Suasana malam yang gerimis, sudah hampir satu hari ini hujan tidak kunjung henti. Bisa dipastikan sepanjang jalan akan menemukan kemacetan yang luar biasa. Jam menunjukkan pukul 20.00 wib. Radio asik memutarkan lagu-lagu jazz yang easy listening. Saya cukup menikmati berkendara walaupun waktu tempuh kantor ke rumah biasanya hanya 1 jam, saat ini saya sudah masuk hampir 2 jam. Hal yang lumrah di Jakarta ini. Mau mengeluh, malah tambah melelahkan bisa-bisa malah berbuat anarkis. Membahas kemacetan akhirnya menjadi hal yang “Basi” di Jakarta ini, membahas menghadapi kemacetan inilah yang sedang menjadi “in”.
Akhirnya saya memasuki area perumahan saya. Dari Gerbang Depan hingga sampai rumah saya masih relatif jauh. Maklumlah padat dan mahalnya hunian di Jakarta membuat kita harus memilih yang terbaik dari yang ada. Arah ke rumah saya, lampu jalannya tidak ada. Yang ada hanya beberapa lampu swadaya dari masyarakat sekitarnya. Jadi alhasil cukup gelap ditambah hujan yang kembali deras. Alhamdulillah saat ini jalan ke rumah saya sudah di cor di penghujung tahun lalu. Sehingga yang biasanya harus mencari lubang jalanan, sekarang diraakan mulus dan bisa melenggang. Seperti kebanyakan proyek penghabisan di akhir tahun, saya merasa jalan yang di cor ini sangatlah kecil, padahal kanan dan kirinya sisa jalannya masih cukup lebar. Alhasil jika berpapasan dengan kendaraan dari lawan arah harus cukup berhati-hati, karena kalau tidak hati- hati akan tergelincir ke luar, lumayan untuk mobil harus diangkat nantinya. Ketebalan cornya hingga mencapai 50 cm lebih. Jadi bagi warga sekitarnya kalau sudah memahami daerah tersebut akan melihat beberapa titik yang bisa nyaman dijadikan untuk berpapasan dengan mobil berlawanan arah. Salah satunya berada di dekat tikungan.
Hal inilah yang selalu menjadi doa saya untuk melawatinya semoga tidak ada mobil yang berpapasan dengan saya. Namun seringkali harapan tersebut mendatangkan cerita lain. Karena tikungannya gelap dan di sekitarnya tanaman cukup rindang membuat mobil yang akan datang di lawan arahnya seringkali tidak dapat terlihat. Dengan kehati-hatian dan konsentrasi tinggi untuk memastikan kondisi cukup aman untuk dapat meleawati tikungan tersebut. Ternyata saya berhadapan dengan mobil dari lawan arah saya. Mobil saya tepat pada tikungan, sedang mobil yang dari lawan arah baru akan memasuki tikungan. Sedangkan di belakang saya ada beberapa mobil. Ketika saya minta dirinya untuk mundur, sepertinya ia keberatan dan tetap memaksakan mobilnya untuk masuk.
Saya menghela nafas. Kenapa ada cara yang lebih mudah dan lebih nyaman serta tidak membuat pertikaian, malah banyak orang yang memilih cara dan jalan yang berlawanan. Memaksakan untuk dirinya. Menurut perhitungan kalkulasi sederhana saya. Jika ia mundur dan memberikan kesempatan 4 mobil untuk lewat, hasilnya akan memakan waktu maksimal kurang dari 10 menit. Tapi apa yang terjadi? Akhirnya menjadi kemacetan ditikungan itu, lebih dari 30 menit.
Kejadian ini tidak sekali atau dua kali. Sering terjadi. Karena para pengguna jalan merasakan bahwa ini haknya untuk menggunakan jalan ini. Tanpa memperhatikan ada hak orang lain juga pada jalan tersebut. Jika dihitung dengan persentase pengendara yang mengalah dan membuat pengendara lain nyaman hanya kurang dari 10 persen. Artinya kejadian itu jarang ditemui. Saya berpikir, dengan kejadian kecil ini, menggambarkan sample dari perilaku masyarakat Jakarta dan Indonesia. Hampir semua orang ingin mendapatkan haknya, hampir semua orang tidak peduli dengan hak orang lain, dan akhirnya berebutlah mereka semua. Kerugian pun akan lebih banyak...
Kita semua sudah hampir kehilangan untuk mental keberlimpahruahan (abundance mentality) kalau rekan trainer saya menyebutkan “mental kaya”. Karena dengan membangun mental kaya, kita akan semakin tidak hanya berpikir untuk dirinya namun sudah berpikir untuk orang lain. Belum tentu orang yang kaya memiliki mental yang kaya, demikian juga sebaliknya. Tidak semua orang ingin berbagi pikiran dan persanaan dengan orang lain. Salah satunya adalah perilaku dalam “memberi”. Dalam kasus ini, adalah memberi kesempatan bagi orang lain untuk kepentingan kelancaran bersama, bukan untuk kelancaran dirinya sendiri namun menghambat kelancaran orang lain. Memberi tidak hanya sekedar di lingkungan keagamaan, kemasyarakatan atau aktif dalam kegiatan sosial. Namun dalam kegiatan kita sehari-hari dapat mencerminkan kualitas “memberi” kita. Sangat ironi ketika saya tahu yang ada di dalam mobil itu adalah orang yang aktif dalam kegiatan keagamaan.
Kurang dari 10 persen orang yang memiliki mental kaya ini. Saya bertanya kemana bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan suka menolong yang selalu disampaikan dalam pelajaran di sekolah. Saya anya melihat bangsa yang masyarakatnya memiliki “mental miskin” yang kerjanya selalu rebutan dan kalau perlu memangsa satu dengan yang lainnya dan bahkan merusak lingkungan hanya untuk kepentingan dirinya. Besarnya suatu bangsa ditentukan budaya dari masyarakatnya, yang tercermin dalam prilakunya. Bagaimana bangsa Indonesia ini bisa besar kalau perilaku masyarakatnya, khususnya individunya berprilaku sebagai “mental miskin”, penuh dengan ketakutan tidak dapat, ketakutan tidak dapat hidup, ketakutan tidak dapat hidup enak, dan ketakutan yang lainnya. Ketakutan hanya ada dalam diri yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, dan ketakutan juga akan ada jika ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Tuntutlah diri kita untuk mulai membenahi diri...Keep on Spirit for Better 1ndONEsia...wicaksana untuk 1ndONEsia.
Komentar