PERNAHKAH melakukan reuni dengan teman-teman sekolah? Sebagian dari kita pasti menjawab ya. Apalagi saat bulan Ramadhan ini seringkali digunakan sebagai momen yang baik untuk berkumpul keluarga, sanak saudara, handai tolan dan teman. Lalu apa kesan yang kita peroleh tatkala bertemu teman-teman lama? Mungkin berdecak kagum terhadap "si Polan" yang hidupnya tampak sangat mapan, kendati waktu di sekolah dulu bukan kalangan pintar. Atau Anda terheran-heran dengan "si Badu" yang begitu lusuh dan terkesan hidup dalam keadaan sulit. Padahal, waktu di sekolah dia selalu perlente dan berasal dari keluarga berkecukupan. Di sisi lain, juga mungkin terkesima dengan "si Polin" yang Anda duga sangat makmur padahal hidupnya biasa-biasa saja. Kesan memang bisa macam-macam.
Apa yang mau kita telaah dari fenomena di atas? Banyak. Misalnya, kita beranggapan kondisi seseorang pada saat bersekolah akan berbanding lurus dengan kondisi pada masa depan. Realitas menunjukkan pandangan semacam itu lebih banyak keliru. Termasuk anggapan bahwa teman-teman kita pada masa sekolah yang tidak terlalu pintar akan mengalami hidup lebih sulit dibanding teman-teman yang kita anggap pintar. Faktanya bisa sangat bertolak belakang. Itu satu hal.
Hal lain, kita kerapkali melihat keberhasilan seseorang dari kekayaan yang dimiliki. Lebih fatal lagi, kita sering menafsirkan seseorang hidup dalam keadaan kaya atau miskin lebih berdasarkan interpretasi belaka. Bukan apa yang dirasa oleh yang bersangkutan. Kita sebenarnya terkecoh pandangan sendiri. Oleh karena itu mungkin ada baiknya-sebagai bahan perenungan-kita tafsirkan kembali apa sesungguhnya hakikat kekayaan, dan bagaimana memahaminya untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan jika dirasa relevan.
Galibnya, kekayaan tidaklah diartikan sebagai berapa banyak harta yang dimiliki, melainkan seberapa besar manfaat harta tersebut buat kita. Sebagai misal, umpamakan kita memiliki saham pada sebuah perusahaan. Tujuan investasi saham tersebut agar kita mendapat deviden setiap tahun dalam jumlah memadai. Akan tetapi, sebagai pemilik perusahaan, juga akan dihadapkan pada berbagai persoalan. Jika suatu ketika ada masalah hukum yang menimpa perusahaan, maka Anda sebagai pemilik diminta pertanggungjawaban, kendati sebenarnya tidak tahu menahu masalah yang dialami. Dengan kata lain, kepemilikan saham pada perusahaan yang tidak dikelola dengan benar, dapat menimbulkan masalah.
Itu contoh yang agak "tinggi". Bagaimana dengan contoh yang lebih "membumi"? Sebut saja, ditawari membeli rumah dengan harga "miring". Tergiur dan merasa bisa menambah kekayaan secara cerdas. Namun bukan tidak mungkin harga "miring" sebenarnya merupakan cerminan ada masalah pada rumah yang hendak dibeli. Ketika rumah tersebut benar-benar sudah dibeli, yang diperoleh bukan pertambahan kekayaan secara cerdas, melainkan tambahan masalah. Konkretnya, harta yang sudah beli tidak memberi manfaat lagi.
Contoh yang lebih sederhana. Coba lihat orang-orang yang selama 24 jam memburu kekayaan secara habis-habisan. Bisa jadi mereka sukses menambah harta. Namun coba lihat apakah orang tersebut bisa menikmati? Apakah jika ia memiliki mobil sebanyak, umpamakan 10 mobil, dapat dinikmatinya? Belum tentu. Artinya, kendati harta yang dimiliki banyak dan kekayaan berlimpah ruah, namun ia belum tentu mendapatkan manfaat. Tidak ada jaminan harta tersebut dapat dinikmatinya. Ini sekali lagi bukti hakikat kekayaan bukanlah pada jumlah harta yang dimiliki, melainkan bagaimana menikmati dan memberi manfaat kepada pemiliknya.
BERDASARKAN kisah di atas, tidak ada salahnya melihat kembali paradigma kebanyakan kita mengenai kekayaan, tentang harapan meningkatkan kekayaan dan sebagainya bertalian dengan kekayaan. Sebab, pada dasarnya, kaya atau tidak lebih mengacu pada "nilai" yang melekat pada diri setiap orang. Kalau merasa cukup, maka betapa pun sedikitnya harta kekayaan yang dimiliki, pasti mendapat manfaat dari harta tersebut. Sebaliknya, jika merasa tidak pernah cukup, sangat mungkin betapa pun melimpah harta yang dipunyai, kurang memberi makna bagi kehidupan. terkadang banyak tersesat atas keinginan yang banyak, bukan ha-hal yang menjadi kebutuhan.
Memang benar untuk mengimplementasikan "dogma" sebagaimana dipaparkan bukan pekerjaan mudah. Sebab, kita mesti rela mengubah cara berpikir. Namun, bukan tidak ada caranya. Beberapa cara yang dapat dipertimbangkan adalah: Pertama, pahami realitas yang ada pada diri sendiri saat ini. Hitung, berapa banyak harta dan penghasilan yang telah miliki, lalu pastikan realitas tersebut mesti memberi manfaat dalam kehidupan kita sendiri dan banyak orang lain.
Kedua, tanyakan pada diri, apa yang diinginkan dan harapkan dalam 10, 20 tahun atau sampai pensiun nanti. Dalam hal ini boleh bermimpi memiliki harta 10 kali lipat atau bahkan lebih dibanding yang dimiliki saat ini. Namun mesti diingat, mimpi itu harus sesuatu yang masuk akal dapat diraih, dan sekali lagi, pastikan perolehan harta itu nantinya lebih memberi manfaat ketimbang munculnya masalah baru dalam kehidupan.
Ketiga, ubah cara hidup. Jika selama ini merasa "kurang" terus, itu lebih merupakan konstelasi berpikir dan nilai yang dianut. Dengan kata lain, interpretasi merasa "kurang" sebenarnya bisa menjadi "cukup" jika menganggapnya "cukup". Sebaliknya, andaikata harta berlimpah ruah, coba pikirkan, apakah semua itu merupakan tujuan hidup kita? Jangan-jangan kita tidak tahu untuk apa semua harta tersebut. Oleh karena itu, coba dikaji kembali manfaat yang hakiki dari kepemilikan harta. Kita akan merasa lebih menikmati hidup nantinya.*
Selamat menjalankan pembelajaran dari sahabat dan orang-orang sekitar kita, bagaimana mereka menggunakan harta yang diberikan sang pencipta sebaik mungkin untuk mensejahterakan banyak orang.
Tetap belajar dan berbagi untuk Indonesia Lebih BAIK. Wicaksana, Nawi 2014
Komentar