Suatu pagi setelah kuliah pagi di kampus di sudut kota Jogja, seorang mahasiswa bertanya padaku, "Mas lebih susah mana meminta maaf atau memberi maaf?"
(Mmmhhh.. Pertanyaan bagus. Umum sih tapi bagus. Sekilas emang mudah untuk menjawabnya tapi jika dipikir lagi gak akan seperti yang terlihat. Memang keduanya memiliki kedudukan dan tujuan yang sama yaitu meniadakan sebuah kesalahan dan dampaknya bagi kedua belah pihak.)
"Menurutku lebih susah meminta maaf dan tentunya yang dimaksud adalah sebuah permintaan maaf yang tulus yang datang dari hati dengan maksud mengakui segala kesalahan dan kekhilafan serta berjanji tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang dengan alasan apapun."
"Kok bisa mas?"
"Iya. Untuk mengakui sebuah kesalahan terlebih dahulu kita harus tahu kalo kita telah berbuat salah."
"Yo mesti."
"Lho dikandani kok ngeyel. Karena penyakit orang dewasa ini adalah penyakit superioritas. Merasa diri paling benar dan paling hebat. Dan tentu saja sebagai seorang yang hebat adalah anti untuk melakukan kesalahan apalagi mengakui kalo dirinya telah berbuat salah. Orang semacam ini akan sangat sukar untuk menyadari bahwa dirinya telah berbuat salah. Biasanya penyakit ini disertai syndrom peka mata. Mata akan sangat peka terhadap kesalahan orang lain. Dan akan dengan refleknya menyalahkan orang lain untuk kesalahan yang telah diperbuatnya. Kalo gak ada orang laen maka akan menyalahkan barang/hal laen."
"Trus mas."
"Setelah menyadari kalo kita telah berbuat salah maka langkah selanjutnya adalah mau mengakui dan mengungkapkan kalo kita telah berbuat salah. Banyak orang yang tau dirinya salah tapi enggan mengakui, apalagi di muka umum, kalo dia berbuat salah. Selain itu mengakui kesalahan kita juga berarti bahwa orang laen lebih benar dan lebih baek dari kita. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan penyakit superiotitas tersebut di atas."
"Trus mas."
"Ya umumnya dimana-mana kan malu minta sesuatu ama orang laen. Apalagi kalo minta maaf. Hal berikut yang harus dilakukan setelah mau mengakui kesalahan adalah mau berkomitmen. Dan terkadang memegang sebuah komitmen itu susyahnya minta ampyun. Berkomitmen untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi dengan alasan apapun itu."
"Trus mas."
"Nabrak."
"Kok bisa nabrak mas?"
"Lha mlaku terus rak menggak-menggok kan dadine nabrak."
"Walah tak kiro serius. Lanjutan ceritane ki piye?"
"Hehehe... Sedangkan kalo memberi maaf itu lebih mudah dan posisinya pun lebih mulia. Karena saat memberi maaf posisi logis kita adalah di atas orang yang meminta maaf. Kita tinggal memutuskan akan memberi atau tidak memberi maaf."
"Nah kalo kasusnya orang yang bersalah kepada kita udah berbuat sejibun dosa dan dengan mudahnya meminta maaf pada kita gimana mas? Masak kita bisa langsung memaafkan. Kan gak semudah itu. Apalagi kalo orang itu sudah menyakiti hatiku ini."
"Gini lho untuk masalah hati akan lebih bijaksanan kalo kita serahkan saja pada yang punya hati."
"Maksudnya?"
"Semua yang ada pada diri kita seperti harta, ilmu dan badan termasuk hati kita adalah milikNya dan hanya dipinjamkan kepada kita untuk disyukuri. Dalam artian dimanfaatkan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Jadi bila badan kita termasuk hati disakiti maka yang lebih berhak marah adalah yang mempunyai hati tersebut. Dan siapa lagi yang lebih berhak menghukum dan memberi balasan yang setimpal selain Dia Yang Empunya segalanya."
"O gitu ya mas."
"Iya."
"Kok kayaknya susah banget untuk dipahami ya mas?"
"Memahaminya mudah cuma menerapkan dan mengamalkannya itu yang susah. Jangan dikira aku sudah mahir. Aku juga sama seperti kamu. Aku rasa kita sekarang berada dalam satu perjalanan yang sama."
From http://wisnhu-ajie.blogspot.com/2006/11/meminta-maaf-vs-memberi-maaf.html
Segenap SOBAT di Humanika Consulting menghaturkan
SELAMAT ‘IEDUL FITRI 1432 H.
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.
Dengan Semangat Baru, Mari Kita Belajar Memperbaharui Diri Terus Menerus Tanpa Henti . Seperti Seorang Atlit, Kita Berlari Dengan Kecepatan Seorang Sprinter Dan Nafas Sorang Pelari Marathon. SEMANGAT.
Taqobbalalohu Mina Waminkum
Komentar