Langsung ke konten utama

Nilai dan “Nilai”

Assalamualaikum Wr. Wb. Dan semangat pagi Sobat Indonesia !

Alhamdulillah senang rasanya bisa “nyemplung” di kolam tulisan kali ini. Sesenang saya nyemplung di kolam renang di sabtu pagi yang cerah bersama anak perempuan saya. Menyenangkan. Waktu itu merupakan berkah dan hadiah yang terindah sepanjang hidup saya. Dengan waktu, banyak yang bisa dikerjakan dan beraktifitas dengan orang-orang yang kita cintai. Termasuk senin pagi yang cerah ini dapat nyemplung dalam kolom kecil ini. Byuuurrrr !!!

Inspirasi tulisan ini berawal di sabtu pagi yang cerah. Sebuah kolam renang yang asri di sudut kota Jakarta. Keindaahan dan ketenangannya membuat merasa menikmati kebersamaan bersama anak perempuan saya yang berusia 6 tahun. Sedang asiknya berlatih dan bermain di kolam renang, disebelah saya  terdengar  seorang ibu meminta anaknya untuk berlatih dengan giat dalam berenang. Raut muka ibu tersebut sangat berbeda dengan keindahan, kecerahan dan keriangan pagi itu. Dengan tegasnya Ibu itu melarang anaknya banyak bermain di kolam. Ibu itu meminta anaknya untuk berenang dengan sungguh-sungguh. Terucap dari kata-kata Ibu tersebut dengan nada yang tegas “nanti kamu dimarahin oleh guru olahraga kamu.” Ia juga mengatakan bahwa nanti akan mendapatkan nilai jelek!. Selain itu, ia juga membandingkan teman-teman yang lainnya....owhhhh tidakkk ! pikir saya. Sungguh kemalangan yang luar biasa untuk anak seusianya, hmmm mungkin usianya sekitar kurang dari 7 tahun...alias sebaya dengan anak perempuan saya. Saya dan anak saya kembali menyelam untuk tahan napas dan berusaha meninggalkan ocehan ibu tersebut di kedalaman.
Beberapa saat kemudian kembali kepermukaan, dan mendengar kuliah pagi si Ibu ini kepada anaknya lagi. Itulah kehidupan, mau tenggelam beberapa lama dan dalamnya, selama masih hidup akan bertemu dengan permasalahan !

Berganti hari, hari minggu pagi, saya berkesempatan untuk bergabung dengan kakak-kakak mentor muda dari kelas 10 hingga 12 di Al Mughni, Jakarta Selatan. Topik saat itu membicarakan mengenai bagaimana menjadi seorang mentor yang efektif. Diskusi awal saya sajikan beberapa gambar yang fenomenanya banyak dilihat keseharian di sekitar kita. Misalnya gambar tiga orang anak SD yang mengendarai motor,hingga sebuah gambar tangan dimana tangannya berisi kertas catatan yang bertuliskan “mencontek sama dengan korupsi”. Seperti biasa, saya tanyakan kepada semua calon kakak mentornya, “siapa yang tidak pernah mencontek selama ujian ?”. dan sudah pasti jawabannya sudah bisa diduga...tidak ada satu orangpun yang tidak mencontek pada saat ujian. Kalau di ruangan kelas itu ada kolam, mungkin saya mau nyelam yang lamaaaa sambil berpikir apa yang salah terhadap diri mereka, kakak-kakak calon mentor yang suka mencontek. Saya hanya bisa membenamkan pikiran saya ke dalam hati saya. blep..blep...blep!

Melihat dua ilustrasi di atas membuat saya berpikir selama perjalanan pulang. Siang bertemu malam saya habiskan diperjalanan dan berpikir mengenai hal ini. Apakah Nilai (marks atau score) itu akhirnya mengalahkan “nilai” (values) akhirnya. Semua mengatasnamakan nilai. Berbincang dengan mahasiswi yang baru lulus S1 dan ikut bursa tenaga kerja, bercerita menyesalnya dia Cuma mendapatkan IPK nilai 3.0 sekian. Katanya “perusahaan yang bagus mencari IPK dengan nilai 3.1 ke atas dengan pengalaman 1 sd 2 tahun di bidangnya. Lagi-lagi sebuah nilai!

Ada juga sekolah dengan bangga mengatakan nilai rata-rata kelulusannya adalah 97 dan terbaik di kotanya, namun kembali lagi adalah Nilai!

Pemaknaan Nilai (mark atau score) menjadi segalanya, sehingga tidak sungkan-sungkan lagi dan tidak malu lagi untuk mendapatkan nilai bagus dan sesuai dengan yang diinginkan dengan segala cara. Bukan Cuma kampus abal-abal saja yang melakukan. Tapi hampir keseluruhan mentalitas kita sedang menuju “abal-abal” jika proses atau hal ini terus menjadi utama. Bahkan di pertemuan yang hari minggu, tidak sungkan-sungkan bagi yang tidak mau merubah dirinya untuk tidak mencontek, mereka tidak mau dan keluar untuk menjadi calon kakak Mentor. Ironi dan menyedihkan!

“Nilai” (values) mulai ditinggalkan seiring proses yang diabaikan. Kehilangan pemaknaan dari sebuah namanya, ujian atau evaluasi. Sejatinya evaluasi atau ujian itu untuk melakukan penilaian apakah diri kita sdh dapat menguasai materi dengan baik atau belum, jika sudah bisa dilanjutkan untuk pemahaman materi yang lebih tinggi dan jika belum bisa memperbaiki dan belajar lebih baik agar setiap materi yang dicapai memiliki sebuah kualitas.

Selain itu, sistem penilaian yang bersifat kuantitatif yang menjadi dominan, membuat akhirnya kita semua berpacu untuk mendapatkan hal tersebut. Dimana nilai akhir merupakan rata-rata dari nilai yang dikumpulkan tanpa melihat kualitatif konsistensi nilainya. Apakah kita mendapatkan nilai yang konsisten di angka kisaran 8 terus atau, fluktuatif dengan nilai 10 hingga 6 dan jika di rata-rata 8 juga. Namun jika dilihat dari proses yang konsisten, yang berkualitas adalah individu yang memiliki konsistensi penilaian. Terlihat kompetensinya (pengetahuan, ketrampilan dan sikapnya) yang terbangun. Dan juga mereka memiliki mindset, membuat waktu yang tersedia berkualitas. Sekali mendapatkan kesempatan, ia harus berbuat yang terbaik. Berbeda dengan sistem penilaian rata-rata, sekarang dapat jelek mungkin esok lusa bisa dapat bagus....atau esok kita jumpa lagi (kalau ada usia...dan  tidak jamin lho! )....hehehehehe. pemahaman waktu dan pemanfaatan kesempatan yang keliru!


Kehilangan kualitas dalam mengejar nilai yang berupa anga tok!, abai terhadap pembentukkan karakter melalui nilai-nilai luhur sesungguhnya, akhirnya seperti mayat hidup atau zombie atau robot yang terprogram, kepedulian terhadap sesama dan lingkungan semakin terabaikan. Ingat masa Taman Kanak-Kanak, semua anak berebut menjawab, semua anak berebut bertanya, semua anak berebut untuk tampil, mereka bahagia menampilkan siapa diri mereka. Antusias, energik, penuh harap dan suka cita, sepertinya sirna dan punah ketika mereka masuk dalam Sekolah Dasar (SD). Saat di  TK mereka ketika bertanya gurunya lemah lembut dan penuh kesabaran menjawab pertanyaan mereka. sangat bereda kesan yang ddapatkan guru-guru pada saat setelah TK. galak, tidak menyenangkan, enggan membantu, dan lain sebagainya. Akhirnya mereka sendiri kehilangan semangat belajar dan rasa ingin tahunya. karena tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka bertanya dan membantu mereka menemukan solusi terbaik atas permasalahannya. Lingkungan belajar berubah menjadi Horror bagi mereka. Bahkan 99 % mahasiswa cenderung pasif dalam perkuliahan. Inikah yang namanya belajar? Belajar serba menakutkan! Seram dan membunuh karakter anak-anak itu sendiri. Justru sistem pendidikan yang ada, menjadi harapan untuk membuat anak-anak lebih berkualitas baik malah menjadi sebaliknya.

Berharap pada semua praktisi pendidikan, khususnya orang tua dan siapapun yang peduli akan pendidikan, bagaimana menciptakan situasi belajar yang menyenangkan sehingga dapat membuat belajar menjadi menyenangkan dan menjadi sebuah kebutuhan bagi anak-anak itu sendiri, bukan yang menakuti anak – anak dengan nilai, menakuti anak dengan membandingkan dengan anak – anak lain.  Lihat potensi terdalam yang anak-anak miliki. Merka unik dan tetap jaga keunikan potensi mereka menjadi sebuah aset kepercayaan diri dan kebanggan akan prestasi dan akhirnya mereka menjadi diri-diri yang mandiri. Ditangan mereka dan hasil buah pikiran mereka generasi-generasi bukan genius saja namun diri-diri kreatif yang terus berinovasi, untuk bangsa, dan masyarakatnya serta dunia...untuk mewujudkan keadilan sosial nantinya. Amiin.


Tetap Berbagi untuk Indonesia lebih baik...salam SOBAT !  - Wicaksana, 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga