Dalam sebuah perusahaan tentu karyawan dituntut untuk dapat memberikan kinerja terbaik pada perusahaan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Tetapi kompetensi saja tidak cukup agar karyawan dapat memberikan kinerja terbaiknya dalam pekerjaannya.
Selain kompetensi, komitmen kerja bagi karyawan, dosen, guru, pegawai ataupun pekerja juga diperlukan agar mereka memberikan hasil terbaik bagi organisasi atau perusahaan. Kompetensi tanpa komitmen sama dengan sebuah pistol berpeluru tetapi tidak bisa ditembakkan.
Seseorang yang tidak memiliki komitmen, sebenarnya ia ahli dalam bidangnya (competent) namun ia bekerja dengan setengah hati. Karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan bekerja secara total, mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya, ia mengerjakan apa yang diharapkan oleh perusahaan.
Menurut Spector (2000) dalam Setiawati (2007), secara umum, komitmen kerja melibatkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya. Komitmen kerja merupakan sebuah variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi.
Menurut Hatmoko (2006) dalam Amilin, 2008, Komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi.
Greenberg dan Baron (1993) dalam Setiawati (2007) mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dalam pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa komitmen merupakan bagian yang terkait dengan kinerja karyawan dalam hubungannya dengan pekerjaannya. Dalam sebuah komitmen juga memiliki unsur atau komponen yang saling berhubungan. Ketika semua komponen terpenuhi maka semakin besar komitmen karyawan dalam pekerjaannya. Menurut Meyer, Allen & Smith (Setiawati : 2007), komitmen organisasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
1. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment)
Komitmen sebagai ketertarikan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka menginginkannya.
2. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment)
Mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.
3. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment)
Komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar dan berkaitan dengan moral.
Tidak semua komponen di atas dimiliki oleh karyawan, tetapi lebih baik lagi jika ketiga komponen tersebut dimiliki oleh karyawan. Sebagai contoh, ketika komponen affective occupational commitment lebih dominan maka karyawan tersebut merasa lebih cocok dengan bidang pekerjaannya, baik itu secara emosional maupun kesesuaian antara karakteristik pekerjaan dengan dirinya.
Ia merasa bahwa pekerjaannya sesuai dengan bidang pendidikannya, hobinya, tujuannya, kebersamaan, kenyamanan dan lain-lain. Tetapi jika karyawan tidak pernah diberikan pengembangan pengetahuan dan skill melalui seminar, training dll. Maka dapat menimbulkan kurangnya komponen normative occupational commitment dan dapat juga mempengaruhi kinerja dibandingkan dengan karyawan yang memiliki tingkat komitmen yang setara.
Daftar Pustaka
Setiawati, Devi, Zilkaida, Anita. 2007. Perbedaan Komitmen Kerja Berdasarkan Orientasi Peran Gender Pada Karywan Di Bidang Kerja Non Tradisional. Proceeding PESAT Vol.2
Amilin, Dewi, Rosita. 2008. Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Akuntan Publik dengan Role Stress sebagai Variabel Moderating. JAAI Vol. 12 No.1
Komentar