Langsung ke konten utama

OBOR



Di suatu desa pedalaman yang belum teraliri listrik, seorang buta pada satu malam pamitan setelah berkunjung ke rumah rekannya di desa sebelah. Sang tuan rumah lalu membekali teman butanya itu dengan sebuah obor. Tetapi si buta malah bertanya, "Untuk apa saya dibekali obor, toh tadi saat saya kemari tanpa oborpun bisa ke rumahmu!. Bukankah sama saja bagi saya, pakai obor atau tanpanya, saya tidak bisa melihat!". Dengan penuh pengertian dan kehalusan, rekannya membalas, "Dengan obor ini, agar orang lain bisa melihat kamu, dan supaya mereka tidak menabrakmu.". Akhirnya si buta itu menerima tawaran temannya.

Di perjalanan pulang, seorang pejalan kaki menabrak si buta itu. Dalam keadaan kaget, si buta menyalak, "Hei, kamu kan punya mata! beri jalan buat orang buta dong!", tanpa berkata-kata lagi, si penabarak itu berlalu begitu saja. Beberapa puluh meter setelah tabrakan itu, kali ini seorang pejalan kaki lainnya juga menabrak si buta. Ia menjadi lebih marah dibandingkan dengan tabrakan pertama, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa obor ini supaya kamu bisa lihat bahwa ada orang di depanmu", kata si buta marah.

Pejalan itu membalas dengan agak keras, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, obormu sudah padam!". Si buta tertegun sejenak. Namun menyadari situasi tersebut, si pejalan kaki itu berubah menjadi lembut, dan berkata, "Oh, maaf, sayalah yang `buta', saya tidak melihat bahwa anda adalah orang buta". Si buta tersipu dan menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya...., juga atas kata-kata yang kasar tadi." Kemudian dengan tulus, si penabrak itu membantu menyalakan kembali obor yang dibawa oleh si buta. Keduanya pun lalu pergi melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Dalam perjalanan berikutnya, pejalan lain juga menabrak orang buta itu. Tetapi kali ini, si buta lebih berhati-hati dalam berkata-kata, lalu dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah obor saya padam?". Si penabrak itu menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.". Sejenak suasana menjadi hening, dan secara bersamaan keduanya bertanya, "Apakah anda orang buta?".

Secara serempak mereka pun saling menjawab, "Iya...,". Tawapun keluar dari mulut mereka masing-masing. Setelah itu, mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali obor mereka yang jatuh. Berselang kemudian, melintas pula seorang pejalan kaki lain dalam keremangan malam itu, dan nyaris saja ia menabrak kedua orang buta yang sedang mencari-cari obornya. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang itu, "Rasanya saya juga perlu membawa obor, agar saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, dan orang lain pun bisa melihat saya".

Begitulah perumpaman orang buta dan obornya. Obor melambangkan pelita kehidupan. Membawa obor berarti melindungi sesorang dan pihak lain dari berbagai kemungkinan tabrakan atau benturan. Sikap awal si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Ia selalu menunjuk ke arah orang lain, ia tidak menyadari bahwa saat ia menunjuk kesalahan orang lain, sebenarnya jarinya lebih banyak ditujukan pada dirinya. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar untuk menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kekurangannya dan dengan adanya pengertian pihak lain, ia pun belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama adalah kebanyakan orang yang kurang kesadaran dan peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun bisa melihat. Penabrak kedua adalah mereka yang seolah berseberangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, baik sengaja maupun atau tidak. Mereka bisa menjadi guru bagi kita, karena tak seorang pun yang ingin menjadi buta, dan sudah seharusnya menyadari kekurangannya. Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama tidak berpengetahuan. Betapa sulitnya menyalakan obor jika kita tidak bisa melihatnya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya.

Bertamu adalah tempat sementara, dan kita akan pulang ke rumah sebenarnya. Jika seseorang masih minim pengetahuan dan enggan mendengar anjuran karena merasa bahwa apa yang dimiliki cukup bisa mengantarkan dirinya menuju perjalanan pulang, hal itu bisa membuatnya tertabrak-tabrak. Oleh karenanya setiap manusia perlu penerangan yang cukup, untuk itu Allah telah berfirman, "(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran, 3:138).

Obor itu adalah Al Qur'an, yang akan menuntun seseorang sampai pada tujuannya. Kadang kebanyakan manusia merasa dirinya telah mengetahui sesuatu hal sehingga menganggap dirinya telah benar, padahal pengetahuan tentang sesuatu masih terbatas, akibatnya bisa mencelakakan orang lain. Bahkan mereka kerap berbantah-batahan untuk sesuatu hal tanpa didukung dengan pengetahuan yang memadai, seperti peringatan-Nya, "Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan." (QS. Luqman, 31:20). Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus belajar agar seseorang menjadi makin melek, makin berpengetahuan dan pada gilirannya makin bijaksana.

Orang terakhir yang melintas adalah mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita. Orang yang mengetahui tidak mudah mengatakan sesuatu salah, kalaupun ia menjumpai hal itu, dengan kebijaksanaannya seseorang akan membimbing orang yang belum tahu menjadi tahu tanpa mengurangi kesantunannya.

Bagi orang-orang yang telah Allah berikan pengetahuan, ibarat obor yang siap menyalakan pelita-pelita lainnya, pepatah mengatakan, "Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup karena pelita pengetahuannya tidak akan pernah habis terbagi.". Buta mata bukanlah akhir segalanya, karena ia masih memiliki hati yang akan menuntun pada jalan pada kebaikan.

Tetapi bila hati yang buta, maka rugilah perjalanan sesorang. "Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (QS. Al Hajj, 22:46). Jika seseorang buta pengetahuan, masih mungkin berubah bila seseorang mau belajar. Namun jika buta hati, tentu yang baik menjadi buruk, dan buruk terlihat baik atau sulit baginya menerima yang haq. Bila sudah demikian, maka seperti yang Allah telah firmankan, "Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit." (QS. Al An'aam, 6:125).

Kita tidak bisa mengubah orang buta menjadi melihat, atau orang melihat tetapi buta lalu kita membuatnya agar melihat, karena semuanya telah Dia ketahui atas apa yang telah mereka kerjakan, kita hanya bisa mengingatkan dan mengajaknya. "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami)." (QS. Ar Ruum, 30:53).

Bila kita telah mengetahui betapa obor atau pelita itulah yang mengantarkan seseorang pada jalan pulangnya, maka jadilah pelita yang dengan cahayanya bisa menerangi sekeliling kita. Mudah-mudahan pelita itu adalah kita semua. Amin (Fauzi Nugroho)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Soerabaia 45 (1990)

Soerabaia 45  adalah  Film perjuangan   Indonesia  yang dirilis pada tahun  1990 . Film yang disutradari oleh  Imam Tantowi  ini dibintangi antara lain oleh  Nyoman Swadayani ,  Leo Kristi  dan  Usman Effendy . Kisah perang yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November di Surabaya. Antara lain tokoh pembakar semangat, Bung Tomo, perobekan bendera Belanda, tertembaknya jendral Inggris dan lain lain. Film ini seolah direkonstruksi ulang sebagai sebuah visual ulang kisah heroik itu dari kacamata rakyat biasa. Soerabaia `45 menceritakan kemarahan rakyat Surabaya yang meledak begitu mengetahui bahwa pasukan Sekutu membawa misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Perlawanan bersenjata pun dikobarkan hingga terbunuhnya pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur yaitu Brigadir Jenderal Mallaby. Surabaya  | Berbekal materi yang diadaptasi dari buku Peristiwa 10 November 1945 yang diterbitkan Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang diprakarsai oleh almarhum Bapak Blegoh Soema