Semangat Pagi
Sobat Profesional...
Tidak ada
yang gratis dalam hidup ini. Semua harus diperjuangkan. Ongkos setiap
perjuangan tergantung kondisi yang anda inginkan. Untuk mencapai puncak gunung
harus melalui empat kondisi jalan. Apabila anda tidak bisa melalui empat
kondisi jalan ini maka jangan harap anda akan sampai dipuncak gunung dengan
kedamaian dan rasa syukur.
Jika dikatakan
perjuangan, bukan hal atau sesuatu yang ”tidak memiliki tujuan”..., namun seuah
PERJUANGAN pasti memiliki TUJUAN yang jelas. Sehingga dengan sadar dalam
pencapaian tujuannya tersebut. Hal ini akan mendatangkan KEKUATAN dalam
perjuangan. Seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Seperti
pembangunan BOROBUDUR yang memakan waktu hampir 1 abad atau sebanyak kurang
lebih berganti 20 raja dalam kurun waktu tersebut. Bukan KEAJAIBAN namun sebuah
KOMITMEN dalam mewujudkan candi tersebut.
Walaupun kata
KOMITMEN yang saat ini digunakan adalah merupakan bahasa serapan dari bahasa
asing ”to commit” bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki budaya
tersebut. Kenapa saya memiliki pendapat tersebut, salah satu produk budaya
adalah bahasa, dan yang terkecil adalah kata. Jika komitmen di dapatkan dari
bahasa serapan. Tandanya kita, bangsa Indonesia, tidak memiliki budaya
(komitmen) tersebut. Namun saya melihat lain, bangsa Indonesia memiliki itu,
entah kata apa yang tepat dari bahasa Indonesia untuk dapat menggambarkan kata
komitmen tersebut. Fenomena lain terkait keteguhan hati dalam perjuangan dapat
dilihat dari sang patih Gajah Mada, yang bertekad untuk menyatukan nusantara.
Kuncinya adalah Tujuan yang jelas sehingga dapat menentukan arah dan pilihan
yang harus diambil selama perjuangan yang akan dilakukan.
Pertama ”Jalan Mendatar”. Sebelum mendaki maka akan
melewati jalan mendatar di tengah hutan belantara. Bisa saja memilih jalan yang
sudah dilalui orang lain dimana semua sudah terdapat jejaknya dan tentu saja
aman. Atau dapat memilih jalur lain namun harus bersiap menerima resiko
kehilangan arah atau dimangsa binatang buas. Di dalam hutan banyak sekali jebakan
yang bisa membuat jatuh dan bahkan tidak dapat sampai ke tujuan kita. Semua
tergantung PILIHAN!. Sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keyakinan dalam
berjalan dalam pilihan. Yang pasti sukses adalah kualitas diri. Apakah ingin
hidup sebagai follower atau sebagai inovator dan creator. Kisah menarik yang
saya alami terkait dengan sebuah pilihan, yaitu absensi pada sahabat mahasiswa
saya. Secara sadar dirinya telah tidak hadir kuliah lebih dari jumlah yang
telah ditentukan. Ia mengetahui benar konsekuensi akan tidak bolehnya dirinya
untuk mengikuti ujian pada saat itu karena absensinya melebihi batas yang telah
ditentukan. Namun saya terharu, ia tetap hadir untuk mendukung teman-temannya
dalam ujian. Karena ujiannya merupakan hasil kerja kelompok dan dirinya merasa
bertanggungjawab untuk dapat menghantarkan kelompoknya mendapat nilai yang
baik. Itu sebuah PILIHAN, hal itu ia sadari dengan konsekuensi tetap tidak
lulus karena absensi namun ia tahu bahwa perjuangan sesungguhnya adalah bukan
masalah lulus atau tidak lulus namun BELAJAR yang ia tuju.
Kedua “ Jalan Mendaki “. Untuk mencapai
puncak maka harus menguatkan otot dan bahu untuk mendaki. Jika berlari akan
menguras energi sendiri. Sementara jarak menuju puncak tidak diketahui dengan
pasti. Jika bicara energi akan sangat erat hubungannya dengan emosi. Artinya harus
mempunyai emosi yang terkendali dalam mencapai dan dapat melihat puncak gunung.
Dalam mendakipun harus rela untuk berhenti barang sejenak bila memang lelah.
Bila kehilangan arah maka cobalah berhenti barang sejenak. Pandanglah langkah
yang sudah terlewati, tataplah puncak gunung itu. Kemudian pikirkan dan analisa
langkah yang telah dilalui. Banyak gunung semua memiliki tinggi yang berbeda.
Sesuaikan kadar kemampuan diri dan tentukan mana puncak yang akan diraih terlebih
dahulu maka itu adalah BIJAKSANA. Cerita kaum sufi menyebutkan tentang seekor
bakicot merayap mendaki pohon murbay yang sangat tinggi. Sang burung
mentertawakan Bakicot sambil berteriak “ Hai Bakicot apa yang engkau lakukan.
Pohon murbay ini tidak sedang tidak berbuah dan berdaun karena musim gugur. Dan
lagi sampai kapan anda akan tiba dipuncak pohon ini. “ Bakicot dengan tenang
terus merayap pohon itu dan menjawab “ Saya tahu pohon ini sedang tidak berbuah
dan berdaun tapi setidaknya ketika musim semi datang , saya sudah sampai
dipuncak pohon untuk memakan daun murbai.” Untuk mencapai puncak tidak hanya
dibutuhkan kekuatan fisik dan fasilitas yang tersedia tapi lebih dari pada itu
adalah kemampuan melihat dari tabir kegegelapan. Melihat dengan kekuatan hati.
Itu semua bersumber dari satu sikap “ SABAR dan ikhlas. “ itu yang disebut
dengan MENTALITAS. Jika ditanyakan pada banyak orang, apakah jika ada rencana
membuat BOROBUDUR 2 yang memiliki bentuk desain yang serupa apakah hal ini
mungkin terjadi dengan kondisi teknologi yang ada pada saat ini ? pasti akan
menimbulkan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Saya memiliki pandangan bisa ”ya” dan
bisa ”tidak”. Dikatakan ”ya”, teknologi saat ini disertai biaya yang cukup
sangat memungkinkan membuat BOROBUDUR 2, namun dikatakan ”tidak” terkait
mentalitas dalam mewujudkan sebuah bangunan yang memiliki kualitas seperti yang
aslinya. Sehingga dalam bagian kedua ini pada jalan mendaki, selain fisik dan
fasilitas, MENTALITAS mengambil peran utama dalam keberhasilannya mencapai
puncak.
Ketiga “ Jalan melereng “. Ketika mendaki ,
maka kondisi yang tidak bisa dihindari adalah jalan melereng ( jalan melingkar)
mengitari tebing gunung. Disekitar terdapat jurang yang sangat dalam. Semakin
tinggi puncak gunung yang hendak dicapai maka semakin dalam jurang yang ada
disamping jalan yang dilalui. Di lereng gunung ini , selalu jalannya lincin. Tergelincir
adalah resikonya . jalan mencapai puncak memang mengharuskan menempuh jalan
berliku. Memang sangat menyakitkan bila harus terjatuh namun harus bangkit
untuk mencoba lagi dan mencoba lagi. Yang pasti kesuksesan itu adalah reward
terindah dari perjuangan tanpa lelah. Sikap hati - hati dan bijaksana
mengendalikan emosi meredam ego adalah sangat penting bila anda ingin selamat
sampai dipuncak. Karena masing-masing diri kita mengetahui apa yang menjadi
TUJUAN yang ingin dicapai. Bisa dibayangkan jika menjadi pribadi yang tanpa
tujuan dalam kehidupannya. Selalu dalam kebingungan dan keraguan dalam setiap
keputusannya. Hal ini jugalah yang akan menentukan Adversity Quotient (AQ) diri
kita. Apakah kita seorang yang ”Quitter”, melihat susahnya perjalanan yang akan
ditempuh,mungkin baru ia dengar dari rekannya saja, hati sudah kecut dan akan mengurungkan
niat untuk melakukan perjalanan. Sedangkan yang berikutnya adalah tipe ”Campper”,
yaitu tipe pribadi yang baru sedikit dapat kesulitan memutuskan untuk berhenti,
karena tidak tahu apa yang akan dituju. Dan terakhir adalah tipe ”Climbber”
yaitu tipe pribadi yang digambarkan sebagai pribadi yang fokus terhadap tujuan
sehingga mengarahkan emosi, energi, potensi diri dalam mencapai tujuan. Apapun resikonya,
dapat melihat kebaikan apa yang menjadi tujuannya tersebut.
Keempat “ Jalan menurun “ Ketika telah berhasil
sampai di puncak maka tidak ada yang dapat dirasakan kecuali puas. Bahwa perjalanan
ini telah menjadi bagian dari sejumlah orang yang berhasil mencapai puncak
dengan melewati berbagai tantangan. Banyak pula yang gagal mencapai puncak.
Berhenti sebatas lereng gunung. Tetapi lambat atau cepat harus ikhlas untuk
turun. Jalan menurunpun tidaklah mudah. Ia membutuhkan kekuatan emosi dan
kesabaran mengitari lereng gunung dan menghadapi dalamnya jurang kehidupan.
Rasa ”PUAS” ini merupakan hal yang harus diwaspadai menjadikan diri menjadi
lengah dan mudah tergelincir pada saat di atas ataupun ketika perjalanan turun
harus ia lakukan.
Banyak orang
hanya melihat dan berhasrat meraih keindahan puncak gunung tapi tidak siap
melewati pendakian dan menyusuri lereng gunung. Yang mereka lakukan adalah
melakukan jalan pintas. Menyogok untuk menjadi pemenang. Menjilat agar mendapat
jabatan. Berjudi agar cepat kaya. Merampok , korupsi agar cepat sukses. Inilah gambaran
pribadi-pribadi yang memaknai hidup sebagai ”BERADAPTASI” bukan sebagai seorang
yang ”CREATOR”. Bila mereka telah dipuncak dengan cara ini maka tentupula akan
tidak siap bila harus turun. Karena tidak pernah tahu cara untuk turun. Mereka
tidak pernah dapat menarik hikmah kemanusiaan dari keberadaannya di puncak
karena mereka melangkah di uar hukum alam. Naik cepat dan turunpun cepat dan
biasanya bukan turun secara alami tapi terjun bebas!....
Kehidupan yang sedang kita lalui ini adalah tidak lebih sama.
Semua kita melalui proses mencapai puncak walau puncaknya berbeda - beda kadar
ketinggiannya pada masing masing orang. Tergantung dengan tujuan kehidupan
masing-masing orang dan juga seberapa kaya dalam memaknai kehidupan yang
dilaluinya. Semakin tinggi puncak yang hendak dicapai maka semakin besar pula
tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar , mendaki , melereng dan akhirnya
harus turun dari puncak. Hukum alam tidak dapat dihindari. Penolakan atau
mencoba memanipulasi hukum alam akan menimbulkan pradox , kehancuran bagi diri
kita sendiri juga bagi kehidupan umat manusia di planet bumi ini. Kakek saya
mengingatkan “alam terbentang menjadi guru”. Makna dari ungkapan ini adalah
raihlah keberhasilan dengan banyak membaca , melihat dan mendengar karena beban
untuk mu sudah menanti “menjadi rahmat
bagi alam semesta” – dengan PERBUATAN !
Tetap bentangkan optimisme…untuk 1ndONEsia lebih baik…dimulai dari
diri kita sendiri! (wicaksana, 2012)
Komentar