Alkisah ketika seekor ikan arwana besar mendapati dirinya berada
dalam sebuah akuarium besar bersama seekor ikan kecil lincah berwarna keemasan.
Tanpa menunggu waktu dan ragu-ragu, arwana bergegas melompat untuk memangsa si
ikan kecil itu. Namun apa yang terjadi? Ikan kecil itu tidak tersentuh sama
sekali dan tetap bebas berenang kesana kemari. Ternyata arwana itu bukannya
mendapati daging empuk yang renyah tetapi terbentur kokohnya pembatas yang
terbuat dari kaca. Dalam aquarium ternyata sengaja dipasang penyekat tembus
pandang agar arwana tidak bisa memangsa ikan kecil itu. Berkali-kali sarwana
melompat dan berusaha memburu, berkali-kali pula kepalanya membentur kaca
penyekat itu. Berhari-hari usaha pemburuan dilakukan, semuanya gagal dan
sia-sia.
Setelah beberapa minggu berlalu, kaca pembatas itu dilepas dan
apakah yang terjadi? Arwana itu tidak lagi memiliki hasrat memangsa si ikan
kecil walaupun ia berenang kesana-kemari mendekatinya. Arwana itu tidak sadar
bahwa pembatas sudah tidak ada. Bahkan arwana tidak mencoba untuk melompat
lebih tinggi lagi untuk melampaui penyekat itu. Ia masih percaya bahwa kaca
penyekat itu masih terpasang. Yang ada dalam benak arwana adalah kegagalan dan
kesakitan ketika akan bergerak mendekati ikan kecil. Awana tidak pernah berpikir
bahwa perubahan telah terjadi, pembatas antara dirinya dan si kecil telah
hilang.
Belajar dari kisah itu, terkadang kita sering menjumpai hal yang
sama dialami oleh sebagian besar masyarakat kita yang cenderung skeptis dan
pesimis dalam memandang Indonesia masa depan. Bangsa ini shock dan terkaget-kaget dengan perubahan
jaman yang semakin modern dan penuh persaingan. Setelah ditempa krisis ekonomi
dan perubahan politik, dari otoritarian menjadi demokratis, masyarakat justru
mengalami disorientasi arah. Keterbukaan dan demokrasi justru menyebabkan
mereka kebingungan bersikap dan berperan secara sosial.
Rasa optimisme untuk maju dan berkembang di masyarakat telah
luntur, selain karena faktor ketidaksiapan SDM, juga akibat perspektif negatif
yang dibangun oleh media (televisi, koran, radio). Media cenderung mengekspos
problem daripada sikap positif. Contohnya ketika semestinya
masyarakat disuguhkan berita positif tentang kegiatan sidak oleh Wamenkumham
dan Badan Narkotika Nasional untuk memberantas praktek mafia narkoba di
penjara, media malah membesar-besarkan berita penamparan kepada sipir daripada
esensi penyidakan itu sendiri.
Jika kondisi ini tidak segera dihentikan, jangan salahkan jika
perilaku sebagian besar masyarakat kita akan seperti kisah ikan arwana di atas.
Karena perilaku kita, sebagaimana dikemukakan oleh Dj. Schwartz, sangat
dipengaruhi oleh gambaran pemikiran kita. Untuk itu, pemimpin bangsa ini harus
segera merubah keterpurukan dengan optimisme baru. Ajak masyarakat agar
berhenti mengeluh dan rubah paradigma ‘berbicara Indonesia berarti berbicara
tentang keluhan’.
Lalu apa yang harus dilakukan agar rakyatnya atau bawahannya
percaya dengan ajakan pemimpinnya? Pertama, ucapan
(janji) pemimpin harus sesuai dengan tindakannya. Ketika pemimpin menyerukan disiplin
kerja, maka dirinya dulu yang harus disiplin dalam bekerja. Ketika menyerukan
teman – teman karyawan untuk berprestasi, maka pemimpin harus dapat menunjukkan
dirinya dapat berprestasi baik di tengah-tengah masyarakat. Seperti salah
satunya yang dicontohkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (http://alix.sch.id/alix/sd/artikel/shalahuddin-al-ayyubi-pemimpin-perang-yang-cerdas-nurani.html
) yang tidak hanya disegani dan dihormati oleh sahabat – sahabatnya namun juga
oleh lawan-lawannya.
Kedua, pemimpin
harus turun ke bawah bersama timnya membangun harapan baru dengan membuat policy yang
menyejahterakan. Hal ini dapat dlihat dalam nilai-nilai organisasi perusahaan
Zappos (http://about.zappos.com/our-unique-culture/zappos-core-values),
yaitu menciptakan lingkungan kerja yang ternyaman di dunia. Sehingga pimpinannya
sama-sama bekerja dengan timnya untuk membuahkan hasil kerja yang “WOW”. Akan sangat
berbeda pemandangannya dengan kantor-kantor pemerintah atau BUMN dimana seorang
pemimpin memiliki ruangan yang sangat besar, namun ia seorang diri dan jauh
dari staf atau bawahannya. Sehingga dalam pengambilan keputusan pun akhirnya
dirinya lebih mengutamakan dirinya sendiri dibandingkan dengan staf atau
bawahannya.
Ketiga, selain
kapasitas, pemimpin tidak boleh kehilangan kreativitas dan inspirasi bagi
timnya. Setiap tindakannya harus dapat menginspirasi dan menggerakkan orang
lain untuk berbuat hal sama sehingga optimisme secara kolektif dapat terbangun.
Kita terkadang tidak sadar bahwa untuk menjadi tim dan organisasi yang besar
dan eksis, membutuhkan usaha panjang (lama) dan ketahanan dalam membangun
sistem. Seperti dicontohkan oleh negeri Cina. Mereka membutuhkan waktu sekitar
300 tahun lebih untuk menata batu hingga menjadi benteng raksasa yang memagari
negerinya dari serbuan musuh. Bayangkan, jika pemimpin Cina saat itu tidak
memiliki kepercayaan bahwa negerinya akan eksis untuk waktu yang lama. Sehingga
dibutuhkan “mimpi” yang bukan hanya untuk hidup diri sang pemimpin saja, namun “mimpi”
yang tidak ada batasnya yang mengarahkan pada kebaikan semua pihak untuk di
masa yang akan datang, seperti puisinya Chairil Anwar ( http://chairil-anwar.blogspot.com/
), Aku Ingin Hidup 1000 Tahun lagi, tak heran jika karya-karyanya hingga saat
ini masih “hidup” dan dibaca oleh jutaan orang baik di dalam dan luar negeri.
Semoga kita menyadari potensi terbaik selalu dalam diri kita, tinggal bagaimana kita dapat mengarahkan segala yang terbaik itu dalam karya yang mendatangkan manfaat kebaikan untuk diri dan orang lain, tetap berkarya untuk 1ndONEsia lebih baik (wicaksana, 2013)
Komentar