Salah satu sumber pemborosan terbesar dalam perusahaan adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja. Namun, meski banyak manajer SDM memahami hal ini, namun cara mereka mengelola SDM relatif tidak ada perubahan. Mereka masih memandang SDM tak ubahnya seperti mesin-mesin produksi yang lain. SDM tetap dipandang sebagai tangible assets. Sedikit sekali sumber dana yang digunakan untuk pengembangan SDM ini. Metode yang mereka pakai untuk memacu kinerja SDM hanyalah mekanisme reward-punishment.
Tak dapat dipungkiri bahwa mekanisme tersebut seringkali berhasil dalam memacu kinerja karyawan. Tetapi, kelemahan mendasar dari mekanisme itu jika dijalankan dengan cara serampangan adalah tidak terlibatnya secara emosional para karyawan dalam pekerjaannya masing-masing. Mereka melakukan pekrjaan semata-mata untuk menghindari punishment dan mengejar reward. Mereka tidak pernah mengerjakan sesuatu yang lebih daripada sekadar yang menjadi kewajibannya saja.
Banyak manajer SDM mengakui bahwa meski departemen SDM-nya telah melakukan tehnik-tehnik rekrutmen yang inovatif, menerapkan sistem penggajian berbasis kinerja, dan mengembangkan kominikasi karyawan yang efektif. Namun mereka tidak melihat relevansi fungsi-fungsi tersebut dengan masalah bagaimana mengubah persepsi investor terhadap nilai pasar perusahaannya.
Paradigma manajemen tersebut sangat bertolak-belakang dengan kecenderungan yang terjadi dalam “Era Ekonomi Baru”. Dalam era baru tersebut diayakini bahwa SDM merupakan fondasi bagi penciptaan nilai. Bahkan, berbagai kajian belakangan ini menunjukkan bahwa hingga 85% nilai suatu perusahaan didasarkan pada intangible assets, yang di dalamnya terdapat juga SDM. Dari sini kemudian muncul kesadaran baru: Aset yang paling penting adalah asets yang kurang dimengerti, jarang diukr, dan karena itu paling rentan di hadapan manajemen.
Buku ini adalah tentang manajemen yang mengaitkan manusia, strategi dan kinerja. Ia hendak menjawab pertanyaan bagaimana para manajer SDM dapat menjadikan seluruh SDM menjadi aset yang strategis dalam perusahaan. Yang selanjutnya, memberi nilai signifikan bagi pertumbuhan perusahaan secara menyeluruh.
HR Scorecard merepresentasikan “alat pengungkit” yang penting, yang dapat digunakan oleh manajemen perusahaan untuk merancang dan mengerahkan strategi SDM yang lebih efektif. Selain itu, dengan adanya HR Scorecard perusahaan akan memiliki pedoman yang jelas dan efektif untuk mengukur kinerja segenap karyawan dan kontribusinya terhadap strategi perusahaan secara menyeluruh. Dengan demikian, HR Scorecard akan memberi jawaban atas kesulitan yang dihadapi oleh tim manajemenSDM selama ini : mengukur derajad pengaruh SDM terhadap kinerja perusahaan.
Supaya bisa melihat peranan SDM sebagai sumber utama potensi kompetitif perusahaan yang berkelanjutan, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh para manajer SDM adalah memahami dengan sungguh-sungguh strategi perusahaan. Strategi yang dimaksud terutama yang berkaitan dengan rencana-rencana perusahaan untuk mengembangkan dan menjaga kelangsungan sebuah keunggulan di pasar. Selanjutnya, mereka harus mengerti implikasi strategi tersebut bagi SDM. Pendeknya, mereka harus bergerak dari perspektif “bottom up” ( yang menekankan kerelaan dan SDM tradisional ) ke perspektif “top-down” (yang menekankan implementasi strategi ). Akhirnya, mereka harus membuat sistem penilaian yang inovatif yang akan memungkinkan mereka mendemonstrasikan pengaruh mereka terhadap tindakan-tindakan yang penting bagi CEO, sebutlah profitabilitas perusahaan dan nilai pemegang saham. (wicaksana, 2011)
Komentar