Ditulisan sebulumnya telah dituliskan mengenai kegagalan dan menyikapinya. Disini akan saya uraikan pandangan yang mengatakan "gagal itu penting". Dengan berbagai contoh nyata, saya berusaha mengajak anda untuk menyikapi kegagalan secara lebih 'proporsional' dalam arti tidak melulu bermakna negatif. Sebaliknya kegagalan justru bermakna sangat positif jika dipahami dengan menggunakan akal dan nurani yang sehat.
Kegagalan menjadi sesuatu yang benar-benar penting dan kita perlukan jika kita dapat memahami hal-hal berikut :
*. Pertama, kita belum gagal, kecuali bila kita memutuskan untuk berhenti berusaha (Contoh: Colonel Sanders, Werner von Braun, dan Zainal Arifin).
*. Kedua, kita belum gagal jika masih ada hari esok yang memungkinkan kita untuk mencoba lagi (Contoh : Kuntoro Mangkusubroto, Cacuk Sudarijanto, William Soeryadjaya, A.H. Nasution, dan Goenawan Muhammad).
*. Ketiga, kita belum gagal jika kita menerima kebelumberhasilan sebagai umpan balik (feedback) untuk memfokuskan usaha selanjutnya (Contoh: Ade Padillah).
*. Keempat, kita belum gagal jika kebelumberhasilan kita tanggapi dengan selera humor yang tinggi (Contoh: Gus Dur dan Cak Nur).
*. Kelima, kita belum gagal, jika kebelumberhasilan kita anggap bagian dari pengalaman hidup untuk lebih bijak, beriman dan bertakwa.
*. Keenam, kita belum gagal bila kebelumberhasilan kita terima sebagai jalan yang memang harus dilalui untuk sampai pada suatu berhasil (Contoh: Thomas Alva Edison dan Walt Disney).
*. Ketujuh, kita belum gagal, jika kita sadar bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, kegagalan pun tidak.
Lewat pemahaman seperti itu, kita dapat belajar untuk menyikapi kegagalan tanpa harus menjadi putus asa atau kehilangan harapan. Bahkan lebih dari itu, kegagalan--seperti juga kemiskinan dan kebodohan yang disadari--dapat menjadi pemicu semangat dan pembangkit motivasi juang.
Bagi saya sendiri, yang terpenting dari suatu pengalaman--entah itu disebut kegagalan ataupun keberhasilan, dan baik yang dialami sendiri atau pun dipetik dari orang lain--adalah apa yang bisa kita pelajari dari hal itu. Dan sepanjang kita belajar sesuatu, maka pengalaman itu menjadi penting. Pengalaman yang tidak membuat kita belajar, itulah satu-satunya hal yang saya anggap kegagalan yang sesungguhnya.
Dengan menawarkan "cara" memaknai kegagalan (juga 'kesalahan') seperti di atas, saya sesungguhnya mengajak anda untuk menggunakan potensi dirinya sebagai homo significant (mahluk pemberi makna). Hal ini merupakan salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan binatang. Binatang tidak bisa, dan memang tidak diciptakan dengan kemungkinan untuk mampu memberikan makna terhadap peristiwa yang dialaminya. Binatang tidak mempunyai the power of choice sebab mereka tidak memiliki kesadaran diri, tidak memiliki iman dan nurani, tidak memiliki akal budi, tidak mampu berimajinasi, dan seterusnya.
Ada cerita tentang seekor anak gajah yang diikat kakinya dengan rantai besi yang dililitkan pada sebuah pohon besar. Awalnya, gajah itu berusaha melepaskan diri berulang kali, sampai akhirnya 'sadar' bahwa usahanya itu sia-sia belaka. Setelah cukup lama, lilitan pada pohon itu dilepaskan, meski rantainya tetap menempel di kaki sang gajah. Apa yang terjadi? Anak gajah itu tetap ditempatnya. Ia terpenjara oleh pengalaman masa lalunya (semacam trauma psikologis). Ia dibelenggu oleh 'kegagalannya'.
Manusia bukan gajah. Namun, bila pengalaman negatif (yakni kegagalan) di masa lalu membelenggu hidupnya, maka ia dapat 'menyerupai' gajah tersebut. Sebab bila seseorang sudah bebas (masa lalu sudah lewat, bukan?) tetapi merasa masih terbelenggu oleh banyak trauma masa lalu, maka bagaimana mungkin ia dapat bergerak maju ke arah yang diinginkannya?
Semoga bermanfaat.
wicaksana, 2008
Kegagalan menjadi sesuatu yang benar-benar penting dan kita perlukan jika kita dapat memahami hal-hal berikut :
*. Pertama, kita belum gagal, kecuali bila kita memutuskan untuk berhenti berusaha (Contoh: Colonel Sanders, Werner von Braun, dan Zainal Arifin).
*. Kedua, kita belum gagal jika masih ada hari esok yang memungkinkan kita untuk mencoba lagi (Contoh : Kuntoro Mangkusubroto, Cacuk Sudarijanto, William Soeryadjaya, A.H. Nasution, dan Goenawan Muhammad).
*. Ketiga, kita belum gagal jika kita menerima kebelumberhasilan sebagai umpan balik (feedback) untuk memfokuskan usaha selanjutnya (Contoh: Ade Padillah).
*. Keempat, kita belum gagal jika kebelumberhasilan kita tanggapi dengan selera humor yang tinggi (Contoh: Gus Dur dan Cak Nur).
*. Kelima, kita belum gagal, jika kebelumberhasilan kita anggap bagian dari pengalaman hidup untuk lebih bijak, beriman dan bertakwa.
*. Keenam, kita belum gagal bila kebelumberhasilan kita terima sebagai jalan yang memang harus dilalui untuk sampai pada suatu berhasil (Contoh: Thomas Alva Edison dan Walt Disney).
*. Ketujuh, kita belum gagal, jika kita sadar bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, kegagalan pun tidak.
Lewat pemahaman seperti itu, kita dapat belajar untuk menyikapi kegagalan tanpa harus menjadi putus asa atau kehilangan harapan. Bahkan lebih dari itu, kegagalan--seperti juga kemiskinan dan kebodohan yang disadari--dapat menjadi pemicu semangat dan pembangkit motivasi juang.
Bagi saya sendiri, yang terpenting dari suatu pengalaman--entah itu disebut kegagalan ataupun keberhasilan, dan baik yang dialami sendiri atau pun dipetik dari orang lain--adalah apa yang bisa kita pelajari dari hal itu. Dan sepanjang kita belajar sesuatu, maka pengalaman itu menjadi penting. Pengalaman yang tidak membuat kita belajar, itulah satu-satunya hal yang saya anggap kegagalan yang sesungguhnya.
Dengan menawarkan "cara" memaknai kegagalan (juga 'kesalahan') seperti di atas, saya sesungguhnya mengajak anda untuk menggunakan potensi dirinya sebagai homo significant (mahluk pemberi makna). Hal ini merupakan salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan binatang. Binatang tidak bisa, dan memang tidak diciptakan dengan kemungkinan untuk mampu memberikan makna terhadap peristiwa yang dialaminya. Binatang tidak mempunyai the power of choice sebab mereka tidak memiliki kesadaran diri, tidak memiliki iman dan nurani, tidak memiliki akal budi, tidak mampu berimajinasi, dan seterusnya.
Ada cerita tentang seekor anak gajah yang diikat kakinya dengan rantai besi yang dililitkan pada sebuah pohon besar. Awalnya, gajah itu berusaha melepaskan diri berulang kali, sampai akhirnya 'sadar' bahwa usahanya itu sia-sia belaka. Setelah cukup lama, lilitan pada pohon itu dilepaskan, meski rantainya tetap menempel di kaki sang gajah. Apa yang terjadi? Anak gajah itu tetap ditempatnya. Ia terpenjara oleh pengalaman masa lalunya (semacam trauma psikologis). Ia dibelenggu oleh 'kegagalannya'.
Manusia bukan gajah. Namun, bila pengalaman negatif (yakni kegagalan) di masa lalu membelenggu hidupnya, maka ia dapat 'menyerupai' gajah tersebut. Sebab bila seseorang sudah bebas (masa lalu sudah lewat, bukan?) tetapi merasa masih terbelenggu oleh banyak trauma masa lalu, maka bagaimana mungkin ia dapat bergerak maju ke arah yang diinginkannya?
Semoga bermanfaat.
wicaksana, 2008
Komentar