Langsung ke konten utama

GURU dan Pendangkalan Makna


Sore hari sedang menuju perjalanan pulang ke kantor, terdengar lagu “Umar Bakrie” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals di radio mobil.

Umar Bakri Umar Bakri
Pegawai negeri
Umar Bakri Umar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Umar Bakri Umar Bakri
Banyak ciptakan menteri
Umar Bakri
Profesor dokter insinyurpun jadi
(Bikin otak orang seperti otak Habibie)
Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri
Seperti dikebiri

Tiba-tiba ada keinginan menulis mengenai GURU. Namun bukan masalah ekonomi dan social seorang guru yang dilukiskan di lagu Umar Bakri, namun lebih kepada filosofis makna dari kata GURU itu sendiri.

Jika kita lihat dari data statistik yang ada sekitar kurang lebih 300.000 guru yang tersebar dengan tidak merata dari Indonesia barat ke timur. Dengan jumlah terbanyak berada di kawasan Indonesia barat. (sumber: http://nign.jardiknas.org/cont/data_statistik/index.php). Hal ini juga terkat dengan  artikel tentang akan kelebihan guru di Indonesia (http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/18/13502764/Indonesia.Bakal.Kelebihan.300.000.Guru), jika dilihat dari tulisan tersebut, sepertinya makna dan konsep GURU menjadi dangkal. Jelas yang disasar pemerintah bukan mengembalikan makna GURU, namun dijadikan mesin pencetak manusia-manusia Indonesia yang berakal dan berpikiran namun tidak bernurani. Belum ada lagi bicara mengenai “hemat”nya biaya. Sungguh luar biasa tokoh yang mulia ini dianggap menghabiskan biaya Negara. Hal ini menimbulkan rasa keingintahuan mengenai makna GURU.

GURU (dari Sanskerta: yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam agama Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual/kejiwaan murid-muridnya.

Sedangkan dalam agama Buddha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran. Murid seorang guru memandang gurunya sebagai jelmaan Buddha atau Bodhisattva.
Dalam agama Sikh, guru mempunyai makna yang mirip dengan agama Hindu dan Buddha, namun posisinya lebih penting lagi, karena salah satu inti ajaran agama Sikh adalah kepercayaan terhadap ajaran Sepuluh Guru Sikh. Hanya ada sepuluh Guru dalam agama Sikh, dan Guru pertama, Guru Nanak Dev, adalah pendiri agama ini.

Orang India, China, Mesir, dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapat keselamatan dan dihormati bahkan lebih dari orang tua mereka.

Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Ketika menjadi bahasa Indonesia, Guru kehilangan makna, dari penuntun yang tidak hanya ilmu namun juga agama, menjadi hanya berurusan dengan terminology sekolahan. Kata-kata mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik merupakan kata kerja yang semuanya berpusat pada peserta didik. Namun bukannya menjadi teladan bagi para peserta didiknya. Tidak heran peran guru tidak beda jauh dengan peran komandan di tentara, yaitu perintah.

Berdasarkan bahasa aslinya dari sansekerta, mengatakan bahwa arti guru adalah berat. Memang, bukanlah hal yang mudah menyandang predikat sebagai guru. Dan tidak semua orang mudah menyandang gelar sebagai GURU. Terlepas permasalahan social ekonomi yang ada di Indonesia, kita akan melihat guru sebagai tokoh yang sentral, utama dan sangat berpengaruh bukan dari apa yang diajarkan namun terlebih lagi dari apa yang ia lakukan.

Jika dikatakan penyebabnya adalah masalah ekonomi guru yang belum sejahtera, sangatlah ironi. Apakah dengan mensejahterakan ekonomi guru saja akan meningkatkan makna dan kualitas guru? Jawabnya tentu saja TIDAK. Jika menilik perjuangan orang-orang yang disebut GURU dari berbagai terminology di atas, tentulah guru bukan orang yang sejahtera secara ekonomi, namun sejahtera nuraninya. Sehingga kehadirannya ditengah-tengah masyarakat akan memberikan penerangan, mambawa kesejahteraan bagi umat manusia.
Sedangkan dalam Islam menggambarkan betapa eratnya hubungan akal dan hati “Oleh itu, bukankah ada baiknya mereka mengembara di muka bumi supaya - dengan melihat kesan-kesan yang tersebut - mereka menjadi orang-orang yang ada hati yang dengannya mereka dapat memahami (ya’qiluuna bihaa), atau ada telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? (Tetapi kalaulah mereka mengembara pun tidak juga berguna) kerana keadaan yang sebenarnya bukanlah mata kepala yang buta, tetapi yang buta itu ialah mata hati yang ada di dalam dada.” (Al-Hajj:4)

Jika dikaitkan dengan seorang guru, akal, pikiran dan pengalaman tidaklah cukup untuk menjadi seorang guru. Namun dibutuhkan adalah pikiran yang berasal dari hati. Semoga kita semua dapat memaknai kata GURU dengan lebih baik lagi dan dapat menempatkan diposisi yang mulia bagi guru-guru yang memang layak mendapatkannya. Jika memang masih belum dirasa sanggup menyandang predikat seorang GURU, mungkin nama yang layak yang bisa diberikan adalah PENDIDIK atau PENGAJAR sudahlah cukup. Berkarya untuk INDONESIA! (Wicaksana, 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga