Langsung ke konten utama

Berani melakukan PERUBAHAN




Menelusuri jalan hidup kadang tidak seperti mengikuti rumus berhitung. Satu tambah tiga tidak selalu menjadi empat. Kadang cuma dua, satu, bahkan tidak ada hasil sama sekali. Butuh bekal cukup agar hasil bisa optimal.

Ada keraguan yang cukup kuat pada diri Zaid bin Tsabit ketika Umar bin Khaththab mengusulkan sesuatu: Alquran harus dibukukan. Saat itulah Zaid bin Tsabit berucap, “Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”

Umar pun akhirnya menjelaskan. “Perang Yamamah telah banyak menewaskan banyak penghafal Alquran. Aku khawatir, peperangan lain juga akan mengurangi jumlah penghafal Quran di daerah-daerah. Sehingga, banyak bagian Alquran yang menghilang.”

Khalifah Abu Bakar pun setuju dengan usulan Umar. Ia meminta Zaid sebagai koordinator. “Demi Allah,” kata Zaid. “Sekiranya mereka menyuruhku untuk memindahkan sebuah gunung, tidaklah lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan Alquran.”

Penggalan kisah di atas memberikan dua pelajaran. Pertama, ide perubahan bukan sesuatu yang tabu. Selama bukan persoalan prinsip, perubahan sangat terbuka lebar. Di pintu inilah, muncul banyak mujtahid Islam. Dari pintu ini pula, Islam menelurkan banyak ahli di bidang pengetahuan.

Ada Khalid bin Walid yang melahirkan aneka ragam strategi perang, yang mungkin belum pernah dilakukan sebelum zamannya. Ada juga gagasan penerapan kalender Islam yang baru dilakukan di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Masih banyak pakar di berbagai bidang yang muncul di masa tabi’in. Ada Ibnu Mubarak, Bukhari, Muslim, Ahmad, dll, di bidang hadits. Ada Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali di bidang fikih. Dan masih banyak pakar lain sebagai buah dari keberanian melakukan perubahan.

Pelajaran kedua, perubahan kadang seperti yang dialami Zaid bin Tsabit. Berat dan meragukan. Tapi, di sinilah tantangan sebuah perubahan. Perubahan yang baik justru butuh paksaan. Bisa berupa mengikis halangan psikologis, tradisi, dan doktrin yang belum berdasar.

Saat ini, Indonesia bisa dibilang negeri seribu satu tradisi, kebiasaan, dan doktrin. Ada yang positif. Ada juga yang negatif jika dilihat dari sudut pandang Islam.

Masalahnya, tidak sedikit imbas kebiasaan negatif yang meresap dalam diri orang sekitar. Lama, biasa, dan akhirnya jadi budaya. Tanpa sadar, ada kebiasaan buruk yang terus terjaga dan lestari dalam diri.

Budaya mistik misalnya. Tidak sedikit generasi berpendidikan saat ini yang masih takut dengan gelap. Padahal, gelap cuma soal cahaya. Karena matahari berada di sisi lain dari bumi, suasana pun menjadi gelap.

Lebih aneh lagi jika takut gelapnya masih dalam ruangan rumah. Tidak ada binatang buas, tidak ada orang jahat. Orang yang tinggal tidak berubah, benda-benda pun masih itu-itu juga. Jika takut jenis ini membudaya, kita sebenarnya sudah terjebak pada budaya klenik bin mistik. Takut yang disebabkan karena kepercayaan munculnya makhluk halus yang menakutkan.

Dari jebakan takut ini, muncul berbagai tradisi yang menyesatkan. Antara lain, budaya sesajen, tolak bala, ngelarung, dan lain-lain.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. 3: 175)

Selain budaya negatif itu, masyarakat kita kerap terjebak dengan pesona alam yang begitu memudahkan. Air jernih mengalir melalui pemukiman kampung. Tanah subur yang mengabulkan bibit tanaman apa pun yang disemai. Masyarakat pun tiba-tiba menjadi malas. Tak ada kerja keras, karena semua sudah disediakan alam.

Lebih parah lagi ketika Belanda telah mewariskan budaya yang sulit diubah. Tiga setengah abad, turun temurun bangsa ini terkungkung pada budaya abdi raja. Semua cuma puas sebagai pekerja suruhan raja, tuan tanah, dan sejenisnya. Kalau saja bukan karena ada budaya pendatang dari Arab dan Cina, mungkin kita benar-benar buta dengan urusan bisnis dan wiraswasta.

Hingga kini, doktrin yang kerap dipegang anak-anak usia sekolah cuma satu: raih prestasi agar bisa menjadi pegawai negeri. Padahal, Indonesia merupakan sosok negeri yang begitu menjanjikan. Jumlah penduduk terbesar keempat dunia yang menggiurkan produsen mana pun di seluruh dunia. Apa pun yang dijual di negeri ini, selalu bisa menjanjikan. Selain itu, ketersediaan bahan baku yang tersebar di seluruh negeri. Mulai dari bahan tambang, hasil laut, hingga kekayaan hutan.

Betapa surganya negeri yang bernama Indonesia di mata pebisnis asing. Uangnya dari pinjaman bank dalam negeri, tenaga kerjanya murah, bahan bakunya tersedia melimpah, dan aturannya begitu longgar.

Belum lagi soal penyakit inferiority, merasa rendah di hadapan orang asing. Ada kebanggaan bisa memakai produk merek asing. Padahal, bahan bakunya, pabrik, tenaga kerja, dan modalnya dari dalam Indonesia. Ada kemuliaan jika bisa berteman dengan orang asing. Dan seterusnya.

Juga penyakit miskomunikasi. Yang tua merasa rendah minta masukan dari yang muda. Dan yang muda takut mengkritik yang tua. Ketidakpuasan tidak pernah selesai. Karena cuma mengalir dari satu arah.

Sayangnya, kita menjadi terjebak pada ketidakberdayaan. Niat berubah seperti berhadapan dengan tembok besar yang bernama ketidakmampuan. Orang bukan tidak paham dengan pentingnya perubahan. Tapi tidak berani melakukan pemaksaan.

Pengalaman di masa orde baru adalah contoh lain yang tidak mengenakkan. Saat itu, negeri ini menjadi begitu kerdil dalam soal politik. Tidak lagi jelas apakah bentuknya kerajaan, parlementer, presidensil, atau tidak kesemuanya. Orang pun menjadi dibayang-bayangi rasa takut yang berlebihan. Takut dianggap subversif, ekstrim kiri, ekstrim kanan, dan sebagainya.

Kalau saja tidak ada keberanian para aktivis mahasiswa dan komponen lain dari anak bangsa ini untuk melakukan pemaksaan perubahan, rasanya kita tidak akan pernah memahami apa itu demokrasi, berorganisasi secara sehat, dan seterusnya.

Kalau saja tidak ada ide cemerlang yang Allah ilhamkan pada Umar bin Khaththab. Kalau saja tidak ada pemaksaan kemampuan dari potensi yang dimiliki Zaid bin Tsabit. Mungkin, kita tidak bisa menemukan mushaf Alquran.

*****

Siapkan Bekal Perubahan

“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” (QS. 13: 11)

Maha Suci Allah Yang mempergilirkan siang dan malam. Waktu pun bergulir mengikuti hitungan. Yang dahulunya anak-anak, kini sudah punya anak. Semua berubah. Dan alam terus memaksakan perubahan.

Perubahan diri tidak selalu datang dari luar

Islam mengajarkan bahwa ukuran takdir bukan urusan manusia. Itu rahasia Allah. Jangan pernah mencoba-coba menerka takdir. Apalagi sampai meyakini kalau takdir sudah diputuskan. Manusialah yang mesti mengejar dan berjuang agar nasib bisa selalu baik.

Mungkin, akan ada jarak antara keinginan dengan kenyataan. Antara rencana dengan modal diri. Jarak itulah yang mesti diperkecil dengan kerja. Semakin kecil jarak yang diinginkan, tentu butuh kerja yang kian berat. Yang mesti dipegang adalah perubahan tidak datang secara tiba-tiba dari luar. Perubahan harus direncanakan.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri....” (QS. 13: 11)

Tidak semua rencana baik berjalan mudah

Di sinilah seni mengelola hidup. Ia bukan seperti ilmu berhitung yang bisa dikira-kira pasti. Karena dalam melakukan perubahan, satu tambah dua tidak selalu jadi tiga. Bisa cuma dua, atau bahkan tidak ada hasil sama sekali.

Karena itu, satu hal yang juga tak boleh lepas dalam melakukan perubahan diri: kerja keras tidak cukup pada tenaga fisik. Melainkan juga butuh kekuatan jiwa. Bahkan justru, jiwalah yang bisa menjadi penentu. Orang bisa tahan dengan yang namanya gagal karena jiwa ini. Dan ketakwaan adalah perhiasan jiwa yang paling mahal.

Maha Agung Allah dalam firman-Nya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2: 197)

Perubahan diri butuh paksaan

Apalah arti bekal yang cukup kalau perubahan belum jadi pilihan. Harus ada kesadaran kalau masalah harus dihadapi dan diselesaikan. Bukan dihindari. Inilah kesiapan mahal agar perubahan bisa berjalan sukses.

Salah satu bentuk kesadaran itu adalah perubahan butuh paksaan. Menariknya, paksaan bisa datang dari luar diri. Bisa dari alam seperti banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Dan ini memaksa orang-orang di sekitar melakukan perubahan. Bisa juga paksaan datang dalam bentuk lain. Misalnya, seorang akhirnya berwiraswasta ketika perusahaan tempat ia kerja bangkrut.

Paksaan jenis ini tentu lebih sangat tidak mengenakkan. Lebih sakit. Bayangkan jika yang dipaksa sama sekali tidak siap mental. Perubahan tidak akan menuju perbaikan. Justru menjadi keterpurukan. Karena itu, perubahan tidak cukup cuma rencana dan modal, tapi juga paksaan. Dari sinilah kerja dimulai. Selamat melakukan perubahan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga