Langsung ke konten utama

Remunerasi ala Pancasila




Jika kita mengingat “Pancasila” pasti kita akan teringat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang di bagian bawah bukunya ada tulisan kurikulum 1984 yang dikeluarkan oleh Balai Pustaka (bp). Saat masuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan mendapatkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dari SMP sampai Mahasiswa. Namun saya bertanya kepada diri saya sendiri, kemana hilangnya ingatan mengenai “Pancasila” dalam pikiran saya.

Baru akhir-akhir ini, terbersit pertanyaan “apakah bangsa Indonesia memiliki kompetensi ? Atau nilai-nilai kebangsaan ?” setelah direnungkan baik-baik, ternyata apa yang menjadi pertanyaan saya tersebut, jawabannya telah saya pelajari selama ini. Jawaban ini malah menimbulkan pertanyaan lagi, “kenapa selama ini saya koq tidak memahami apa yang saya pelajari selama ini? “ lewat begitu saja dan tidak berarti apa-apa.

Bersamaan hal tersebut, seorang rekan bertanya mengenai remunerasi system. Tiba-tiba ada keinginan saya untuk menuliskan remunerasi ala pancasila.

Jika kita berbicara mengenai remunerasi, erat sekali hubungan dengan motivasi seseorang dalam bekerja. Orang akan lebih cendrung bertahan lama di sebuah organisasi jika karya orang tersebut dihargai dengan sesuai bahkan lebih. Ini merupakan filosofi dasar yang harus diyakini. Namun hal ini juga bukan merupakan salah satunya. Masih ada hal-hal yang lain yang dapat mempengaruhi motivasi atau semangat orang dalam bekerja.

Remunerasi memiliki tujuan untuk menarik, memotivasi, dan mempertahankan karyawan yang kompeten serta membantu organisasi mencapai tujuannya dengan meningkatkan kesetaraan internal dan eksternal (Mandy & Noe, 1993).

Kesetaraan internal menunjukkan bahwa makin berat beban kerja suatu jabatan, makin kompleks tuntutan jabatan dan kualifikasi individu di jabatan tertentu, makin besar pula kompensasi yang diterimanya. Kesetaraan internal ini dilakukan dengan mengacu pada jabatan-jabatan yang ada dalam organisasi itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi dari dalam perusahaan adalah berat ringannya suatu pekerjaan, untuk pekerjaan yang mengandung resiko tinggi, kemampuan kerja dari karyawan tersebut, jabatan atau pangkat, pendidikan, lama bekerja, dan terakhir adalah kemampuan perusahaan itu sendiri.

Sedangkan kesetraan eksternal berkaitan dengan pemberian standar imbalan yang relatif sama dan adil dengan jabatan sama yang ada di luar organisasi tersebut.. Faktor - faktor dari luar perusahaan, yaitu peraturan pemerintah, biaya hidup, letak geografis, dan pasar tenaga kerja.
Jika dilihat dari filosofi dasarnya saja sudah menggambarkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan memberikan kompensasi yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan dan lingkungan dimana ia berada, ini juga, merupakan cerminan dari sila ke lima yaitu Keadilan sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia, diharapkan dengan memberikan kompensasi yang sesuai dapat meningkatkan harkat hidup orang banyak dan bangsa ini. Menarik dilihat pada kedua sila ini adalah kata “adil”. Konteks kata adil untuk remunerasi ini bukanlah “sama rata”, Misal sebuah angkutan umum, ada sopir dan ada keneknya, jika menganut adil yang sama rata maka penghasilan yang mereka dapat dibagi dua sama rata. Apakah itu yang dikatakan adil? Jawabnya bukan!

Dalam tahapan pembuatan remunerasi itu sendiri ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dengan tepat, yaitu :

Pertama adalah NIAT, yaitu niat yang baik bahwasannya remunerasi system yang dibuat untuk kemaslahatan semua pihak. Dengan niat yang baik tersebut kita telah meyakini bahwa kita hanya berusaha sebaik-baiknya sedangkan keadilan yang sesungguhnya hanya milik Yang ESA. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, telah kita gunakan dalam merumuskan Niat yang baik tersebut. Dengan niatan yang baik, proses dan hasil akhirnya akan berbuah baik pula. Percaya atau tidak, sialakan buktikan!

Kedua adalah filosofi organisasi, yaitu adanya beberapa orang, melakukan usaha, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Jadi pastikan kembali tujuan perusahaan. Pastikan apa yang menjadi core business dari perusahaan. Jika kita ingat kasus angkutan umum di atas, core business nya adalah jasa transportasi dimana yang mengambil peran utama adalah sang sopir sedangkan kondektur merupakan support. Sehingga seperti juga pada dunia perfilman, seorang bintang film mendapat peran utama, penghasilan lebih besar dari pada pemain pendukung. Dengan demikian tentukan peta organisasi yang dimiliki, berada di jalur bisnis manakah? Kemudian diturunkan menjadi target-target panjang, menengah dan pendek yang tiap bagiannya harus berkontribusi dalam pencapaiannya. Ini yang disebut dengan beberapa orang bekerja mencapai tujuan bersama. Ini juga termasuk dalam sila Persatuan Indonesia. Dimana semua elemen organisasi harus bersatu padu dalam mencapai tujuan. Tugas dan perannya kemudian diatur dalam sebuah uraian jabatan, yang didalamnya terdapat tugas dan tanggungjawab serta wewenangnya dalam menjalankan tugasnya di jabatan tertentu.


Niat baik dan kebaikan bersama dalam menciptakan keadilan merupakan proses yang harus dilaksanakan. Namun tidak sampai disini saja. Yang kita perlukan dalah duduk bersama dalam membangun sebuah system yang baik. Diskusi dan perdebatan serta perbedaan bukanlah suatu yang harus dihindari. Namun merupakan hal yang dapat digunakan dalam memperkaya khazanah pembuatan system yang baik. Sedangkan yang duduk dalam rapat ini tidak semua karyawan. Bisa dibayangkan jika suatu organisasi atau perusahaan memiliki 6000 karyawan, apakah 6000 orang tersebut harus hadir? Tentu tidak. Sehinga dalam rapat ini cukup diwakilkan kepada orang-orang yang memiliki tingkat amanah yang tinggi dalam memperjuangkan system untuk kebaikan bersama. Dalam pertemuan ini dicari kata mufakat, dimana kata mufakat ini bukan dihasilkan dari yang dinamakan voting saja. Namun sebuah kesepakatan yang memiliki nilai komitmen tinggi dalam menjalankan hasilnya. Hal ini menggambarkan sila ke empat pancasila, yaitu Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Jika kita lihat bahwa pancasila telah mengakomodir segala sendi kehidupan, hal ini terlihat dalam proses kecil sebuah organisasi/perusahaan pembuatan system remunerasi. Pernahkah terpikirkan untuk membuat pelatihan P4 lagi, masih ada yang minat?? Tapi jika ada pelatihan bagaimana menyusun remunerasi system yang adil, pasti orang berbondong-bondong menginvestasikan dananya untuk mengikuti pelatihan tersebut. Kenapa hal ini terjadi, karena kita belum sepenuhnya memahami setiap filosofi apapun yang ada di sekitar kita. Kita hanya terjebak kepada trend tertentu saja. Jika ikut pelatihan remunerasi tanpa disadari kita belajar Pancasila juga.

Jadi saya menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki harta yang sangat kaya dalam pancasila. Namun konsep pancasila yang disampaikan masih sangat konsep dan belum menyentuh tataran praktis. Nilai-nilai luhur tercantum dalam pancasila, sehingga tidak perlu lagi mencari nilai-nilai lain untuk bangsa ini, Pancasila merupakan gambaran filosofi yang menjunjung tinggi akan keuniversalan (Bhineka Tunggal Ika). Dan bangsa Indonesia telah memiliki kompetensi utama yaitu Pancasila. Bagaimana dengan dengan SOBAT-SOBAT yang lainnya dalam menyikapi hal ini?

“Kita belum menghargai apa yang dimiliki, karena kita belum benar-benar mengetahui dan memahami esensi sesungguhnya apa yang telah kita miliki”

Sukses dan tetap semangat untuk menebarkan keBAIKan…!!

Wicaksana, November 2008










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga