Akar pokok problematika keindonesiaan saat ini bercabang
tiga. Pertama, telah dipaksakan suatu ”transplantasi (demokrasi) liberal” di
negeri ini. Dengan demikian, kita telah membunuh ”gen” keindonesiaan yang
mengalir dalam darah kebangsaan kita. ”Golongan darah” kita adalah Pancasila
yang mengandung ”gen” kolektivisme (ala Indonesia) berisi nilai kekeluargaan,
gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi.
Sementara kita transplantasikan ”demokrasi liberal” yang
golongan darahnya individualisme, terlebih disertai dengan kebebasan yang
nyaris tanpa batas sehingga melunturkan jati diri bangsa dan spirit
nasionalisme, menggoyahkan persatuan dan kerukunan, serta mengebiri kedaulatan
negara.
Karena transplantasi yang tidak sesuai dengan ”golongan
darah” sendiri tersebut, tubuh bangsa kita pun bersikap reaktif dan menjadi
lemah daya tahannya, menimbulkan berbagai patologi sosial, serta problematika
bangsa yang kompleks.
Dari segi politik, sistem politik yang ”ultraliberal”, menggunakan
voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan
yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia.
Bung Hatta menegaskan bahwa ”Prinsip demokrasi adalah
keterwakilan yang mengedepankan egalitarianisme”, sementara praktik demokrasi
liberal yang mengusung ”keterpilihan” dewasa ini justru ”membunuh” prinsip
egaliter dan keterwakilan itu.
Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Amungme, Dani,
Baduy, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara
”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara
pemilihan free fight). Keterwakilan juga merupakan perekat bagi bangsa yang
serba majemuk seperti Indonesia. Dengan tidak terwakilinya berbagai suku dan
golongan di parlemen, ikatan kebangsaan pun menjadi longgar.
Seiring dengan watak liberalisme, kebebasan pun berkembang
nyaris tanpa batas sehingga masyarakat bisa berbuat apa saja. Partai politik
tumbuh bagaikan jamur, otonomi daerah dengan semangat pemekaran nyaris tidak
terkontrol, feodalisme meningkat, dan nafsu berburu kekuasaan tumbuh subur pada
semua lapisan masyarakat.
Akibatnya, rekrutmen kepemimpinan lewat pemilu atau pilkada
justru hanya menghasilkan pemimpin yang umumnya karbitan, tidak berkarakter,
tidak berkompetensi, serta korup. Sebaliknya, telah mewabah di kalangan para
elite politik sikap machiavellian, kolusi, nepotisme, dan politik uang.
Dari optik ekonomi, implementasi pasar bebas membuat
perekonomian nasional nyaris dikuasai asing, gelombang privatisasi terjadi
tanpa kendali, kedaulatan ekonomi terampas oleh kaum kapitalis, industri
nasional pun rontok karena kalah bersaing.
Pada ranah hukum kita menyaksikan tumpang tindihnya fungsi
institusi penegak hukum, maraknya mafia dan perdagangan hukum, politisasi
hukum, serta terbengkalainya beberapa kasus besar pelanggaran hukum.
Ujungnya bermuara pada aspek budaya yang mencuatkan perilaku
individualisme; materialisme; hedonisme; konsumtivisme; korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN); fanatisme sempit; fundamentalisme; radikalisme serta
anarkisme; bahkan terorisme.
"Banyak hal yang masih belum kita ketahui mengenai
bangsa Indonesia ini, sudah cukup banggakah kita mengaku Indonesia dengan
ketidaktahuan ini, sudah cukup beranikah kita mengaku Indonesia dengan
ketidakberanian kita bertindak menegakkan ke Indonesia an kita sendiri? jangan
pernah berharap akan tetap ada bangsa ini jika kita tidak mengetahui tentang
bangsa ini dan apa yang mau kita pertahankan atas ketidaktahuan kita."
Sekedar berbagi masalah saya saja...
Belajar dan berbagi untuk Indonesia lebih baik, Salam SOBAT
Komentar