Pada bagian pertama sudah dikisahkan kegigihan dan kerelaan berkorban dari Bob Freeberg, David Fowler, Bijayananda Patnaik, Ignacio Espina dan R.R. Cobley. Dan masih ada dua penerbang yang namanya sering disebut ketika memperingati peristiwa ditembaknya VT-CLA, Noel Constantine dan Roy Hazelhurst. Pada bagian kedua ini Anda akan diajak menelusuri lika-liku pengabdian para legiun asing ini seiring dengan terdamparnya RI-001 di Burma.
RI-006 Fleming
RI 006 - PBY-5A Catalina
Catalina kedua, sebuah pesawat amfibi, PBY-5A, mendapat registrasi RI. Pesawat amfibi ini dilaporkan sebelumnya terdaftar di Filipina dan dimiiki oleh pilot Amerika, James Fleming. Menurut sumber Belanda, RI-006 paling tidak melakukan tiga penerbangan bolak-balik antara Yogyakarta dan Manila. Jelas bahwa RI-006 beroperasi hanya beberapa bulan bagi RI. Pada November 1948, RI-006 melakukan perjalanan ke Jambi dan Payakumbuh dengan Fleming sebagai pilot, kopilot OU III R.A. Patah dan seorang flight engineer Billani “Bill” Valenova.
Di malam sebelum Agresi II, Fleming dan RI-006 melakukan penerbangan ke Tanjung Karang di Lampung. Ia mengangkut penumpang dan dijadwalkan kembali keesokan harinya. Capt. Fleming dengan kopilot OU Suharnoko Harbani dan flight engineer Bill tiba di atas Maguwo. Mereka tidak sadar kalau landasan udara tersebut sudah jatuh ke tangan Belanda. Menurut laporan, mereka mendarat setelah berpapasan dengan pesawat Belanda hingga memaksa Feming untuk mendarat. Pesawat dan awak ditahan militer Belanda. Fleming dibebaskan jauh lebih dulu. Kemungkinan karena tekanan diplomatik dari AS.
Saat Fleming melapor ke Konsulat AS, ia menyebutkan bahwa dirinya sadar kalau bandara Maguwo berada di tangan Belanda. Ia tetap memutuskan mendarat karena tidak mengangkut barang-barang illegal. RI-006 diterbangkan ke Kalijati oleh pilot Belanda. Dilaporkan bahwa pesawat tersebut diserahkan ke Dutch Naval Aviation MLD dan digunakan sebagai sumber suku cadang bagi MLD Catalina.
Indonesian Airways, the Burma Operation
Seperti diketahui, Presiden Sukarno berkeliling Sumatera dengan Bob Freeberg menggunakan RI-002 guna mengumpulkan dana pembeli pesawat. Beberapa bulan setelah itu, Oktober 1948, sebuah Dakota yang pantas dibeli berhasil ditemukan. Sesungguhnya, otorita Indonesia berpikir untuk membeli sebuah Lockheed Hudson dengan registrasi VH-ASV. Pesawat ini merupakan bekas pesawat patroli laut RAAF dan setelah perang dimodifikasi jadi pesawat transport dengan kapasitas 10 penumpang.
VH-ASV telah melakukan sejumlah penerbangan antara Eropa dan Australia selama 1947 dan 1948, membawa imigran ke Australia. Di pertengahan 1948, pesawat dilaporkan berada di Burma dengan tail wheel rusak dan dilaporkan dijual. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa AU Burma sesungguhnya ingin membeli Hudson.
Lockheed Hudson registrasi VH-ASV
Pada awal Agustus 1948, VH-ASV dilaporkan datang ke Bukittinggi dan Pekanbaru, dan OU III Wiweko Soepono meninggalkan Rangoon melalui Kutaraja (Aceh) pada 3 Agustus 1948 dengan misi mengevaluasi pesawat sebelum dibeli.
Menurut evaluasi Wiweko, dibutuhkan pesawat lebih besar dengan jangkauan lebih jauh karena blokade Belanda. Oleh karena itu pembelian Hudson dibatalkan. Sementara Maryunani, perwakilan Indonesia di Burma memperkenalkan dua pilot asing kepada Wiweko. Yaitu Capt. James Tate dan Capt. James Maupin. Kedua pria ini mantan captain-pilot China National Aviation Corporation (CNAC).
Patut diketahui sejarah singkat keberadaan CNAC (China National Aviation Corporation) didirikan pada 1929 sebagai joint venture antara pabrik pesawat Amerika Curtiss-Wright Corporation dan pemerintah Cina. Idenya untuk memulai sebuah jaringan rute udara antara kota-kota utama negara berwilayah luas yang masih dalam proses penyatuan tersebut. Pada awalnya, hubungan antara kedua negara seringkali pelik, Pan American Airways mengambil alih airline dari Curtiss-Wright pada 1933.
Dari basis operasi aslinya di Sanghai, CNAC bertindak sebagai pelopor penerbangan komersil untuk Cina yang selalu membuka jalur. Saat Jepang menyerang Sanghai pada 1937, CNAC kehilangan banyak peralatan dan memindahkan basis utamanya ke Hongkong. Kelak tepat setelah serangan Pearl Harbor, airline tersebut harus memindahkan markas besarnya ke Kalkuta setelah Hongkong menjadi sasaran Jepang. Pesawat DC-3 yang dimiliki mengevakuasi sekitar 400 penumpang dari Hongkong yang ricuh.
China National Aviation Corporation (1929) sebagai joint venture
antara pabrik pesawat Amerika Curtiss-Wright Corporation dan pemerintah Cina.
Pasukan Sekutu ini seringkali jauh dari jalur utama perbekalan. Terhitugn sejak 1942, CNAC mulai mengecat roundel di pesawat untuk memudahkan identifikasi. Roundel ini menggambarkan piringan berwarna biru gelap dengan karakter Cina “Chung” berwarna putih di tengahnya. Chung berarti tengah atau pusat. Cina juga dikenal sebagai “Kingdom of the Middle”. Simbol Chung ini kemudian tetap tergambar pada logo airline hingga berhenti beroperasi. Setelah Perang Dunia II berakhir, CNAC kembali ke Hongkong dan Shanghai. Namun Cina saat itu menjadi medan pertempuran antara kekuatan Nasionalis Chiang Kai Sek dan partisan Komunis Mao Ze Dong.
Sementara pasukan Nasionalis mundur, begitu juga CNAC. Airline ini kehilangan banyak daerah tujuannya yang diambil alih Communist Popular Army. Meskipun begitu, CNAC saat itu berupaya memperluas rutenya ke negara Asia lain. Contohnya, C-46 dan C-47 CNAC dapat ditemui di Burma setelah perang. CNAC juga memulai penerbangan ke Benua Amerika (San Fransisco) dengan transit di Honolulu, Hawaii, menggunakan DC-4 baru mereka. Destinasi internasional lain termasuk Kalkuta melalui Hongkong dan Kunming, serta Manila melalui Hongkong.
Menariknya, CNAC juga melakukan penerbangan survei tunggal dari Sanghai ke Indonesia antara tanggal 21 dan 28 Agustus 1947. Pesawat survei tersebut adalah C-54 dan transit di Hongkong, Saigon, Bangkok dan Singapura sebelum mendarat di Batavia. Meskipun begitu, penerbangan survei ini tidak diikuti oleh dibentuknya rute reguler. Dengan kota-kota besar Cina susul-menyusul jatuh ke tangan komunis, menjadi jelas bahwa CNAC mendekati akhir. Airline ini sebetulnya ambil bagian dalam evakuasi darurat melalui udara dari sejumlah kota yang menjelang jatuh ke tangan komunis.
Saat kehilangan sebuah DC-3 akibat tembakan antipesawat pada Oktober 1947, manajemen CNAC dengan putus asa mencoba untuk mencegah pesawat tersebut jatuh ke tangan Red Chinese. Meskipun begitu, November 1949, sementara airline beroperasi dari Hongkong, awak Cina hengkang dengan membawa serta 10 Dakota.
Akhir CNAC datang pada 31 Desember 1949, saat China National Aviation Corporation secara resmi dihapus. Saat itu kebanyakan armada CNAC grounded di Hongkong Kai Tak Airport. Yang tinggal dari CNAC adalah pilot dan staf teknik dalam jumlah cukup besar dengan pengalaman luas. Mereka biasa bekerja dalam kondisi terburuk, biasa mengambil risiko dan kebanyakan dari mereka bersedia untuk menetap di Asia.
Banyak dari pilot dan staf airline ini yakin bahwa terdapat peluang yang besar untuk perkembangan transport udara di Asia. Mereka pun mulai bekerja untuk semua airline kecil yang muncul di Asia setelah PD II. Airline-airline ini armadanya terutama terdiri dari pesawat Dakota sisa-sisa perang.
James Maupin dan James Tate adalah dua di antara pilot-pilot tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan, tidak banyak informasi bisa menjelaskan soal karir kedua pilot ini sebelum bergabung dengan CNAC. Kecuali bahwa Capt. Maupin memiliki alamat surat di Ohio semasa perang dan Capt. Tate selalu mengenakan seragam dengan topi pilot sementara yang lain berpakaian biasa. Kedua veteran CNAC ini berhubungan dengan mantan pilot CNAC lain bernama Ladnor Maurice Moore atau Lad Moore.
Ladnor Maurice Moore
(Lad Moore)
Lahir di Texas pada 1914, Moore belajar menerbangkan pesawat pada pertengahan 1930-an. Ia menjadi instruktur terbang bagi USAAF di Jones Field, Bonham, Texas hingga 1943 atau awal 1944. Ia kemudian pindah ke Asia dan bergabung dengan CNAC pada Februari 1944. Catatan CNAC menunjukkan bahwa Moore yang sudah menjadi captain, melakukan 252 penerbangan “Hump” dengan C-47 Dakota di atas Himalaya selama dua tahun terakhir perang.
Moore tetap bekerja dengan CNAC dan terbang terutama di Cina. Ia menerbangkan C-47 dan pesawat Curtiss C-46 Commando. Di pertengahan 1947, Moore meninggalkan CNAC. Sejak itu tidak ada data yang bisa ditemukan lebih rinci mengenai kehidupannya hingga ia tibat-tiba terlibat dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1948 atau 1949.
Setelah pembelian Hudson VH-ASV dibatalkan oleh AURI atas saran OU III Wiweko Soepono, Indonesia mulai mencari pesawat yang lebih besar. Jika mungkin, sebuah pesawat C-47.
Maupin dan Tate setuju membantu mencarikan pesawat Dakota dan mulai menjalin hubungan dengan AURI. Terdapat sejumlah data yang berlawanan. Seperti, tak jelas di mana pesawat Dakota ditemukan dan yang kemudian menjadi RI-001. Tidak jelas pula apakah pertama kali dibeli dari sisa perang di Filipina, atau memang sudah ada di Hongkong pada waktu itu. Terlebih lagi, pemilik Dakota sebelum dibawa ke Indonesia kemungkinan Lad Moore atau James Maupin.
Sebuah buku Belanda menyebutkan bahwa Dakota VR-HEC dibeli Capt. Lad Moore. Bahwa masalah administratif muncul karena Moore adalah warga negara Amerika. Sementara hanya warga negara Inggris yang diperbolehkan memiliki pesawat registrasi Hongkong. Saat itu Hongkong masih menjadi koloni Inggris. Masalah kemudian terpecahkan. Kemungkinan dengan menggunakan perantara orang atau perusahaan Inggris. Atau mungkin Cathay Pacific mendaftarkan Dakota tersebut, dan VR-HEC meninggalkan Hongkong pada September 1948 menuju Rangoon.
Pilot penerbangan ini bisa jadi Capt. Maupin atau Capt. Moore, atau mungkin keduanya. Dalam inspeksi saat kedatangan, Wiweko mendapati kondisi umum pesawat dan mesin memuaskan. Kecuali kenyataan bahwa tanki bahan bakar tambahan untuk jarak jauh yang diminta tidak terpasang. Pembelian tuntas pertengahan Oktober, meskipun Indonesia belum mampu membayar lunas. Akhir Oktober 1948, dengan Wiweko Soepono bertindak sebagai navigator untuk pihak Indonesia, VR-HEC menggalkan Rangoon menuju Maguwo. Pilotnya adalah Capt. Maupin, kopilotnya antara Moore atau Tate.
Selain itu ada flight engineer orang Amerika yang kemungkinan adalah Wallace Casseberry. Untuk mencegah pencegatan oleh pesawat tempur Belanda, VR-HEC mengambil rute yang lebih jauh. Yaitu melalui Pekanbaru dan Jambi sambil mengisi bahan bakar. Penerbangan dilanjutkan ke pesisir selatan Jawa sehingga tidak akan terbang di atas wilayah yang dikuasai Belanda. Terlebih lagi sebagian penerbangan di atas kepulauan Indonesia dilakukan pada ketinggian rendah. Saat kedatangan di Maguwo, registrasi pesawat dimodifikasi menjadi RI-001 oleh Direktorat Penerbangan Sipil AURI.
RI-001 segera beroperasi dan dilaporkan melakukan penerbangan bolak-balik Maguwo-Rangoon, setelah Dakota membawa Wapres Muhammad Hatta berkeliling Sumatera pada November 1948. Tempat singgahnya adalah Jambi dan Payakumbuh dimana Wapres tinggal. RI-001 terus ke Kutaradja (Aceh) sehingga rakyat Aceh dapat melihat pesawat yang telah dibeli dengan donasi mereka. Misi penerbangan tidak biasa yang lain dilakukan pada 29 November 1948. Tujuannya untuk mengambil foto udara Gunung Merapi sebagai permintaan Jawatan Pertambangan dan Geologi.
Rencana awal AURI untuk memasang tanki jarak jauh pada RI-001 sama sekali tidak diabaikan. Karena Dakota juga membutuhkan perbaikan, diputuskan untuk menerbangkan pesawat ke India dan melakukan operasi kedua di sana. Pada awal Desember 1948, RI-001 menuju Payakumbuh dengan awak biasa, bersama kelompok kadet ALRI. Di Payakumbuh, OU III Soetardjo Sigit bergabung dengan para awak. Penerbangan dilanjutkan pada 4 Desember menuju Kutaradja tempat para kadet turun.
Dua hari kemudian, RI-001 lepas landas menuju Kalkuta. Patut diingat bahwa pada saat itu RI-001 belum lunas dibayar oleh RI. Untuk itu OU III Wiweko Soepono berada di India sejak pertengahan November, berjuang mengumpulkan uang yang telah disiapkan guna membeli RI-001. Juga hadir di India saat itu OU III Soedaryono. Ia diserahi tanggung jawab mengurus 20 kadet Indonesia dalam menjalani latihan di dua sekolah penerbang di India. “Perintahnya langsung dari Suryadarma,” jelas Soedaryono satu ketika. Saat kedatangan di Kalkuta, Sutardjo Sigit menghubungi Wiweko di Delhi. Keduanya bertemu dan Wiweko meminta Soedaryono untuk bergabung dengan mereka di Kalkuta.
Sementara itu di Indonesia menjadi jelas bahwa pasukan Belanda bersiap untuk melakukan serangan besar-besaran. Menghadapi suasana yang makin memanas, pihak Republik menyiapkan rencana untuk mengevakuasi tokoh kunci Republik dari Yogyakarta. Sayangnya, pada pertengahan Desember, RI-001 yang diharapkan sebagai alat utama evakuasi belum siap untuk terbang kembali ke Indonesia. Pesawat tersebut sedang menjalani overhaul. Tanki bahan bakar tambahan pun belum dipasang dan pesawat masih dicat kamuflase.
Sebagai pengganti, pesawat bermesin empat De Havilland DH-86 disewa oleh pemerintah dan tiba di Maguwo. Namun terlambat sudah. Serangan udara Belanda atas Maguwo pada 19 Desember1948 dan berhasil mendudukinya, memungkinkan Belanda menahan DH-86 di darat dan dilanjutkan dengan menahan RI-006.
Karena Republik kembali dikuasai dan komunikasi terputus dengan Yogjakarta, para perwira AURI di India harus berhadapan dengan sejumlah masalah. Di satu sisi mereka harus membayar ongkos overhaul dan modifikasi. Sementara mereka belum bisa kembali ke Indonesia dengan pesawat tersebut, mereka masih harus membayar sewa untuk landasan dan hangar di India. Ditambah biaya hidup awak. Karena itulah muncul ide untuk membentuk airline charter. Namun otorita India tidak memenuhi permintaan RI-001 untuk beroperasi di India.
Meskipun begitu, Perwakilan Indonesia di India, Dr. Soedarsono (ayahanda Menhan Juwono Soedarsono), sudah berupaya keras. Solusi datang dari Burma ketika Perwakilan Indonesia di sana, Maryunani menginformasikan kepada Wiweko bahwa ada kebutuhan untuk pesawat charter di Burma. Di masa-masa itu, Union of Burma Airways tidak memiliki pesawat lebih besar daripada De Havilland Dove. Terlebih lagi, negara itu tengah dilanda perang saudara dan pesawat transport seperti Dakota akan dibutuhkan. Baik untuk kegunaan sipil maupun militer.
Berkat bantuan seorang jurnalis Burma dari Burma Post bernama U Maung Maung, otorisasi untuk beroperasi di Burma dikabulkan pada 20 Januari 1949. Pada 26 Januari 1949, RI-001 yang dikamuflase beserta personel AURI di Kalkuta, meninggalkan bandara menuju Mingladon, Rangoon. Dalam dua hari, Indonesian Airways terdaftar di Burma. Awaknya adalah Captain-pilot James Maupin, kopilot Soedaryono dan Soetardjo Sigit, operator radio Sumarno dan flight engineer Wallace Casselberry.
Casselberry berkebangsaan Amerika dan lahir pada 1912. Ia adalah mantan Line Chief CNAC dan kenal betul dengan Maupin, Tate, dan Moore, di masa-masa mereka berkiprah di Cina.
Terbang di Burma
Meskipun Capt. Maupin adalah captain-pilot Indonesian Airways yang resmi, terdapat bukti dari log book bahwa James Tate dan Lad Moore juga menerbangkan RI-001 sebagai captain-pilot sejak Februari 1949 hingga seterusnya. Saat itu langkah ini penting karena tidak ada pilot Indonesia yang memiliki kualifikasi diakui internasional sebagai captain-pilot. Hanya dalam waktu singkat, RI-001 dan kelompok Indonesian Airways mengalami masa-masa sibuk. Permintaan atas pesawat transport berukuran besar ternyata betul-betul sangat tinggi.
Terlebih lagi, RI-001 disewa oleh dua pelanggan yang berbeda. Pertama, Civil Union of Burma Airways membutuhkan pesawat seukuran Dakota untuk mengangkut penumpang dan kargo dari seluruh negeri. Burma saat itu dalam kondisi perang saudara dengan sejumlah etnik minoritas. Transportasi udara kadangkala satu-satunya penghubung yang paling mungkin antara Rangoon dan kota-kota utama. Contohnya jalan utama antara Rangoon dan kota terbesar kedua Mandalay, kebanyakan terputus sepanjang 1949 dan 1951.
Kekisruhan disebabkan pemberontakan etnik, ditambah lagi dengan aksi pemberontakan Burmese Communist Party yang sudah dimulai sejak 1946. Bahkan sebelum Burma resmi menjadi negara merdeka. Pasukan mereka dinamai Red Flag dan akhirnya berhasil dikalahkan oleh AD Burma. Saat itu AD Burma disebut Burmese Volunteer Force dan mendapat dukungan pesawat transport RAF karena masih di bawah kekuasaan Inggris.
Setelah kemerdekaan pada Januari 1948, partai komunis melanjutkan pemberontakannya. Kali ini dengan nama White Flag Army. Sementara Karens yang awalnya bergabung dengan pasukan Burma untuk melawan komunis, malah berbalik ikut memberontak. Diawali serangan milisi Burma pada hari Natal 1948 terhadap Karens yang sebagian besar beragama Kristen. Alhasil Karens bersama Komunis menjadi ancaman paling serius bagi pemerintah pusat. Minoritas muslim di propinsi Arakan di pesisir selatan juga memberontak karena mereka lebih memilih bergabung dengan Pakistan daripada Burma. Nasib baik bagi pemerintah pusat, kelompok pemberontak tidak pernah saling menggabungkan diri atau mengoordinasikan aksi mereka.
Union of Burma Air Force (UBAF) yang disebut Tandaw Lay di Burma, tadinya memiliki beberapa pesawat tempur seperti Spitfire. Pilot-pilotnya dilatih oleh Inggris selama perang dan bertugas dengan bantuan personel RAF yang ditempatkan di UBAF. Meskipun begitu, terdapat kekurangan pesawat transport untuk mengangkut pasukan ke pelosok negeri dan untuk menerbangkan perbekalan bagi pasukan yang tengah bertempur melawan pemberontak.
Sejumlah perusahaan kargo saat itu beroperasi di Burma. Pesawat seperti Dakota, C-54 atau Curtiss C-46 Commando CNAC dapat ditemui di Bandara Mingladon di Rangoon. Namun tidak satu pun dari operator ini yang siap untuk misi penerbangan berbahaya mengangkut perbekalan ke garis depan .… kecuali Indonesian Airways.
Indonesian Arways
Airline yang baru terdaftar ini segera didekati oleh Kantor Perang Jenderal Bo Ne Win untuk menerbangkan logistik ke berbagai zona pertempuran. Setelah berkonsultasi, personel Indonesian Airways menerima pekerjaan tersebut. Karena Bo Ne Win memiliki dana tetapi tidak memiliki pesawat transport, pekerjaan ini justru menjadi jalan guna meningkatkan pendapatan airline, walau disadari berbahaya. Usaha airline berjalan baik. Selama Februari 1949, adalah hal biasa bagi RI-001 untuk terbang hingga empat misi per hari.
Komentar