Para pemuda yang berkumpul di Jakarta tanggal 28 Oktober 1928
memiliki kesadaran bersama tentang masa depan. Mereka menyadari transformasi
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern mulai terjadi di Nusantara.
Pendidikan sebagai kendaraan menuju kemajuan mulai menyebar di
bangsa ini. Para pemuda sadar, mereka masih tersekat kebhinekaan. Tantangan mereka
adalah meruntuhkan sekat-sekat pembeda. Kebhinekaan disatukan dalam basis yang
lebih luas, basis kebangsaan. Ada kesadaran baru, suku-suku bangsa di Nusantara
ini akan meraih masa depan gemilang jika bisa mereka menemukan rumus sederhana
untuk semua. Persatuan dan kebersamaan adalah rumusan itu. Keputusan untuk menggunakan
bahasa bersama, yaitu bahasa Indonesia, adalah keputusan jenius. Hingga hari
ini, banyak urusan bangsa menjadi sederhana karena bahasa yang diterima seluruh
rakyat.
Dunia internasional sering terpukau menyaksikan pluralitas bangsa
penghuni sekitar 5.000 pulau yang merentang sepanjang khatulistiwa, yang
memiliki 250 lebih bahasa dan dialek, terdiri 1.000 lebih etnis dan subetnis.
Sebuah bangsa yang hiperplural, tetapi bisa hidup berdampingan
secara—relatif—damai.
Polarisasi, friksi, bahkan konflik antara berbagai komponen bangsa
memang tidak absen. Konflik sering terjadi. Meski demikian, seburuk-buruknya konflik
di Indonesia, pada saat harus duduk semeja berdialog dan merundingkan
kepentingannya, mereka berkomunikasi tanpa penerjemah, duduk menyelesaikan
konflik dengan menggunakan bahasa bersama, bahasa Indonesia. Sebuah bukti
kesadaran sebangsa yang luar biasa, sebuah bukti kejeniusan para pemuda di
tahun 1928.
Di berbagai belahan dunia lain situasi ini absen. Bahkan, di
negara-negara maju dan modern yang mengalami proses federalisasi atau unifikasi
salah satu problem utama yang sulit diselesaikan adalah kesepakatan rakyat
(bukan kesepakatan formal negara) atas sebuah bahasa bersama.
Kesadaran perlunya instrumen pemersatu kebhinekaan adalah fondasi
terwujudnya satu negara. Kemampuan membaca perubahan zaman itu diterjemahkan
dengan besarnya optimisme anak-anak muda tentang masa depan bangsanya.
Diperlukan 17 tahun, sejak deklarasi sebangsa 28 Oktober 1928 hingga deklarasi
Republik Indonesia. Selama 17 tahun itu, usaha meraih kemerdekaan dipertahankan
dengan optimisme kolektif. Optimisme bahwa kemerdekaan akan tercapai dan
menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang adil dan makmur.
Optimisme bangsa
Saat meraih kemerdekaan, mereka dihadapkan kenyataan menyesakkan,
kemelaratan merata dan keterbelakangan. Negara tidak punya anggaran.
Infrastruktur ekonomi runyam. Melihat potret bangsa dan negara yang parah itu,
persyaratan untuk pesimistis menjadi lengkap dan sah. Namun, anak-anak muda dan
pendiri republik justru optimistis, bangsa ini bisa meraih janji kemerdekaannya,
menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera. Optimisme itu digelorakan dan
dibentangkan sehingga menular menjadi optimisme kolektif bangsa. Rakyat seluruh
negeri—meski melarat dan tak terdidik—ikut optimistis atas masa depan,
sebagaimana optimisme para pemimpinnya.
Kini, 84 tahun setelah deklarasi Sumpah Pemuda, ada keprihatinan
atas melorotnya optimisme kolektif bangsa. Belakangan ini diskusi tentang Indonesia
sering diwarnai perasaan suram. Dalam berbagai forum, di hotel berbintang
hingga obrolan di warung kopi, diwarnai keluh kesah. Gelembung semangat yang
dulu dikagumi di Asia bahkan dunia, kini seolah kempes. Bangsa ini sedang
dilibas pesimisme kolektif. Bahasa
bersama adalah bahasa pesimistis. Kondisi ini benar-benar tidak
sehat.
Kini, meski persyaratan untuk optimistis tersedia, tetapi bangsa
ini justru tenggelam dalam pesimisme. Pesimisme kolektif itu muncul dan subur, antara
lain disebabkan krisis ekonomi, krisis politik dan transisi politik
berkepanjangan. Ditambah minimnya teladan pemimpin membuat bangsa ini serasa
disoriented. Sebagian media—sadar atau tidak—menjadi mesin pengganda opini yang
menciutkan optimisme. Berita televisi menghujani masalah, masalah, dan masalah
ke seluruh negeri. Padahal, berita televisi itu powerful dalam memengaruhi
pikiran, perasaan, dan perilaku kolektif.
Sadar atau tidak, bangsa ini merusak diri sendiri, ada semacam
self-defeating mechanism. Bahkan, self-fulfilling profecy, kegagalan terjadi
karena secara kolektif kita memprediksi akan gagal. Situasi pesimistis juga
muncul karena kegagalan membedakan sikap kritis dengan sikap pesimistis, juga
gagal membedakan sikap optimistis dengan mendukung pemerintahan. Ada kesan jika
optimistis, berarti mendukung pemerintah. Sebaliknya, jika pesimistis berarti
kritis kepada
pemerintah. Menyamakan sikap pesimistis dengan kritis adalah
kekeliruan fatal.
Harus berubah
Dalam kondisi demikian, bangsa Indonesia harus berubah, harus bisa
kritis tetapi tetap optimistis. Bangsa ini perlu fokus pada inspirasi tentang kemajuan,
bukan ilustrasi kegagalan dan kekacauan. Bangsa Indonesia perlu memiliki
perasaan kolektif positif untuk maju dan berkembang. Di sinilah pentingnya
pemuda dan pemimpin bangsa sadar pentingnya optimisme. Pesimisme dikubur,
munculkan optimisme.
Anak-anak muda dan pemimpin di berbagai sektor dan segala strata
harus menjadi motor tumbuhnya optimisme. Sudut pandang dalam setiap realita
yang dihadapi harus diubah. Realitas bangsa dipandang dengan kacamata
optimisme. Hadapi tantangan sebagai peluang untuk kemajuan, bukan masalah untuk
keluh kesah dan mencari kambing hitam. Media pun perlu menggadakannya agar
menjadi optimisme kolektif.
Janji kemerdekaan telah lunas dibayar pada sebagian bangsa
Indonesia. Tetapi itu bukan berarti keluh kesah bagi yang belum menerima janji kemerdekaan
seperti kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan. Kini saatnya Bangsa Indonesia
bekerja lebih keras untuk melunasi janji kemerdekaan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sumpah Pemuda 1928 membalikkan semangat kesukuan menjadi kebersamaan
sebuah bangsa. Dimasa yang akan datang, bangsa ini harus membalikkan pesimisme
menjadi optimisme. Masa depan gemilang seperti janji kemerdekaan hanya bisa
diraih melalui optimisme kolektif. Kini saatnya membentangkan kembali optimisme
kolektif bangsa ini. (Anies Baswedan)
Komentar