Langsung ke konten utama

Tetuka (Tidak) Sekolah Bertaraf Internasional



Gatutkaca satria Pringgadani, sebelum kelak menjadi pemimpin, oleh para dewa digulawentah atau semacam disekolahkan ke kawah Candradimuka. Tentu tidak perlu bayar uang gedung, uang ekstrakurikuler, uang buku, uang seragam, uang badge, yang jumlahnya ndak bisa dibayangkan sebelumnya. “Jutaan rupiah!” Ya, karena Candradimuka memang disiapkan untuk mendadar calon pemimpin dan bukan ‘perusahaan’ calon pemimpin.


Tidak! Karena para dewa tahu, ia akan ‘mencetak’ manusia yang berakal budi luhur dan berjiwa kesatria. Meski tidak mengenal konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang juga tertuang dalam UUD 45, para dewa ini sadar, bahwa pendadaran Jabang Tetuka, tidak saja membuatnya menjadi manusia yang kuat, yang mampu mengalahkan Patih Sekipu yang deksia. Tetapi juga membuat Tetuka menjadi manusia cerdas dan berbudi luhur. Pendek kata, Tetuka berhasil menjadi manusia (kesatria) yang sempurna, berkat dadaran para dewa yang dipimpin Batara Narada.


Namun sekuat-kuatnya Tetuka atau Gatutkaca, ia punya titik kelemahan. Dan disanalah takdirnya ditentukan oleh sang Dewa. Gatutkaca harus tewas di tangan Karna. Karena ditangan Karna, tersimpan keris yang warangkanya berada di pusar Gatutkaca. Saat perang Baratayudha itulah antara keris dan kerangkanya menyatu di tubuh Gatutkaca. Gatutkaca pun gugur sebagai satria.


Kawah Candradimuka telah menjadi simbul proses pendidikan/pendadaran diri bagi mereka yang akan melakukan tugas berat sebagai kesatria atau pemimpin. Gatutkaca memang oleh para dewa dipersiapkan untuk menjadi pemimpin sekaligus pahlawan bagi negerinya Amarta dan keluarganya Pandawa. Menjadi pemimpin memang tidak hanya bermodal uang dan otot. Tetapi juga keprigelan (kepandaian dan ketrampilan) dalam memanajemen negerinya. Sebagai pemimpin selayaknya dipersiapkan secara matang dengan proses yang tidak instant. Menjadi pemimpin tidak sekedar punya karisma, tetapi di zaman modern seperti ini juga perlu punya wawasan (intelektual) yang layak.


Dari sini kita melihat, negeri kita –bukan Amarta maupun Astina- ini punya kecenderungan, bernafsu menjadi pemimpin hanya bermodal kekayaan, dan tentunya kekuatan otot. Mereka yang didukung banyak orang –meski otaknya kosong- dianggap yang mampu dan bisa memimpin. Kwalitas tidak penting. Yang terpenting adalah pendukung.


Jangan heran kalau menjadi pemimpin saat ini tidak beda jauh dengan pemilihan penyanyi popular di TV-TV. Ganteng, cantik, bisa membuat ibu-ibu dan remaja kesengsem, menangis, tidak perduli mereka tidak bisa membaca partitur, dan suaranya pas-pasan.


Begitupula, kini kita punya kecenderungan memilih pemimpin seperti ini, ‘pokoknya lolos konvensi, didukung banyak orang, berkarisma, membuat adrenalin pendukung naik, dan tidak perduli omongnya omong kosong dari otak yang kosong pula.’


Kita telah terjebak dalam politik citraan. Sebuah politik yang hanya memamerkan kulitnya saja. Tidak ada esensi. Yang terpenting eksistensi citranya. Tak beda jauh dengan iming-iming label Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Embel-embel internasional, membuat wali murid ngiler. Tidak peduli harus bayar berapa dan tidak peduli apakah nanti anaknya juga bertaraf internasional atau tidak. Yang penting –demi gengsi- anaknya sekolah yang bertaraf (sering dipelesetkan, bertarif, pen) internasional.


Padahal hemat saya, RSBI atau kemudian juga SBI, tak lain politik citraan di lembaga pendidikan kita. Sekolah yang seharusnya menjadi kawah Candradimuka kini malah berfungsi menjadi semacam mesin pencitraan. Tugasnya hanya membuat sesuatu yang seolah-olah berstandar internasional. Sebut saja karena bukunya dari Singapura, bahasa pengantarnya bahasa Inggris, kurikulumnya mengadopsi kurikulum University of Cambridge, dan nanti lulusannya bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri. Hmmm…dari sekian ratus siswa yang ada di Sumenep, Ngawi, Trenggalek, Pacitan, atau bahkan Surabaya, misalnya, ada berapa siswa yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri?


Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge, kalau semua itu justru mengasingkan siswa dari realitas sosialnya?

Kok sepertinya sekolah hanya bertugas menata maneqin (boneka mode) di etalase. Tidak perduli maneqin-maneqin itu boneka lawas, cuman didandani dengan baju-baju mode terbaru, agar diakui masyarakat internasional? Sungguh naif bukan?


Tetuka adalah manusia sempurna. Dan arah pendidikan kita sebenarnya memanusiakan anak didik untuk menuju manusia sempurna sebagaimana yang diidealisasikan oleh tujuan pendidikan nasional.


Kenyataannya, sampai saat ini, pendidikan di Indonesia dinilai masih belum berhasil untuk mewujudkan kepentingannya, memanusiakan manusia. Selain gagal melaksanakan proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge), sistem pendidikan di Indonesia juga gagal membentuk watak peserta didiknya.


Padahal jauh hari sebelumnya Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan kita tentang hakekat pendidikan. Menurutnya, pendidikan merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa yang besar, berdaulat, berharkat, dan bermartabat. Pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas apapun. Namun kenyataannya sekarang jurang menganga malah semakin jelas.


Paulo Freire, dalam konsep pendidikan, memperjuangkan masyarakat yang mampu berpikiran kritis. Pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia kembali setelah mereka mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu yang menyebabkan masyarakat terasing dari realitas lingkungan tempat mereka tinggal dan berinteraksi.


Persis seperti ketika Tetuka usai mengalahkan Patih Sekipu, Kresna dan Arjuna datang, meminta, agar Tetuka tidak lagi menggunakan taringnya. Kresna membebaskan Tetuka menjadi bangsa raksasa. Kresna menjadikan Tetuka sebagai manusia biasa. Sebagai satria yang menggunakan akal budinya untuk hidup.


Dan kini pendidikan kita sedang tercengkeram dalam taring kapitalisme global. Mau tidak mau kita harus melepaskan taring itu, agar pendidikan kita tidak terjebak dalam materialisme belaka, dimana sekolah hanya ditampakan pada fisiknya belaka, dan menghiraukan prosesnya.

http://wayang.wordpress.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Soerabaia 45 (1990)

Soerabaia 45  adalah  Film perjuangan   Indonesia  yang dirilis pada tahun  1990 . Film yang disutradari oleh  Imam Tantowi  ini dibintangi antara lain oleh  Nyoman Swadayani ,  Leo Kristi  dan  Usman Effendy . Kisah perang yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November di Surabaya. Antara lain tokoh pembakar semangat, Bung Tomo, perobekan bendera Belanda, tertembaknya jendral Inggris dan lain lain. Film ini seolah direkonstruksi ulang sebagai sebuah visual ulang kisah heroik itu dari kacamata rakyat biasa. Soerabaia `45 menceritakan kemarahan rakyat Surabaya yang meledak begitu mengetahui bahwa pasukan Sekutu membawa misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Perlawanan bersenjata pun dikobarkan hingga terbunuhnya pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur yaitu Brigadir Jenderal Mallaby. Surabaya  | Berbekal materi yang diadaptasi dari buku Peristiwa 10 November 1945 yang diterbitkan Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang diprakarsai oleh almarhum Bapak Blegoh Soema