Perubahan diri atau pengembangan personal sering menjadi topik hangat dalam dunia pengembangan SDM (human resource development). Muncul baik dalam bentuk buku, artikel, pelatihan, seminar, dan sekedar “free talk” semata. Dalam dunia yang menuntut mental kompetitif, perubahan diri akhirnya dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan persaingan antara manusia dalam mencapai prestasi… apapun.
Menurut Yodhia Antariksa, sejumlah pakar perilaku (behavioral expert) menyebut proses perubahan acap menjadi tidak efektif lantaran diawali dengan pendekatan weakness-based orientation. Sering juga disebut sebagai problem-based orientation. Maksudnya begini : inisiatif perubahan diawali dengan premis bahwa ada yang “salah” dalam diri kita atau organisasi kita. Bahwa diri kita atau organisasi kita memiliki banyak kekurangan (weakness) dan problem.
Untuk itulah kemudian kita melakukan serangkaian action untuk “mengobati” kelemahan itu, atau juga untuk mengobati problem tentang kita. Pendekatan problem-based atau weakness-based ini begitu merasuk dalam wacana manajemen selama ini. Begitulah kita lalu mengenai ilmu problem solving skills, atau competency gap analysis, atau juga beragam metode untuk menganalisa akar masalah (root cause problem analysis). Semua metode ini berangkat dari premis yang tadi itu : bahwa ada “kekurangan”, “penyakit” atau “problem” dalam diri kita atau organisasi kita, dan kita harus mengobatinya.
Dan aha, sejumlah studi menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu acapkali tidak efektif dalam membawa keunggulan kinerja atau personal. Sebabnya sederhana : pendekatan tersebut dengan mudah mendorong kita untuk terjebak dalam negative mindset and culture. Kita menghabiskan energi yang begitu banyak dan melelahkan untuk hanya berkutat pada kekurangan, pada kelemahan, pada problem (masalah) yang seolah-olah tak pernah kunjung selesai.
Pendekatan yang beorientasi pada problem dan weakness-based itu dengan mudah juga akan membawa kultur pesimisme dan men-discourage semangat kita. Kita menjadi pesimis sebab seolah-olah kita memiliki begitu banyak kelemahan/masalah. Dalam situasi ini, kita dengan mudah kehilangan inspirasi dan motivasi.
Itulah kenapa kini muncul pendekatan yang secara radikal berbeda dengan pendekatan diatas. Pendekatan baru ini acap disebut sebagai strenghts-based orientation. Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah : kita akan berhasil menuju ke arah yang lebih baik, jika inisiatif perubahan itu bertumpu pada kekuatan yang telah kita miliki saat ini. Kuncinya adalah ini : focus on your positive strenghts.
Jadi alih-alih menghabiskan energi untuk berfokus pada kekurangan (ingat : competency gap analysis) atau pada problem , kita justru harus mencari elemen kekuatan yang telah ada pada diri kita, atau elemen positif yang telah hadir inside us. Alih-alih menggunakan bahasa “root cause of problem”, kita harus menggunakan frasa “root cause of success” untuk melacak kisah keberhasilan yang pasti sudah pernah ada dalam diri kita.
Konkritnya : alih-alih meratapi kelemahan diri Anda terus menerus, mengapa tidak mengingat apa kira-kira kekuatan (strenghts) yang ada dalam diri Anda, atau pengalaman positif yang pernah Anda miliki (pasti dong Anda punya kelebihan atau pengalaman positif). Nah, studi menunjukkan bahwa kinerja individual akan jauh melesat jika kemudian “poin-poin positive” yang sudah ada itu terus diakumulasi, diduplikasi dan terus dimekarkan menuju titik yang optimal.
Secara ekstrem pendekatan ini mau mengatakan hal seperti ini : forget your weakness/problems, and just focus on your strenghts/positive expectations. Find your positive areas and discover your bright spots. Dan ajaibnya, beragam studi menunjukkan premis semacam itu ternyata telah berhasil mengubah banyak individu dan organisasi melesat menjadi lebih sukses.
Jadi mulai hari ini, jika Anda ingin menjadi pribadi yang lebih sukses, selalu ingatlah kalimat ini : always, and always focus on your bright spots (dicuplik dari artikel Yodhia Antariksa)
Komentar