Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum dan Semangat Pagi
Sobat Indonesia...
Begitu cepatnya sang waktu
bergulir, menghujam kepekaan nurani untuk memaknai setiap peristiwa yang
melintasi kehidupan ini. Desahan panjang mengiringi alam pikiran untuk mencari
sebuah makna. Sudah hampir 12 tahun saya dan Humanika Consulting ada dalam
percaturan konsultan lokal di Indonesia. Menyandang nama lokal terasa seperti
terasingkan di tengah hiruk pikuknya brand perusahaan internasional atau
katanya dunia. Hmmmm...namun saya dan tim memiliki rasa yang berbeda akan
ke-lokal-an yang kami miliki. Pada malam ini, terlintas untuk membahas konsep “konsumen
adalah raja atau konsumen adalah tamu?”
Selama ini dari ilmu yang saya
pelajari dan contoh-contoh (benchmark), konsep konsumen adalah raja itu yang
sangat melekat dalam benak dan pikiran saya. Sehingga apapun yang mereka
(konsumen) inginkan “harus” saya ikuti! Maklum raja...siapa yang tidak kenal
kekuasan raja yang tidak terbatas! Saya hanya menghamba dan mengikuti maunya
sang Raja. Saya kok merasa ada yang kurang gathok (pas) dengan pemahaman dan
penerapan konsep ini. Saya merasa takut kehilangan konsumen saya, walau mereka
salah...saya tetap melayaninya, dengan harapan mendapatkan “sesuatu” dari
melayaninya ini. Dengan konsep ini saya merasa menjadi diri yang inferior dan
tidak sanggup melantangkan kebenaran, diam dan terbujur kaku!
Sore yang dilingkupi hujan yang
cukup deras dibilangan cilandak, jakarta. Saya bertemu senior saya yang juga
pernah jadi klien saya, ia bersama rekan yang tergabung dalam komunitas
Indonesiana. Obrolan sore ini membuat saya tersadar akan banyak hal terhadap
konsep-konsep lokal yang telah jauh ditinggalkan oleh saya. Seperti konsep
konsumen adalah raja. Haduuuh....saya benar-benar harus banyak belajar dalam
memahami konsep luhur lokal yang dimiliki oleh nusantara ini. Dimana konsep
konsumen ini dimaknai cara pandanganya bahwa “konsumen adalah tamu”...Luar
Biasa ! merubah paradigma ini membuat bulu kuduk saya merinding....betapaaaa
sangat luhurnya memandang konsumen dari sudut pandang tamu bukan raja.
Kenapa konsumen bisa menjadi tamu
ya?...konsumen itu bisa didapatkan dengan cara mencarinya atau jika brand sudah
dikenal, konsumen yang akan mencarinya. Namun di kedua hal tersebut memiliki
makna “trust”, artinya kalau mereka membeli produk atau menggunakan jasa kita,
ada hal yang menarik dari kita yang membuat mereka bekerjasama atau “bertamu”
dengan kita. Mereka (konsumen) memandang adanya sesuatu yang unik dan menjadi
kebutuhan mereka yang ada dalam diri kita. Dari pemahaman kaca mata saya,
adanya kesetaraan transaksi dan saling menguntungkan atas azas kepercayaan.
Berbeda dengan konsep konsumen adalah raja. Dengan konsep ini, kita hanya
sebagai budak yang memenuhi bukan saja kebutuhan bahkan hingga nafsunya pun
ikut kita bantu untuk pemenuhan kepuasannya. Tidak heran dengan konsep konsumen
adalah raja ini, banyak mendatangkan mudhorat atau keburukan bagi pelaku-pelaku
usaha dan konsumennya itu sendiri dan juga sosial serta lingkungan. Karena sifanya
bukan kesetaraan namun eksploitasi.
Indahnya dengan konsep “konsumen
adalah tamu”. Tidak perlu memaksakan hal-hal yang tidak kita punya untuk
memberikan layanan terbaik untuk mereka (konsumen). Justru mereka datang untuk
menemui kita karena “sesuatu” yang bagi mereka akan sangat bermanfaat bagi
mereka sendiri. Nah tugas bagi yang menerima tamu inilah yang harus
mengembangkan kegembiraan dimana kedatangan tamu adalah mendatangkan rezeki
bagi kita. Saya ingat ketika saya besar di daerah saya di kediri, Jawa Timur,
ketika kehadiran tamu, saya sangat bergembira sekali menyambutnya, walau itu
bukan tamu saya...hehehe. Tapi bener lho...kegembiraan itu berbalas kegembiraan
lainnya, ketika tamu itu datang lagi...ia selalu membawa makanan atau mainan
yang saya suka.
Saya perhatikan orang tua saya
ketika mereka kedatangan tamu, saat itu kami hanya memiliki air putih saja. Namun
orang tua saya, selalu memanaskan air putih itu. Saya bertanya ringan, bukannya
airnya sudah matang dan kenapa harus dipanaskan lagi?. Orang tua saya
menjawabnya sangat sederhana, “wedange panas ki ben tamune ki ra cepet-cepet
bali, le” artinya air panas ini membuat tamu kita tidak cepat-cepat
pulang. Hanya memberikan air putih. Namun
bagaimana cari memberikan bersikap dari mengetuk pintu, mengucap salam, dan
mempersilakan masuk...semuanya begitu agung dan sakral.
Saya kembalikan pada konsep
konsumen yang diperlakukan layaknya tamu, Aha !...menjadikan apa saja yang kita
lakukan dalam kehidupan adalah ibadah...sungguh nikmat sekali. Kesetaraan inilah yang menimbulkan sinergi
antara tamu dan tuan rumahnya. Hangat dan menyenangkan...
Indahnya kearifan lokal
nusantara...hal ini membuktikan betapa luar biasanya budaya dan peradaban yang
dimiliki bangsa ini, semoga kita dapat menjaga dan melestarikannya serta
mengembangkannya untuk dunia..yang lebih baik...untuk Indonesia!
Wicaksana, 2015
Komentar