Semangat Pagi Sobat 1ndONEsia ! sudah lama tidak bertatap kata dengan SOBAT semua. Semoga selalu dalam lindungan kesehatan dalam membangun dan mencapai visi kita semua, amiin.
Pagi ini jam 7.30 pagi pada sabtu yang cerah dan ceria
seceria agu yang sedang berkumandang di ruangan penuh nuansa batik. Terdengar
lagu-lagu tradisional jawa dengan nuansa ceria dan biasanya lagu yang
mengiringi “dolanan” anak. Hari sabtu ini, kakak akan melakukan pentas tutup
ajaran KB (kelompok Bermain) akan masuk jenajng yang lebih tinggi, alias naik
kelas jadi TK (Taman Kanak-kanak). Sambil menunggu acaranya mulai, ada banyak
hal yang ada di pikiran saya belum saya sampaikan melalui forum tulisan ini.
Sebenarnya inspirasi tulisan ini sudah 2 minggu yang lalu,
tepatnya saat sebelum tanggal 20 Mei. Tanggal tersebut kita ketahui adalah
merupakan hari kebangkitan nasional. Namun lebih istemewanya lagi bukan karena
momentum ini saya menulis tulisan ini, namun saat ketika istri saya
menyampaikan jadwal kakak yang akan masuk sekolahnya tiap hari jelang pentas
hari ini. KB biasanya masuk seminggu 3 kali namun untuk persiapan
di”intensif”kan hingga tiap hari. Kebetulan istri merupakan bagian dari
pengurus atau komite di sekolahnya kakak. Alhasil saya terkejut dengan
perubahan jadwal yang berkesan mendadak ini. Menurut saya, dengan tidak
terjadwalnya dengan baik, ada hal yang berarti “tidak beres”. Idealnya sebuah
program dalam pendidikan harusnya selalu terencana khususnya untuk anak-anak
itu sendiri.
Terkait dengan hal tersebut saya memiliki 2 pandangan, yaitu
pertama dari sisi anaknya, yang mungkin dirasakan belum siap untuk tampil
kegiatan “pentas seni tahunan” ini. Satu lagi dari kacamata gurunya bahwa
ketidaksiapan ini menjadi ecemasan bagi gurunya. Saya heran, kenapa kecemasan
gurunya ini diturunkan kepada anak-anak? Apakah salah jika seusia KB tersebut
tetap dengan konsep manggung tetap menunjukkan keanak-anakan mereka? Justru
indahnya anak-anak adalah keberagaman ekspresi anak itu sendiri. Kenapa mereka
harus seragam dan mengikuti instruksi gurunya dan ditambah lagi dengan intensif
tiap hari untuk latihan. Bukankah mereka (sekolah dan guru) adalah orang-orang
yang “dianggap” mumpuni untuk mereka (anak-anak), namun dikacamata saya menjadi
tidak! Mereka semakin tidak tahu apa yang telah mereka perbuat membuat
menurunkan kecemasan organisasi dan guru kepada anak-anak. Sungguh LUAR BIASA
pendidikan ini….
Penasaran untuk mengetahui tentang pendidikan di Indonesia,
eh…kepikiran juga, ternyata ada kaitannya dengan namanya Kebangkitan Nasional.
Maaf…, banyaknya yang ingin disampaikan jadi melompat. Mungkin, lebih baik kita
membicarakan kebangkitan dibandingkan melompat. Kebangkitan berasal dari kata
BANGKIT. Bangkit adalah sesuatu kegiatan yang aktif dan dilakukan setelah
mengalami keterpurukan. Jika dikaitkan dengan bahasa anak gaul sekarang…mungkin
bangkit adalah move on !, yaitu
bangkit dari segala kegalauan, keputusan dan siap bertindak telah diraih. Sehingga
melakukan tindakan bangkit dibutuhkan kesadaran luar biasa dan PENUH! Karena kita
yang tahu mau dibawa kemana BANGKIT ini, apakah akan dibawa terBANG Ke langIT? Atau
kemana?
Kata kunci kebangkitan adalah SADAR dan TERENCANA, dua hal
ini membuthkan gizi pengetahuan di dalam otak ini. Akan memungkinkan BANGKIT
jika kita menggunakan akal dan pikiran serta hati kita. Tidak mungkin kita
terbang ke langit (BANGKIT) tanpa
menggunakan akal dan pikiran serta hati ini untuk berinovasi dan akhirnya
membuat pesawat. PENDIDIKAN menjadi tokoh utama dalam kasus BANGKIT ini. Namun seberapa
besar dan mahadayanya system pendidikan di Indonesia dapat membuat anak
didiknya menjadi bangkit untuk meraih prestasi. Jika melihat ilustrasi cerita
mengenai putri saya, yang saat ini saya sedang menyaksikan dirinya sedang
membaca doa bersama empat temannya. Sesaat saya berhenti untuk menulis,
menyaksikan indahnya doa yang dilantunkan mereka.
Kembali ke system pendidikan Indonesia, saya mencoba mencari
informasi mengenai sejarah pendidikan Indonesia. Pendidikan Pada Abad Ke Dua
Puluh Jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan. Di kalangan orang-orang
Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada pendudukan asli bagian
dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda) selama mereka menguasai
Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang Bumiputera
harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah menjadikan
Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini dikenal sebagai Politik Etis
(Etische Politiek). Gagasan tersebut dicetuskan semula olah Van Deventer pada
tahun 1899 dengan mottonya “Hutang Kehormatan” (de Eereschuld). Politik etis
ini diarahkan untuk kepentingan penduduk Bumiputera dengan cara memajukan
penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat.
Dalam dua dasawarsa semenjak tahun 1900 pemerintah Hindia
Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi Barat. Berbeda dengan
Snouck Hurgronje yang mendukung pemberian pendidikan kepada golongan aristokrat
Bumiputera, maka Van Deventer menganjurkan pemberian pendidikan Barat kepada
orang-orang golongan bawah. Tokoh ini tidak secara tegas menyatakan bahwa orang
dari golongan rakyat biasa yang harus didahulukan tetapi menganjurkan supaya
rakyat biasa tidak terabaikan. Oleh karena itu banyak didirikan sekolah-sekolah
desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah, disamping sekolah-sekolah yang
berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa Belanda. Yang menjadi landasan dari
langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, maka pemerintah mendasarkan
kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
· Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan
sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera untuk itu bahasa Belanda
diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah
·
Pemberian pendidikan rendah bagi golongan
Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka
Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan
persekolahan di Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur
tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi
kebutuhan akan unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga didik bermutu tinggi
bagi keperluan industri dan ekonomi dan di lain pihak terpenuhi kebutuhan
tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.
Tujuan pendidikan selama periode kolonial tidak pernah
dinyatakan secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi
keperluan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian
penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan (buruh
kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga
administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat
sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga. Secara singkat tujuan pendidikan
ialah untuk memperoleh tenaga-tenaga kerja yang murah. Suatu fakta menurut
hasil Komisi Pendidikan Indonesia Belanda yang dibentuk pada tahun 1928 – 1929
menunjukkan bahwa 2 % dari orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan barat
berdiri sendiri dan lebih dari 83%
menjadi pekerja bayaran serta selebihnya menganggur. Diantara yang 83% itu 45%
bekerja sebagai pegawai negeri. Pada umumnya gaji pegawai negeri dan pekerja
adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji Barat mengenai pekerjaan
yang sama.
Sistem pendidikan Belanda terdiri dari beberapa struktur antara lain :
·
Pendidikan Dasar diantaranya : ELS (Europese
Lagerschool) untuk bangsa Eropa, HBS (Holandsch Chineeschool) untuk orang
Tionghoa , HIS (Holandsch Inlandshool) untuk bangsa Indonesia kaum bangsawan ,
sedangkan golongan bawah disediakan Sekolah Kelas Dua
·
Pendidikan Tingkat Menengah diantaranya , HBS
(Hogere Burger School) , MULO ( Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea
Aschool) dan sekolah kejuruan /keguruan ( Kweek School) , Normaal School.
·
Pendidikan Tinggi , diantaranya , Sekolah Tehnik
Tinggi (Koninklijk Institut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch
Indie) , Sekolah Tinggi hukum (Rechschool)Sekolah Tinggi Kedokteran antara lain
Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS ( Genneskundige Hogeschool ).
Dalam perkembangannya Sekolah Dokter Jawa lahir sejak 2
Januari 1849 , kemudian diubah namanya tahun 1875 menjadi Ahli Kesehatan Bumi
putra (Inlandsch Geneeskundige), tahun 1902 diberi nama STOVIA (Shool tot
Opleiding van Indische Artsen) dan tahun 1913 diubah menjadi NIAS (
Nederlandsch Indische Artsenschool) . Peranan lulusan sekolah kedokteran ini
sangat penting bagi lahirnya pergerakan nasional. Kehadiran mereka menjadi
pelopor dalam pergerakan nasional dengan mendirikan organisasi seperti Studie
Found maupun Budi Utomo. Kita mengenal nama-nama tokohnya seperti dr Wahidin
Sudirohusodo dan dr Soetomo.
Jika dilihat historisnya tampak ada KEBANGKITAN, namun dampaknya sangat sulit untuk dapat BANGKIT dan BERAKSELERASI jika hingga saat ini 2013, bangsa Indonesia masih menggunakan system pendidikan jaman kolonialisme ini. Menjadi pandangan umum jika kita mendapatkan kelas jika diminta bertanya akan terasa sepi…tenang dan senyap, sttttt….
Dari mereka masuk dari pendidikan untuk anak, dasar, menengah dan tinggi, mereka hanya diarahkan untuk menjadi pekerja. Jelas system pendidikan Indonesia menganut 100 persen akademik atau kecerdasan pikiran (IQ). Walaupun ada sekolah yang menggunakan karakter sebagai dasar pendidikannya namun…hal ini tidak pernah menjadi faktor yang mempengaruhi penilaian kelulusan untuk anak didik. Jelas bahwa dari jaman dul hingga dil bahwa system pendidikan Indonesia masih bersifat menciptakan tukang. Hal ini juga dapat dilihat pada pendidikan profesi, misal kebidanan atau keperawatan dalam silabus pendidikannya tidak pernah menyebutkan bahwa mereka berada pada pemberian jasa layanan (services), wajar jika banyak ditemukan para tenaga medic tidak tahu bagaimana menempatkan atau memberikan layanan terhadap pasiennya. Dan ini baru contoh kecil, bagaimana dengan kedokteran, psikologi, guru / tenaga pengajar dan profesi-profesi lainnya.
Ketidaktepatan system pendidikan ini masih berorientasi pada pikiran semata tanpa melibatkan karakter sebagai dasarnya. Karakter akan sangat melibatkan banyak pemangku kepentingan di pendidikan, semuanya akan membangun rasa memiliki pendidikan, jika kita mulainya dari karakter. Mulai dari diri sendiri dan pa yang bias dilakukan, menerus…konsisten dan berkomitmen pada kebenaran dan keadilan dalam mencapai Indonesia Sejahtera…bukan MIMPI, dan BISA di raih ! (wicaksana, 2013)
Komentar