Sebagai contoh, di layar televisi -seperti yang saya simak tadi pagi- seorang mantan pejabat negara yang dijatuhi vonis kurungan dua tahun penjara berkata, “Ini tidak adil, masak jasa dijatuhi hukuman penjara? Apakah Pak Jaksa dan dewan hakim tidak mempertimbangkan jasa saya kepada negara? Apakah pengabdian saya selama puluhan tahun ini dianggap sepi? Padahal saya menjalankan beban tugas-tugas saya dengan tulus dan ikhlas.”
Kata-kata tulus dan ikhlas juga nyaris telah menjadi konsumsi sehari-hari. Di media infotainment pun para selebritis dengan ringan lidah melafadzkan dua kalat tersebut.
Ada hal yang kontradiktif dalam hal ini, yaitu ketulusan dan keikhlasan akan hilang maknanya bila diucapkan. Dengan kata lain, orang yang mengatakan dirinya tulus dan ikhlas justru sesungguhnya dia mempunyai pamrih tertentu.
Atau memang barangkali terminologi kata tulus dan ikhlas ini sudah mengalami perubahan arti. Kalau ini yang terjadi…, ya nggak tahu lagi deh.
Namun jika kita memasuki ranah yang bernama politik, tentu saja seseorang memerlukan energi ekstra untuk bersikap tulus dan ikhlas, seperti Baladewa, Raja Kerajaan Mandura.
***
Politik sering melahirkan tragedi. Baladewa merupakan salah satu tokoh yang mengalami tragedi itu. Ia mirip Penangsang. Kemiripan itu menyangkut dua hal, yaitu mirip wataknya, mirip nasibnya. Keduanya sering tersudut dalam posisi getir: di pihak yang benar tapi jadi salah, dan kalah. Ini yang dimaksud tragedi.
Baladewa gagah dan sentosa. Wajahnya merah, pandangannya sedikit ke atas. Dalam ilmu wando (psikologi wayang), wajah merah itu gambar orang yang mudah marah. Pandangan agak ke atas pertanda suaranya lantang. Benar memang. Baladewa mudah kalap, mudah menggebrak, dan mudah membentak orang dengan suaranya yang keras.
Ia tokoh yang berani. Tak pernah ia mengenal takut kepada siapa pun. Modal utamanya kebenaran. Dua hal itu merupakan kombinasi ideal yang membentuk kelebihan pribadinya. Tapi di kedua hal itu pula letak kelemahan utamanya.
Kelemahannya? Ya. Kalau hidup Baladewa cuma di tengah masyarakat Gandhian dan yang dihadapi orang-orang lurus, para "santo" macam Gandhi, mungkin Baladewa unggul. Tapi dunia politik yang hiruk pikuk itu isinya lengkap: kecuali manusia manusia berhati santo, banyak juga akal bulus, taktik dan segenap sikap licin yang tak terduga-duga. Malah tak jarang sikap brutal dan aneka kekejaman.
Maka jelas bahwa dalam rimba politik kebenaran bukan segala-galanya Mengagungkan kebenaran malah sering tampak sebagai sikap lugu dan naif. Pendek kata, kebenaran memang harus diungkapkan. Tapi harus dalam bungkus taktik dan strategi yang matang.
Kebenaran tidak bisa dikemukakan secara telanjang. Dan main gebrak bukanlah the best policy. Kita lihat Penangsang yang pewaris sah atas tahta Demak (orang yang benar) temyata kalah dari Sultan Hadiwijaya yang didukung tangguhnya Pemanahan dan licinnya strategi Juru Martani. Dan Baladewa yang sakti dan tegar itu temyata mudah saja dilucuti segenap kekuatannya oleh Kresna. Tidak ada lakon di mana Baladewa manang atas Kresna. Buat melawan Kresna, orang memerlukan kearifan Sadewa.
***
Dalam masyarakat kita pun orang yang mendukung etika Baladewa mudah tersingkir. Dalam rapat-rapat RT /RW, BEM, Senat Perguruan Tinggi maupun rapat di LSM, orang yang berangasan dan mudah menggebrak meja (apa pun alasannya) akhirnya akan menemukan diri dalam posisi tersebut. Dalam wacana politik dia akibatnya tidak lagi berada di dalam "lingkaran" melainkan langsung jadi orang pinggiran.Dia termarginalisasi oleh hukum-hukum dan proses politik resmi. Dia, tiba-tiba, menjadi outcast. Mungkin hal itu juga akibat ulahnya seridiri yang tidak taktis.
Di tingkat lebih tinggi pun proses yang sarna beroperasi .. dengan. anggunnya. Juga dalam jajaran birokrasi lain, termasuk di swasta. .
Orang bisa bicara serba terbuka. Dan dalam tataran ideal tampaknya seperti jadi sponsor keterbukaan dan sikap demokratis. Tapi jika orang itu bos dan punya anak buah yang "liberal" serta punya perangai mudah menggebrak, ia pasti langsung kedapatan tidak suka pada sikap anak buah semacam itu. Dan anak buah lain yang loyal pun diberitahu untuk tak suka pada si tukang gebrak.
Kita ini, dengan kata lain, tergolong pelaku-pelaku yang sadar atau tidak, diam-diam ikut membunuh dan menyudutkan posisi Baladewa. Artinya kita ikut memadamkan semangat kebenaran yang telanjang, semata karena kebenaran itu diungkapkan tidak dengan gaya yang kita kehendaki.
Realitas politik memang ruwet. Tak heran para ahli asing yang lebih ahli dari kita sendiri pun sering mati langkah dalam menangalisis politik kita. Buat hal tertentu analisis mereka tidak jalan. Ramalan mereka serba meleset.
Kecuali itu, dunia politik kita penuh kejutan. Kita sering dibikin terkejut oleh perubahan "arus" yang tak mudah kita pahami. Perubahan mendadak dari sikap paling anti ke sikap paling pro merupakan salah satu contoh utama.
Adakah hal itu karena dorongan sejumlah kepentingan pribadi? Kita tidak tahu. Lagi pula itu bukan satu-satunya kemungkinan jawaban. Artinya ada lagi kemungkinan jawaban yang lain: mungkin bosan, mungkin capai, mungkin merasa sia-sia, jika ia harus terus menerus memainkan "kartu" oposisi.
Sejarah dibuat capek dan dungu karena harus terus mencatat getaran-getaran monoton, yang bergerak dari sudut ekstrem ke ekstrem lainnya secara membosankan. Sejarah karenanya sudah gatal ingin mencatat dengan tinta emas corak perilaku lain: tidak setuju tanpa rasa benci, menyodorkan alternatif tanpa menuding kesalahan, dan memberitahukan kekurangan ini dan itu tanpa membuat pihak lain merasa terinjak jari kakinya.
Apa ada sosok semacam itu sekarang di dalam masyarakat kita? Inilah soalnya. Soedjatmoko, kita tahu, sudah tidak ada. Hatta dan Sjahrir cuma dilahirkan sekali, sesudah itu mati.Maka hari ini mungkin memang bukan jam mainnya orangorang macam Soedjatmoko, Sjahrir atau Hatta. Sekarang, apa boleh buat, dalang sedang menggelar tragedi Baladewa.
Dan marilah terlebih dahulu kita berfikir sejuta kali sebelum kita melontarkan kata tulus dan ikhlas. Semoga kita dijauhkan dari sifat pamrih…
Komentar
kira-kira gimana mas dengan orang yang ingin menegakkan kebenaran, tapi nggak mengerti taktik-taktik untuk melakukannya?