Setiap tahun siklus pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa hampir selalu bersamaan. Oleh sebagian orang yang tidak faham sejarah dikatakan bahwa hal ini terjadi karena sejak 370 tahun silam kalender Jawa mengadopsi sistem penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan Bulan (Candrasengakala/Qomariyyah) mengelilingi Bumi. Lebih lanjut dikatakan, bahwa sampai tahun 1633 M masyarakat Jawa masih menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari (Surya Sengkala/ Syamsiyyah). Penanggalan Matahari dikenal sebagai sistem kalender Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1933 M, di mana Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis dalam bahasa Jawa, di mana dari naskah tersebut disimpulkan bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram. Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Simpulan dari pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat Jawa menggunakan perhitungan rembulan pada masa Sultan Agung yang mengadaptasi system kalender Hijriyyah, dengan hanya berdasar buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun, terbukti ahistoris dan menyesatkan. Sebab sepanjang sejarahnya, masyarakat Jawa selain menggunakan kalender Surya (matahari) yang diadaptasi dari kalender Saka dari India, masyarakat Jawa juga menggunakan system kalender Candra (rembulan) dan system Pranata Mangsa (musim).
Fakta sejarah menunjuk bahwa hampir semua prasasti semenjak era Mataram Kuno menggunakan system Candrasengakala (Qomariyyah) seperti Prasasti Pereng yang berbunyi:
“Swasti caka-warsasita 784 maghamasa cuklapaksa trenya somawara tatkala rake walaing pu kumbhayoni puyut sang ratu i halu…” (kemuliaan tahun Saka 784 yang lalu, pada bulan Magha, pada paruh bulan terang (suklapaksa), hari Senin ketiga, inilah saat Rake Walaing yang terhormat Kumbhayoni, buyutnya Ratu Halu,.)
Jelas sekali dalam prasasti Pereng itu yang digunakan adalah system rembulan (Qomariyyah) karena eksplisit disebut suklapaksa (paruh terang) di mana perhitungan suklapaksa (paruh terang) dengan krsnapaksa (paruh gelap) hanya digunakan pada kalender rembulan (Qomariyyah). Itu berarti, Sultan Agung tidak pernah mengubah kalender Jawa dari Surya (Syamsiyyah) menjadi Candra (Qomariyyah) dengan mengambil-alih kalender Hijriyah. Yang benar, Sultan Agung melakukan asimilasi antara kalender Hijriyah dengan kalender Candrasengkala Jawa, di mana nama-nama kalender Candrasengkala yang terpengaruh India diganti menjadi Arab seperti wewarah: Raditya/Radite diganti Ahad, Soma diganti Senin (Isnain), Anggara diganti Selasa (Tsalasta), Buda diganti Rabu/Rebo (Arba’a), Respati diganti Kemis/Kamis (Khomsa), Sukra diganti Jemuah (Jum’at), Tumpak/Saniscara diganti Sabtu; siklus kalender Candrasengakala yang mengikuti system Tanggal (Suklapaksa) dan Panglong (Kresnapaksa) yang membagi satuan bulan menjadi dua, yaitu tanggal 1 – 15 Tanggal (Suklapaksa) dan tanggal 1 – 15 Panglong (Krsnapaksa) diganti dengan hitungan tanggal Hijriyah dari tanggal 1 – 30 dalam satu bulan. Namun demikian, kalender Jawa-Islam yang disusun Sultan Agung lebih lengkap rumusnya disbanding kalender Hijriyah. Maksudnya, meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, namun kalender Jawa susunan Sultan Agung tidak mengikuti aturan penanggalan Hijriyah. Karena kalender Jawa-Islam lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur- unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah.
Konsep hari pasaran yang disebut pancawara yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) yang terdiri dari tiga puluh merupakan perwujudan unsur-unsur kalender Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Bahkan satuan tahun yang dalam penanggalan Jawa tidak memiliki nama tetapi mengikuti siklus Windu, diberi nama baru yang berasal dari bahasa Arab seperti Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir yang jumlahnya delapan tepat mengikuti siklus delapan tahunan yang disebut Windu yang khas Jawa. .
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong gabungan antara mathematical calendar dengan astronomical calendar, sedangkan kalender Hijriah hanya astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sedang alender Masehi tergolong mathematical calendar. Oleh karena sifat kalender Jawa-Islam adalah mathematical calendar sekaligus astronomical calendar, maka penetapannya berdasar hisab (hitungan mathematic) dan ru’yat (astronomis). Demikianlah, umat Islam di Jawa (yang diwadahi organisasi NU) sampai saat ini, masih menggunakan system gabungan mathematical calendar (hisab) dengan astronomic calendar (ru’yat) dalam menetapkan awal bulan.
Simpulan dari pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat Jawa menggunakan perhitungan rembulan pada masa Sultan Agung yang mengadaptasi system kalender Hijriyyah, dengan hanya berdasar buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun, terbukti ahistoris dan menyesatkan. Sebab sepanjang sejarahnya, masyarakat Jawa selain menggunakan kalender Surya (matahari) yang diadaptasi dari kalender Saka dari India, masyarakat Jawa juga menggunakan system kalender Candra (rembulan) dan system Pranata Mangsa (musim).
Fakta sejarah menunjuk bahwa hampir semua prasasti semenjak era Mataram Kuno menggunakan system Candrasengakala (Qomariyyah) seperti Prasasti Pereng yang berbunyi:
“Swasti caka-warsasita 784 maghamasa cuklapaksa trenya somawara tatkala rake walaing pu kumbhayoni puyut sang ratu i halu…” (kemuliaan tahun Saka 784 yang lalu, pada bulan Magha, pada paruh bulan terang (suklapaksa), hari Senin ketiga, inilah saat Rake Walaing yang terhormat Kumbhayoni, buyutnya Ratu Halu,.)
Jelas sekali dalam prasasti Pereng itu yang digunakan adalah system rembulan (Qomariyyah) karena eksplisit disebut suklapaksa (paruh terang) di mana perhitungan suklapaksa (paruh terang) dengan krsnapaksa (paruh gelap) hanya digunakan pada kalender rembulan (Qomariyyah). Itu berarti, Sultan Agung tidak pernah mengubah kalender Jawa dari Surya (Syamsiyyah) menjadi Candra (Qomariyyah) dengan mengambil-alih kalender Hijriyah. Yang benar, Sultan Agung melakukan asimilasi antara kalender Hijriyah dengan kalender Candrasengkala Jawa, di mana nama-nama kalender Candrasengkala yang terpengaruh India diganti menjadi Arab seperti wewarah: Raditya/Radite diganti Ahad, Soma diganti Senin (Isnain), Anggara diganti Selasa (Tsalasta), Buda diganti Rabu/Rebo (Arba’a), Respati diganti Kemis/Kamis (Khomsa), Sukra diganti Jemuah (Jum’at), Tumpak/Saniscara diganti Sabtu; siklus kalender Candrasengakala yang mengikuti system Tanggal (Suklapaksa) dan Panglong (Kresnapaksa) yang membagi satuan bulan menjadi dua, yaitu tanggal 1 – 15 Tanggal (Suklapaksa) dan tanggal 1 – 15 Panglong (Krsnapaksa) diganti dengan hitungan tanggal Hijriyah dari tanggal 1 – 30 dalam satu bulan. Namun demikian, kalender Jawa-Islam yang disusun Sultan Agung lebih lengkap rumusnya disbanding kalender Hijriyah. Maksudnya, meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, namun kalender Jawa susunan Sultan Agung tidak mengikuti aturan penanggalan Hijriyah. Karena kalender Jawa-Islam lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur- unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah.
Konsep hari pasaran yang disebut pancawara yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) yang terdiri dari tiga puluh merupakan perwujudan unsur-unsur kalender Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Bahkan satuan tahun yang dalam penanggalan Jawa tidak memiliki nama tetapi mengikuti siklus Windu, diberi nama baru yang berasal dari bahasa Arab seperti Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir yang jumlahnya delapan tepat mengikuti siklus delapan tahunan yang disebut Windu yang khas Jawa. .
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong gabungan antara mathematical calendar dengan astronomical calendar, sedangkan kalender Hijriah hanya astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sedang alender Masehi tergolong mathematical calendar. Oleh karena sifat kalender Jawa-Islam adalah mathematical calendar sekaligus astronomical calendar, maka penetapannya berdasar hisab (hitungan mathematic) dan ru’yat (astronomis). Demikianlah, umat Islam di Jawa (yang diwadahi organisasi NU) sampai saat ini, masih menggunakan system gabungan mathematical calendar (hisab) dengan astronomic calendar (ru’yat) dalam menetapkan awal bulan.
Komentar