Langsung ke konten utama

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG



Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu.

Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai dengan memperhatikan persamaan persamaan yang terdapat dalam beberapa kisah wayang yang tergolong sebagai kisah besar.

MAHABARATA DAN RAMAYANA

Sampai saat ini ada dua kisah wayang yang dianggap sebagai kisah besar yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kedua kisah ini berasal dari India dan di Indonesia kisah ini telah banyak diubah untuk disesuaikan dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

MAHABARATA

Mahabarata mengisahkan perang saudara yang terjadi antara para Pandawa dan Kurawa karena memperebutkan tahta kerajaan Amarta. Sesungguhnya perang saudara ini sejak sebelum lahirnya Pandawa dan Kurawa telah dikhawatirkan oleh para leluhur mereka. Kekhawatiran ini telah menyebabkan Bisma, salah seorang tokoh dalam Mahabarata, mengangkat sumpah untuk tidak menikah. Bisma bermaksud mencegah adanya keturunannya yang akan terlibat dalam perebutan tahta dengan saudara-saudara tirinya. Sesungguhnya Bisma adalah orang yang paling berhak atas tahta kerajaan Astina, tetapi demi kecintaannya pada ayahnya, ia rela mengorbankan haknya itu, dan bahkan bersumpah untuk tidak menikah agar ia tidak akan mempunyai keturunan yang di satu waktu menggugat kembali hak tersebut.

Bisma melepaskan haknya atas tahta kerajaan Astina, karena suatu waktu ayahnya yang telah menduda jatuh cinta pada seorang perempuan yang hanya mau dinikahi apabila anaknyalah―dan bukan Bisma―yang dinobatkan sebagai raja Astina kelak. Bisma kemudian memang mempunyai saudara tiri yang diangkat menjadi Raja Astina, tetapi, saudara tirinya ini ternyata tidak mempunyai keturunan, dan keburu mangkat dalam usia muda.
Untuk mendapatkan keturunan yang akan meneruskan pimpinan kerajaan Astina, istri saudara tiri Bisma itu lalu dinikahkan dengan anak ibu tirinya yang bukan anak ayahnya (pada waktu perempuan itu menikah dengan ayah Bisma, ia telah mempunyai seorang anak bernama Abiyasa. Abiyasa inilah yang kemudian menikah dengan para janda saudara tirinya Bisma).

Dari dua istri yang berbeda, Abiyasa mendapatkan dua orang anak yang masing-masing bernama Destarata dan Pandu. Sebagai anak sulung, sesungguhnya Destarata-lah yang berhak atas tahta kerajaan, tetapi karena ia buta sejak dilahirkan, kemudian tahta tersebut diserahkan kepada Pandu.

Pada suatu waktu Pandu mengikuti sayembara dan kembali dengan membawa tiga orang putri yang bersedia menjadi istrinya. Ketiga putri itu adalah Kunti, Madrim, dan Gandari. Pandu bermaksud menghadiahkan salah satu dari ketiganya kepada kakaknya.

Destarata memilih Gandari, yang sebetulnya tidak rela menjadi istri orang buta. Gandari kemudian melahirkan para Kurawa sementara Kunti dan Madrim melahirkan para Pandawa. Para Kurawa berjumlah seratus orang dengan Suyudana dan Dursasana sebagai pemimpin mereka. Sebaliknya Pandawa berjumlah lima orang, dan masing-masing bernama Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

Setelah dewasa, para Kurawa menuntut hak mereka atas tahta kerajaan Astina karena menurut mereka, tahta tersebut hanya diwakilkan kepada Pandu. Untuk mencegah keributan, para Pandawa kemudian diberikan tanah di hutan Dandaka yang kemudian mereka olah dan bangun menjadi kerajaan Amarta.

Amarta segera berkembang menjadi kerajaan yang menyaingi Astina, dan menimbulkan rasa iri para Kurawa. Mereka mengatur akal untuk bisa memperoleh hak atas kerajaan itu dan akhirnya melalui suatu permainan dadu yang curang, Yudistira, anggota Pandawa yang tertua, yang mewakili Pandawa dalam permainan ini, mengalami kekalahan total. Sebagai akibat dari kekalahan itu, dibuatlah suatu perjanjian yang sangat memberatkan pihak Pandawa.

Perjanjian itu menyatakan bahwa seluruh Kerajaan Amarta diserahkan kepada pihak Kurawa untuk jangka waktu dua belas tahun. Selama dua belas tahun itu, para Pandawa harus menetap di hutan (dengan harapan agar mereka binasa dimangsa binatang buas). Kemudian sepanjang tahun ketiga belas (selama satu tahun penuh para Pandawa harus menyamar dan menyembunyikan diri). Bila sebelum genap satu tahun Kurawa berhasil memergoki mereka, Pandawa harus mengulang kehidupan di hutan selama dua belas tahun dan pada tahun ketiga belasnya, mengulangi lagi penyamaran dan persembunyian mereka dengan persyaratan yang sama seperti sebelumnya. Sebaliknya bila para Pandawa berhasil dalam penyamaran dan persembunyian mereka, Kerajaan Amarta akan diserahkan kembali pada mereka.
Dengan perjanjian seperti ini, secara teoretis, para Pandawa tidak akan pernah memperoleh kembali kerajaan Amarta. Perjanjian yang sangat berat ini, harus diterima pihak Pandawa sebagai satu-satunya alternatif, yang masih lebih baik dari perjanjian sebelumnya (yang dibatalkan oleh Destarata), yaitu bahwa seluruh Pandawa harus menjadi budak para Kurawa.
Para Pandawa mentaati perjanjian ini dan berhasil bersembunyi di Kerajaan Wirata pada tahun ketiga belas dari pengasingan mereka. Sesuai dengan perjanjian, Kurawa harus mengembalikan Amarta. Pandawa mengutus Kresna untuk merundingkan penyerahan kekuasaan. Kurawa menolak untuk mengembalikan Amarta, dan sebagai akibatnya terjadilah perang Bharata Yuda.
Beberapa saat sebelum perang berlangsung, terjadilah dialog antara Kresna dan Arjuna (Arjuna adalah anggota nomor tiga dari komplotan Pandawa yang dalam perang itu diangkat sebagai salah satu panglima utama). Dialog Arjuna-Kresna ini kemudian terkenal sebagai Bhagavad Gita dan dinilai sebagai salah satu karya sastra yang besar.

RAMAYANA

Kisah Ramayana sebagai salah satu kisah wayang lain, dimulai dengan kelahiran Rahwana, seorang raksasa maha perkasa. Ia ditakdirkan untuk tidak dapat mati. Ia dilahirkan oleh Dewi Sukesih melalui perkawinannya dengan Resi Wisrawa. Pada awalnya, Wisrawa melamar Sukesih untuk dijadikan mantunya. Tetapi Sukesih hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengajarkannya “Sastra Jendra”, satu ilmu tentang rahasia kehidupan yang sesungguhnya tabu untuk dipelajari para perempuan.

Konon hanya Resi Wisrawa-lah satu-satunya orang yang menguasai ilmu itu. Karena itu, Sukesih kemudian merayu Wisrawa yang sebetulnya adalah calon mertuanya. Wisrawa tergoda dan dari hubungan di luar nikah mereka, lahirlah Rahwana dengan adik-adiknya, masing-masing bernama Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Dari keempat bersaudara, hanya Wibisana sajalah yang berparas elok, sementara ketiga saudara lainnya bertampang raksasa.
Setelah dewasa dan diangkat menjadi raja di Alengka, Rahwana mengumbar nafsunya dengan keyakinan bahwa tidak seorang manusia pun yang akan sanggup mengalahkannya. Pada suatu waktu ia akhirnya dikalahkan oleh Subali, seekor kera (jadi bukan manusia), dan kemudian berguru kepadanya.

Rahwana kemudian jatuh cinta pada Sinta, yang sesungguhnya adalah anaknya sendiri. Ketika lahir, Sinta dicuri oleh Wibisana dan dihanyutkan dalam sebuah keranjang yang ditemukan oleh Prabu Janaka, seorang raja di Mantili. Setelah dewasa Sinta menjadi sangat cantik sehingga banyak yang tergila-gila padanya. Prabu Janaka kemudian mengadakan sayembara untuk memungut mantu dan Rama, keluar sebagai pemenangnya.
telah D adilah perang Bharata

Rama adalah putra mahkota kerajaan Ayodya, yang oleh ibu tirinya diusir ke hutan, karena Sang Ibu Tiri ingin agar anaknyalah yang diangkat menjadi raja di Ayodya (Bandingkan persamaan cerita ini dengan cerita tentang ibu tiri Bisma, yang menginginkan agar anaknyalah yang jadi raja di Astina).

Dalam pengembaraannya di hutan, Sinta ―yang mengikuti suaminya―tergoda oleh seekor kijang kencana yang sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan dari penjelmaan salah seorang asisten Rahwana. Sinta meminta agar Rama menangkap Kijang itu dan ketika Rama sedang pergi berburu, Sinta kemudian diculik oleh Rahwana.

Dalam usaha untuk mendapatkan kembali Sinta, Rama kemudian menggempur Alengka dengan bantuan para kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan keponakannya Hanoman. (Sugriwa adalah adik Subali, gurunya Rahwana, Sugriwa dibantu oleh Rama untuk mengalahkan Subali yang merampas istrinya).

Sementara itu di Alengka sendiri, Wibisana makin lama makin tidak puas pada kepemimpinan Rahwana, yang sangat otoriter dan mau menang sendiri. Rahwana dianggap terlalu menindas rakyat dan melakukan berbagai kejahatan lain. Karena itu Wibisana lalu bergabung dengan Rama untuk menjatuhkan Rahwana. Walaupun Rahwana tidak bisa mati tetapi akhirnya dengan kerja sama Rama-Wibisana, Rahwana berhasil dikalahkan.

Mahabarata dan Ramayana adalah dua kisah wayang yang ditulis di India. Ketika kebudayaan India masuk ke Indonesia, wayang segera mendapatkan tempat di hati Rakyat sebagai suatu bentuk hiburan. Kisah-kisah wayang kemudian menjadi makin kaya dan banyak modifikasi (ubahan-ubahan) baru yang dilakukan oleh penulis-penulis di Tanah Jawa. Muncullah cerita-cerita favorit seperti Arjuna Wiwaha, Dewa Ruci, serta kisah Sumantri dan Sukrasana.

AJARAN-AJARAN TERSAMAR

Kisah Sumantri dan Sukrasana menceritakan riwayat dua Saudara yang sangat berbeda penampilannya. Sumantri berwajah tampan, sementara Sukrasana berbentuk raksasa Cebol. Demi keinginan untuk membaktikan diri pada Arjuna Sasrabahu, Sumantri meninggalkan adiknya, dan ketika kemudian adiknya menyusulnya, ia akhirnya membunuh sang adik.

Kisah Sumantri dan Sukrasana ini punya banyak persamaan dengan kisah Ramayana, di mana Wibisana pada akhir cerita meminjam tangan Rama, untuk membunuh saudaranya yang bernama Rahwana. Wibisana juga berparas elok, dan Rahwana adalah raksasa jelek. Kedua-duanya adalah putra dari seorang resi bernama Wisrawa. Di lain pihak Sumantri dan Sukrasana adalah juga kakak beradik putra seorang resi yang bernama Suwandagni.

Dalam kisah Mahabarata, pertarungan antara yang berparas elok dan berwajah buruk berlangsung antara para Pandawa dengan para Kurawa. Kedua belah pihak adalah turunan dari seorang Resi bernama Abiyasa.Persamaan antara ketiga kisah ini, tidak hanya terdapat di dalam garis besarnya saja, melainkan juga dalam banyak detil cerita. Sebagai contoh, keberhasilan Wibisana untuk membunuh Rahwana, adalah berkat bantuan Rama, tokoh yang merupakan penjelmaan dari Wisnu; dewa pencipta. Dalam Mahabarata, kemenangan Pandawa, tidak dapat dilepaskan dari bantuan Kresna, juga penjelmaan Wisnu.

Kalau seseorang dapat menerima bahwa kisah wayang sesungguhnya mengibaratkan pertarungan antara kebaikan (paras elok) melawan angkara murka, maka ada pelajaran tersamar yang dapat disarikan dari kisah Mahabarata dan Ramayana. (Inti ajarannya, adalah bahwa manusia, tidak mampu sendirian mengalahkan angkara murka. Manusia memerlukan bantuan Sang Pencipta, untuk mengalahkan Iblis.)
Konsep moral seperti yang diajarkan oleh kisah wayang ini sesungguhnya ditemukan juga dalam ajaran-ajaran agama. Dalam agama Yahudi misalnya, ada kepercayaan bahwa Tuhan sendiri akan membantu manusia untuk melawan kesengsaraan mereka, walaupun sesungguhnya kesengsaraan itu adalah akibat kesalahan manusia sendiri. Dalam agama Kristen―baik Protestan maupun Katholik―Yesus dipandang sebagai penjelmaan Ilahi guna membebaskan manusia dari kekuasaan Setan.
Konsep moral lain yang diajarkan oleh wayang adalah asal-usul derita manusia. Manusia menderita karena dosa, dan dosa adalah keinginan manusia untuk menentang kodratnya. Dosa adalah keinginan untuk mendapatkan lebih dari apa yang layak diterima. Penderitaan manusia berawal mula dari kelahiran Rahwana, seorang tokoh angkara murka yang sangat sakti dan digdaya. Rahwana lahir melalui perkawinan Wisrawa dengan Sukesih. Sukesih adalah seorang perempuan yang ingin menguasai "sastra-jendra", suatu ilmu tentang kehidupan yang sebetulnya tidak boleh dipelajari.

Dengan kata lain Sukesih menginginkan sesuatu yang selayaknya tidak ia inginkan. Karena keinginannya itu Sukesih kemudian menggoda Wisrawa, seorang resi yang dianggap menguasai ilmu itu, dan dari perkawinan mereka, lahirlah Rahwana, Kumbakarna, Sarpakanakan dan Wibisana.

Dalam cerita Mahabarata, awal dari malapetaka adalah perkawinan antara ayah Bisma dengan ibu tirinya. Bila diperhatikan dengan seksama di sini pun ada seorang perempuan yang menginginkan sesuatu yang tidak layak ia inginkan. Ibu tiri Bisma menuntut agar anaknya (dan bukan Bisma yang sebetulnya lebih berhak), yang nantinya dinobatkan sebagai raja.
Cerita tentang perempuan yang menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan kodrat muncul lagi ketika Gandari menyimpan dendam karena ia tidak rela menjadi istri Destara yang buta matanya. Gandari ingin menjadi istri Pandu. Dari Gandari inilah kemudian lahir para kurawa yang merupakan simbol dari angkara murka.

Cerita tentang ketiga perempuan ini, secara tersamar merupakan simbol dari asal-usul dosa dan penderitaan umat manusia. Cerita-cerita ini dapat dibandingkan dengan cerita Adam dan Hawa yang juga menginginkan buah terlarang. Mereka bukan sekedar menginginkan buah terlarang itu, tetapi menginginkan kekuasaan yang akan mereka miliki bila mereka telah memakan buah tersebut. Mereka menginginkan sesuatu yang tidak layak mereka inginkan.

Adalah keinginan yang merupakan pangkal dari derita, dan sekali seseorang melakukan usaha untuk mencapai keinginan yang tidak layak, maka ia sendiri tidak akan sanggup untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibatnya. Diperlukan bantuan Sang Pencipta, agar manusia bisa keluar dari derita. Manusia diselamatkan bukan semata-mata karena perjuangannya, melainkan terutama karena Sang Pencipta mengasihi umatnya.

PERBUATAN BAIK

Cerita-cerita wayang penuh dengan pertarungan antara satria dan raksasa. Arjuna yang sering pergi bertapa selalu diganggu oleh para buta-cakil. Untuk keberhasilan tapanya, mau tidak mau Arjuna harus membunuh para buta cakil itu. Dalam lakon Dewaruci, Bima yang pergi untuk mencari diri sendiri juga dihadang oleh raksasa, yang akhirnya harus dibunuhnya. Begitu juga Sumantri yang berniat mengabdi pada Arjunasasra, harus lebih dahulu menyingkirkan Sukrasana.

Semua kisah ini, dan berbagai kisah lain menunjukkan keharusan seseorang untuk membunuh raksasa, sebelum berhasil mencapai cita-citanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa raksasa adalah simbol dari rintangan atau hambatan. Selanjutnya kalau diteliti lebih saksama, raksasa-raksasa itu adalah juga simbol dari hawa nafsu untuk mencapai kesenangan, atau kenikmatan duniawi.

Rahwana, misalnya, adalah raksasa berkepala sepuluh. Ini merupakan simbol dari sepuluh nafsu jahat seperti ketamakan, kegilaan pada kekuasaan, nafsu birahi, dan lain-lain nafsu. Sebagai simbol dari hawa nafsu yang paling dasar, Rahwana tidak pernah bisa betul-betul mati. Segera setelah Rahwana dikalahkan, ia akan hidup lagi. Begitu pula halnya dengan perjuangan manusia menghadapi hawa nafsu. Kalau hari ini kita berhasil mengalahkan nafsu untuk nyontek, besok-besok nafsu itu mungkin muncul kembali. Disebutkan bahwa Rahwana adalah sepanjang usia bumi. Selama masih ada kehidupan, masih pula ada nafsu yang harus diperangi.

Berperang melawan raksasa, adalah kewajiban para satria. Perang ini harus tetap dilakukan, bahkan bila raksasa itu dalam saudara sendiri. Dalam kisah Mahabarata, Arjuna (salah satu anak Pandu) merasa bimbang untuk berperang melawan Kurawa. "Bukankah mereka adalah saudaraku sendiri. Bukankah mereka dahulu memberikan aku banyak kegembiraan dalam hidup ini ?" demikian ia bertanya kepada Kresna. Kresna, penjelmaan Wisnu―Sang Pencipta―kemudian menjawab, "Tugasmu dalam hidup adalah memerangi mereka. Jangan GR dulu bahwa kau bisa membasmi mereka. Yang dapat kau kalahkan hanyalah wujud fisik mereka. Bila hari ini kau berhasil membunuh mereka, maka kau hanya membunuh tubuhnya, jasadnya. inti kehidupan mereka tetap tak terkalahkan oleh manusia.”

Dialog antara Arjuna dan Kresna ini kemudian dikenal sebagai Bhagavad Gita yang artinya kira-kira sama dengan "Nyanyian Tuhan.” Inti dari dialog ini adalah pelajaran tentang kewajiban manusia, yaitu memerangi bagian dari diri sendiri. Hawa nafsu adalah bagian dari diri sendiri, karena nafsu itu ada di dalam diri sendiri. Dalam kisah wayang, nafsu ini dilambangkan sebagai raksasa yang masih saudara sendiri. Kurawa adalah saudaranya Pandawa. Rahwana adalah saudaranya Wibisana dan Sukrasana adalah saudaranya Sumantri. Membunuh nafsu yang ada di dalam diri sendiri adalah perbuatan baik yang harus dilakukan manusia, tetapi keberhasilan mengalahkan nafsu ini hanya akan bersifat sementara.

Lebih jauh, Bhagavad Gita memberikan pelajaran tentang perbuatan baik yang disebut pelajaran GERAK dan DIAM. Di dalam ajaran tentang GERAK, manusia dianjurkan untuk berbuat dan di dalam pelajaran DIAM, manusia dianjurkan untuk tidak berbuat. Tentang pelajaran ini, kepada Arjuna, Kresna berkata, "Banyak orang tersesat hanya karena memilih satu dari kedua ajaran ini. Sesungguhnya setiap orang haruslah menjalani keduanya secara sekaligus. Ber-GERAK di dalam DIAM, dan DIAM sewaktu ber-GERAK.”

Ketika Arjuna menjadi bingung oleh nasihat ini, Kresna menjelaskan lebih jauh, "Kau harus diam, tidak berbuat apa-apa kalau kau tahu bahwa yang kau perbuat tidak akan menghasilkan apa-apa. Ini adalah inti dari pelajaran DIAM. Tapi dalam berdiam ini, kau justru berbuat yang benar. Dalam berdiam kau harus berpikir tentang apa yang seharusnya diperbuat bila waktunya telah memungkinkan. Kau tidak sekedar diam, kau bergerak dalam diam. Diam buakan berarti putus asa, melainkan menerima kenyataan bahwa tidak ada gunanya bertindak.”

Mengenai DIAM di dalam GERAK, Kresna menjelaskan sebagai berikut, "Menunggu sesuatu yang sudah pasti tidak mungkin, adalah perbuatan yang keliru. Dalam hal ini orang hanya melakukan Diam, tanpa melakukan Gerak yang benar. Perbuatan yang benar hanya ada satu yaitu melakukan apa yang menjadi kewajiban. Dalam melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya orang tidak mengharapkan apa-apa. Kelihatannya dia berbuat, tapi sesungguhnya apakah yang ia perbuat ? Ia tidak berbuat apa-apa, karena ia tidak mengharapkan apa-apa. Inilah inti dari pelajaran GERAK. Kau berbuat, tetapi sekaligus tidak berbuat. Kau DIAM di dalam GERAK-mu.Penafsiran terhadap siratan dialog Arjuna-Kresna, adalah bagian yang paling sulit dalam menafsirkan kisah wayang. Beberapa ahli mencoba menyamakan inti Bhagavad Gita ini dengan ucapan Nitzche yang mengatakan "Will nothing beyond your Capacity", sementara ahli-ahli lain menyamakannya dengan The Prayer of Serenity yang berbunyi, "Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah hal-hal yang mungkin, menerima dan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang tak mungkin diubah, serta kebijaksanaan untuk membedakan yang mungkin dari yang tidak mungkin.”

Sehubungan dengan harapan untuk memperoleh kebijaksanaan dalam membedakan yang mungkin dari yang tidak mungkin, seorang ahli pewayangan mengutip bagian lain dari percakapan Arjuna-Kresna sebagai berikut. "Adikku Arjuna, Bila kau melakukan GERAK di dalam DIAM dan Ber-DIAM di dalam GERAK, maka sesungguhnya tidak akan lagi ada perbedaan antara yang mungkin dan tidak mungkin. Mungkin atau tidak mungkin hanya akan ada bila kau mengharapkan sesuatu peristiwa. Kalau kau tidak mengharapkan sesuatu, kalau kau tidak menunggu sesuatu, apakah yang disebut mungkin terjadi dan apa pula yang disebut tidak mungkin ?"

Apa pun yang menjadi penafsiran seseorang tentang Bhagavad Gita, umumnya diterima bahwa simbol perbuatan baik dalam kisah wayang adalah pekerjaan membunuh raksasa. Lebih-lebih bila pembunuhan itu dilakukan dalam perjalanan menuju pertapaan.

AJARAN AJARAN LAIN

Kisah wayang tidak hanya memberikan pelajaran tentang Moral dan cara mencapai kebahagiaan. Kisah wayang juga mengajarkan hal-hal lainnya. Di antara pelajaran wayang yang banyak dikaji adalah pelajaran tentang ilmu perang dan strategi militer, termasuk strategi menggunakan "umpan" dalam bidang intelijen.Strategi militer banyak dikaji dari kisah Bharata Yuda, yang merupakan salah satu bagian utama dari kisah Mahabarata. Dalam Bharata Yuda diceritakan bagaimana para panglima perang mengatur pasukannya dalam menghadapi musuh.

Lakon Gugurnya Gatot Kaca, mengajarkan perlunya suatu pengorbanan untuk mencapai hasil yang besar dalam peperangan. Dalam lakon ini dikisahkan bahwa Gatot Kaca, salah seorang panglima perang utama, yang menjadi inti kekuatan pasukan Pandawa, mendapat tugas untuk mati (baca: berkorban). Ia ditugasi untuk memancing amarah Dipati Karna, agar Dipati Karna kemudian menggunakan senjata pusakanya―Konta―yang hanya dapat digunakan satu kali saja. Bila senjata itu telah digunakan untuk menghadapi Gatot Kaca, maka senjata itu tidak lagi dapat digunakan untuk menghadapi Arjuna, dan dengan demikian Arjuna tidak perlu khawatir akan terkalahkan oleh Dipati Karna.

Senjata Konta adalah senjata yang sangat ampuh. Siapapun yang diserang dengan senjata ini pasti akan binasa. Senjata ini diperoleh Dipati Karna dari seorang Bhramana Palsu, sebagai penukar dari baju Tamsir yang semula menyatu dengan tubuh Karna. Selama Karna masih memakai baju Tamsir, maka tidak akan ada senjata yang dapat melukainya. Karena itu, Karna lalu ditipu agar mau menukarkan bajunya dengan senjata Konta yang sangat ampuh itu.
Baik Gatot Kaca, maupun Kresna mengetahui keampuhan senjata Konta. Namun karena nilai Arjuna di dalam peperangan lebih besar dari nilai Gatot Kaca, maka Gatot Kaca harus dikorbankan. Gatot Kaca nekad menerima tugas mulia ini, seperti juga sikap yang diambil para pilot Kamikaze Jepang yang nekad bunuh diri untuk kejayaan negara Matahari Terbit itu.

Ajaran lain yang banyak dikemukakan adalah cara-cara melakukan perundingan atau negoisasi. Lakon Kresna Duta, membeberkan bagaimana Kresna melakukan perundingan yang gagal dengan Kurawa tentang syarat penyerahan kembali negara Amarta kepada para Pandawa. Kegagalan ini bersumber pada perbedaan penafsiran terhadap perjanjian yang dahulunya dibuat ketika Pandawa kalah bermain dadu. Perjanjian setelah permainan dadu itu pun menggambarkan suatu proses perundingan.

Di samping ajaran-ajaran yang cukup jelas, wayang juga mengisyaratkan adanya ajaran-ajaran yang belum berhasil ditafsirkan secara memuaskan terutama mengenai makna yang disimbolkan melalui hubungan persaudaraan, serta urutan seseorang di dalam suatu keluarga. Sebagai contoh, sampai sekarang masih diperdebatkan makna simbolik dari hubungan ayah-anak antara Rahwana dan Sinta, serta hubungan suami istri.

Para ahli tafsir wayang juga masih dibingungkan oleh makna simbolik dari pengembaraan di hutan yang dilakukan baik oleh para Pandawa maupun oleh Rama. Lebih-lebih karena pengembaraan di hutan ini merupakan kejadian yang mengikuti peristiwa hilangnya hak atas tahta kerajaan. Banyak orang yang menduga bahwa pengusiran ke hutan adalah sebanding dengan pengusiran manusia dari taman Firdaus, dan untuk kembali ke taman Firdaus manusia harus lebih dahulu memenangkan pertarungan dengan diri sendiri. Dalam cerita wayang, untuk kembali memperoleh tahta kerajaan, para satria (Pandawa, Rama dan juga Wibisana) harus lebih dahulu membunuh para raksasa.

Bahkan pembunuhan Sukrasana oleh Sumantri pun dapat ditafsirkan dengan nada yang sama. Sebelum membunuh Sukrasana, Sumantri lebih dahulu kehilangan jabatannya sebagai wakil raja Arjuna Sasrabahu (tidak sama dengan Arjuna Pandawa), karena melakukan sesuatu kesalahan. Untuk menebus kesalahan ini Sumantri diharuskan memindahkan taman Sriwedari. Sumantri tidak mampu melakukannya dan lalu minta bantuan Adiknya, Sukrasana. Padahal sebelumnya, Sumantri selalu menghindar dari Sukrasana. Karena memerlukan pertolongan, Sumantri terpaksa menemui Sukrasana dan Sukrasana kemudian tidak mau berpisah lagi. Terpaksalah Sumantri melepas panah yang mengakhiri hidup adiknya.

Beberapa orang merasa ragu dengan kebenaran penafsiran di atas, antara lain karena pengembaraan Rama agak berbeda dengan pengembaraan Pandawa dan Sumantri. Di samping itu, Rama adalah penitisan Wisnu yang bagaimanapun juga adalah simbol dari Sang Pencipta yang turun ke dunia.(R. Matindas, Desember 1986)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri