 dan merayakan Idul-Fitri tanggal 10 September 2010. Kemudian kita akan berpuasa Ramadhan lagi mulai 1 Agustus 2011, lalu berlebaran pada 30 Agustus 2011. Mudah-mudahan nanti tidak ada perbedaan antara hisab dan ru’yah!

Setiap 32 atau 33 tahun, dalam satu tahun Masehi terjadi dua kali Idul Fitri (awal Januari dan akhir Desember) seperti pada tahun 2000 yang lalu. Para pegawai memperoleh THR dua kali, serta Idul Fitri berdekatan dengan Tahun Baru Masehi. Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 1870, 1903, 1935, 1968, dan akan berlangsung lagi tahun 2033, 2065, 2098, 2130, dan seterusnya.


Konversi Kalender Hijriyah ke Masehi

1 Muharram 100 H = 3 Agustus 718
1 Muharram 200 H = 11 Agustus 815
1 Muharram 300 H = 18 Agustus 912
1 Muharram 400 H = 25 Agustus 1009
1 Muharram 500 H = 2 September 1106
1 Muharram 600 H = 10 September 1203
1 Muharram 700 H = 17 September 1300
1 Muharram 800 H = 24 September 1397
1 Muharram 900 H = 2 Oktober 1494
1 Muharram 1000 H = 18 Oktober 1591
1 Muharram 1100 H = 26 Oktober 1688
1 Muharram 1200 H = 4 November 1785
1 Muharram 1300 H = 12 November 1882
1 Muharram 1400 H = 21 November 1979
1 Muharram 1500 H = 29 November 2076

Oleh karena 32 tahun kalender Masehi = 33 tahun kalender Hijriyah, maka konversi tahun Hijriyah ke tahun Masehi atau sebaliknya dapat dilakukan dengan memakai rumus:

M = 32/33 H + 622

H = 33/32 ( M – 622 )


Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan ‘mengejar’ angka tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah. Saat itu kita entah sudah berada di mana. “Perhatikanlah waktu! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian...” demikian pesan suci Al-Qur’an.*IRFAN ANSHORY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga