Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum dan Semangat Pagi Sobat Indonesia. Pagi yang indah ini berganti suasana duka dan prihatin atas terjadinya tawuran dua fakultas di sebuah universitas dibilangan jakarta selatan dimana saya adalah bagian kecil dari aktifitas kampus tersebut. Informasi saya dapatkan dari sahabat saya yang menyapa saya saat subuh dengan mengabarkan hal ini. Duka yang mendalam utk Civitas Akademika yang sdh mulai tumpul dalam be"rasa".
Dalam tulisan sebelumnya, mengenai penurunan kompetensi khususnya pada attitude atau bersikap. Nilai dan "Nilai", dalam tulisan tersebut dimana menggambarkan kala Nilai yang berarti Angka lebih tinggi dari Nilai (budi pekerti). Sistem kompetisi yang tidak terbangun secara transparan dan adil, menyebabkan keputusasaan para pelaku di dalamnya. Yaitu para siswa-siswa itu sendiri. Tidak heran perilaku menyimpang seringkali dilakukan oleh mereka yang nota bene adalah seorang pelajar. Penyaluran "energi" kemudaan dan keremajaan yang menjadi tidak tepat dalam sebuah keputusasaan. Bahasa kasar, cacian, makian, hingga pada perilaku kasar sampai penganiayaan. Hebatnya lagi bukan hanya dilakukan remaja putra saja, justru dilakukan remaja putri juga. Keputusasaan yang luar biasa pada generasi ini!
Beberapa saat yang lalu kita terbahak-bahak melihat wisuda "abal-abal" yang digrebek pihak Dikti, melihat perilaku wisudawan yang tidak bisa menjawab IPK, pelajaran favorit dan bahkan fakultasnya apa. Ironi! Mereka itu korban! Atas keinginannya mendapatkan status sosial yang lebih tinggi melalui gelar kesarjanaan. Mungkin juga karena keputusasaan mereka bukan hanya kemampuan dari potensi dirinya saja namun tuntutan lingkungan dan kesempatan yang semakin kecil, membuat mereka tidak berdaya. Singkatnya, mencari kemudahan-kemudahan, dan inilah yang ditawarkan oleh orang-orang "nakal" yang dapat melihat peluang ini. Nah! Orang-orang nakal ini dulunya bersekolah atau berkampus dimana? Sistem atau belajarnya bagaimana? Sampai-sampai bisa melakukan hal ini. Sesungguhnya yang Abal-abal itu seperti apa? Apakah yang telah terakreditasi itu menjadi tidak abal-abal? Tentu Tidak! Buktinya banyak koruptor dari kampus-kampus yang ternama, mungkin termasuk pendiri universitas abal-abal juga dari kampus yang terakreditasi dan kejadian tawuran ini!
Sistem pendidikan yang sudah jauh dari Nilai (budipekerti), walaupun ada bukan menjadi bagian dari kehidupan dalam belajar dan bersosialisasi di kelas dan di sekolah serta bagaimana mengimplementasi dalam kehidupan. Sekedar menjadi mata pelajaran, seperti pelajaran agama. Ketika dalam pelajaran di sampaikan tidak boleh menyakiti orang lain, semua dapat menjawab dengan betul. Namun dalam pelaksanaannya, menyedihkan! Diharapkan 12 tahun dapat membangun karakter yang lebih baik ternyata melahirkan jiwa-jiwa yang putus asa, tidak berperasaan, zombie, dan mayat hidup atau bahasa kerennya, Robot!
Wajar ketika masuk perguruan tinggi mereka menjadi seenak-enaknya, karena aturan yang tidak banyak mengikat. Seperti layaknya keluar dari "penjara" pendidikan selama 12 tahun. Bisa dibayangkan 12 tahun dalam keputusasaan yang luar biasa kemudian mendapatkan kebebasan, berakhir pada kesia-siaan, bahkan akan menciptakan abal-abal baru yang berlabel dari sebuah akreditasi. Mengerikan! Jika yang abal-abal itu wisudanya, menjadi tidak berbahaya karena secara kemampuan mungkin saja tidak terlatih dengan baik, akibat abal-abalnya hanya untuk dirinya. Namun yang abal-abal terakreditasi, bahaya sangat laten, ia dapat mempengaruhi orang lain untuk menjadi abal-abal juga dengan kemampuan dan ketrampilan yang ia miliki.
Belajar dari berbagai kejadian, memaknai setiap peristiwa, dekatkan pikiran dan perasaan, karena bertemunya pikiran dan perasaan akan menghasilkan kebudayaan yang luhur dan akan berdampak pada beradaban yang tinggi, mampukah kita sampai ke sana atau sebaliknya?! Mulai dari diri kita!
belajar dan berbagi untuk Indonesia lebih baik !
Wicaksana, 2015
Komentar