Pagi tadi saya merasakan banyak mendapatkan pencerahan dari sebuah talk show di Smart FM jakarta di 95.9 FM. Berbicara mengenai tentang BOSAN. Dalam pembicaraan tersebut inti dari permasalahan bosan adalah dari DIRI kita sendiri yang tidak dapat memaknai semua peristiwa yang telah dilalui. Termasuk dalam bekerja. sebelumnya terima kasih untuk SMART FM sudah memberikan inspirasi untuk tulisan ini.
Bang Ucok, di mata orang banyak barangkali hanyalah seorang tukang tambal ban yang mangkal di Jalan TB Simatupang, Jakarta. Tapi bagi saya dia lebih dari sekadar tukang tambal ban. Apa yang dikerjakannya memiliki nilai plus bagi hidup saya.
Dia adalah orang yang berjasa bagi saya - setidaknya pada hari itu - saat ban mobil saya bocor. Bayangkan jika ban mobil saya tidak segera ditambal, bisa jadi hal-hal buruk akan menimpa saya, seperti kecelakaan lalu lintas. Pekerjaan dia juga memuluskan agenda pekerjaan saya hari itu. Ucok juga membuat saya bisa segera berkumpul kembali dengan istri dan anak saya di rumah.
Orang seringkali merasa rendah dengan pekerjaannya. Barangkali dia berkata, Ah, aku ini hanya karyawan biasa. Aku hanya seorang satpam. Aku hanya seorang pembersih toilet. Aku hanya tukang kebun. Aku hanya seorang pembantu rumah tangga. Aku hanya seorang guru, dan sebagainya. Benarkah demikian?
Ratusan tahun yang lalu, Confucius pernah memberi nasihat begini, “Carilah pekerjaan yang betul-betul Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebutnya bekerja.” Senada dengan itu Malcolm Forbes pernah berucap; “Kesalahan terbesar yang dapat dilakukan seseorang adalah tidak berusaha mencapai kesuksesan dengan cara mengerjakan apa yang betul-betul ia senangi.”
Bayangkan skenario berikut ini...
Sepuluh orang dari kampung dibawa ke Jakarta. Mereka berumur masing-masing 21 tahun, pendidikan terakhir SMP, dan seumur hidup mereka belum pernah melihat “benda” bernama Komputer. Sesampai di Jakarta, mereka mengikuti kursus Komputer selama enam bulan. Setelah selesai kursus mereka bekerja pada sebuah perusahaan dimana pekerjaan utama mereka adalah mengetik setiap hari. Setelah enam bulan, kualitas kerja mereka dievaluasi. Kira-kira menurut Anda, apakah kualitas mengetik mereka semua sama?
Jawabannya, tidak sama! Ada yang sangat baik, ada yang cukup baik, ada pula yang buruk. Pertanyaanya adalah, mengapa bisa demikian? Bukankah mereka memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sama? Mereka juga kursus di tempat yang sama, dimana materi dan staf pengajarnya semua sama. Lalu mengapa hasil akhir bisa berbeda?
Bertolak dari cerita sederhana di atas, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat lebih jauh manfaat dari pekerjaan kita bagi sesama. Siapa saja orang yang kualitas hidupnya menjadi lebih baik karena apa yang Anda lakukan? Apakah pekerjaan Anda sungguh memberikan nilai plus (bukan nilai minus) bagi pekerjaan dan hidup orang lain? Apa makna pekerjaan bagi Anda? Jawaban Anda atas pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut tampaknya akan menentukan seberapa berarti pekerjaan Anda saat ini di mata Anda. Sejauh pengamatan saya, cara pandang kita terhadap pekerjaan kita akan sangat menentukan prestasi kerja kita.
Secara sederhana, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah; karena terdapat perbedaan talenta atau bakat khusus dari masing-masing orang serta kemampuan dalam mekanainya pun akan berbeda kedalamannya.
Menurut Benson Smith & Tony Rutigliano, kemampuan tidak dapat dilalui melalui kursus saja, pengalaman ataupun pendidikan. Namun penghayatan terhadap setiap saatnya ketika ia bersentuhan dengan pekerjaannya yang membuat ia akan lebih dapat menghasilkan karya terbaik. Maka orang ini akan mengikuti kursus dengan penuh keceriaan. Ia mengerjakan semua pekerjaan kantor dengan sukacita dan tanpa paksaan. Ia menjadi ketagihan, sampai-sampai lupa makan dan lupa tidur. Inilah keadaan yang dikenal dengan istilah flow – mengalir / hanyut.
Seorang komposer melukiskan kondisi “Flow” seperti ini, “Berada dalam suatu keadaan ekstase sampai disuatu titik di mana Anda merasa seolah-olah Anda hampir-hampir tidak nyata. Saya pernah mengalami hal ini berulang kali. Seakan-akan tangan saya bukan lagi milik saya, dan saya merasa tidak terlibat apa-apa. Saya hanya duduk mematung seraya menonton dalam keadaan takjub dan kagum. Gubahan itu seolah-olah mengalir dengan sendirinya.”
Istilah flow, pertama kali diperkenalkan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi dari University of Chicago lewat bukunya yang terkenal “Flow: The Psychology of Optimal Experience.” Di situ ia menampilkan hasil penelitiannya selama dua puluh tahun, terhadap kesaksian berbagai macam orang dari berbagai macam profesi: Penari, pendaki gunung, insinyur, ahli bedah, pelukis, pemahat, pemain catur, musisi, atlit, ice skater, petani, guru, penulis, ibu rumah tangga dan sebagainya.
Dari penelitian tersebut ia mendapatkan benang merah pengalaman yang sama dari orang-orang-orang yang berbeda, bahwasanya kualitas kerja mereka mencapai hasil terbaik ketika mereka mengalami suatu peleburan total atau hanyut dalam apa yang sedang mereka kerjakan. Perasaan seperti itu memabukkan dan menimbulkan ketagihan seperti tengah melayang atau mengalir seperti air, oleh karenanya ia dinamakan flow.
Dapat ditarik benang merahnya adalah kinerja terbaik dihasilkan pada saat seseorang mengerjakan sesuatu dengan senang hati atau berada dalam zona flow atau dapat memaknai setiap apapun yang dilakukannya. Menurut saya ada dua esensi dasar dari sorang bekerja adalah pertama dapat memberi, yaitu memberikan kemampuan terbaik dengan terus belajar dan mengembangkan diri tanpa ada rasa rendah dan selalu memiliki pikiran apapun yang dikerjakan oleh diri kita dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain dan lingkungan. Memberi ini merupakan suatu ibadah yang tak terkira kebermanfaatannya buat diri, orang lain dan lingkungan. Kedua, Aktualisasi Diri, bekerja dengan penuh suka cita, mencintai apa yang dikerjakannya, sesuai minat dan kemampuannya, ia akan memberikan hasil terbaik dalam setiap karya-karyanya dalam bekerja, tidak peduli apakah dia tukang sapu, pedagang asongan, satpam, office boy bahkan hingga CEO sekalipun. Diri berkembang, orang lain pun merasakan kebermanfaatan akan hadirnya diri kita, dan lingkunganpun akan semakin baik.
Apakah kita hanya ingin menjadi orang-orang biasa saja atau kita ingin menjadi “sesorang” yang menghargai kemampuan dan perasaan anda untuk menghasilkan karya terbaik ? semua ada di DIRI kita…selamat kembali berselancar dalam kehidupan !!
Wicaksana, 10 July 2009
Bang Ucok, di mata orang banyak barangkali hanyalah seorang tukang tambal ban yang mangkal di Jalan TB Simatupang, Jakarta. Tapi bagi saya dia lebih dari sekadar tukang tambal ban. Apa yang dikerjakannya memiliki nilai plus bagi hidup saya.
Dia adalah orang yang berjasa bagi saya - setidaknya pada hari itu - saat ban mobil saya bocor. Bayangkan jika ban mobil saya tidak segera ditambal, bisa jadi hal-hal buruk akan menimpa saya, seperti kecelakaan lalu lintas. Pekerjaan dia juga memuluskan agenda pekerjaan saya hari itu. Ucok juga membuat saya bisa segera berkumpul kembali dengan istri dan anak saya di rumah.
Orang seringkali merasa rendah dengan pekerjaannya. Barangkali dia berkata, Ah, aku ini hanya karyawan biasa. Aku hanya seorang satpam. Aku hanya seorang pembersih toilet. Aku hanya tukang kebun. Aku hanya seorang pembantu rumah tangga. Aku hanya seorang guru, dan sebagainya. Benarkah demikian?
Ratusan tahun yang lalu, Confucius pernah memberi nasihat begini, “Carilah pekerjaan yang betul-betul Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebutnya bekerja.” Senada dengan itu Malcolm Forbes pernah berucap; “Kesalahan terbesar yang dapat dilakukan seseorang adalah tidak berusaha mencapai kesuksesan dengan cara mengerjakan apa yang betul-betul ia senangi.”
Bayangkan skenario berikut ini...
Sepuluh orang dari kampung dibawa ke Jakarta. Mereka berumur masing-masing 21 tahun, pendidikan terakhir SMP, dan seumur hidup mereka belum pernah melihat “benda” bernama Komputer. Sesampai di Jakarta, mereka mengikuti kursus Komputer selama enam bulan. Setelah selesai kursus mereka bekerja pada sebuah perusahaan dimana pekerjaan utama mereka adalah mengetik setiap hari. Setelah enam bulan, kualitas kerja mereka dievaluasi. Kira-kira menurut Anda, apakah kualitas mengetik mereka semua sama?
Jawabannya, tidak sama! Ada yang sangat baik, ada yang cukup baik, ada pula yang buruk. Pertanyaanya adalah, mengapa bisa demikian? Bukankah mereka memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sama? Mereka juga kursus di tempat yang sama, dimana materi dan staf pengajarnya semua sama. Lalu mengapa hasil akhir bisa berbeda?
Bertolak dari cerita sederhana di atas, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat lebih jauh manfaat dari pekerjaan kita bagi sesama. Siapa saja orang yang kualitas hidupnya menjadi lebih baik karena apa yang Anda lakukan? Apakah pekerjaan Anda sungguh memberikan nilai plus (bukan nilai minus) bagi pekerjaan dan hidup orang lain? Apa makna pekerjaan bagi Anda? Jawaban Anda atas pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut tampaknya akan menentukan seberapa berarti pekerjaan Anda saat ini di mata Anda. Sejauh pengamatan saya, cara pandang kita terhadap pekerjaan kita akan sangat menentukan prestasi kerja kita.
Secara sederhana, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah; karena terdapat perbedaan talenta atau bakat khusus dari masing-masing orang serta kemampuan dalam mekanainya pun akan berbeda kedalamannya.
Menurut Benson Smith & Tony Rutigliano, kemampuan tidak dapat dilalui melalui kursus saja, pengalaman ataupun pendidikan. Namun penghayatan terhadap setiap saatnya ketika ia bersentuhan dengan pekerjaannya yang membuat ia akan lebih dapat menghasilkan karya terbaik. Maka orang ini akan mengikuti kursus dengan penuh keceriaan. Ia mengerjakan semua pekerjaan kantor dengan sukacita dan tanpa paksaan. Ia menjadi ketagihan, sampai-sampai lupa makan dan lupa tidur. Inilah keadaan yang dikenal dengan istilah flow – mengalir / hanyut.
Seorang komposer melukiskan kondisi “Flow” seperti ini, “Berada dalam suatu keadaan ekstase sampai disuatu titik di mana Anda merasa seolah-olah Anda hampir-hampir tidak nyata. Saya pernah mengalami hal ini berulang kali. Seakan-akan tangan saya bukan lagi milik saya, dan saya merasa tidak terlibat apa-apa. Saya hanya duduk mematung seraya menonton dalam keadaan takjub dan kagum. Gubahan itu seolah-olah mengalir dengan sendirinya.”
Istilah flow, pertama kali diperkenalkan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi dari University of Chicago lewat bukunya yang terkenal “Flow: The Psychology of Optimal Experience.” Di situ ia menampilkan hasil penelitiannya selama dua puluh tahun, terhadap kesaksian berbagai macam orang dari berbagai macam profesi: Penari, pendaki gunung, insinyur, ahli bedah, pelukis, pemahat, pemain catur, musisi, atlit, ice skater, petani, guru, penulis, ibu rumah tangga dan sebagainya.
Dari penelitian tersebut ia mendapatkan benang merah pengalaman yang sama dari orang-orang-orang yang berbeda, bahwasanya kualitas kerja mereka mencapai hasil terbaik ketika mereka mengalami suatu peleburan total atau hanyut dalam apa yang sedang mereka kerjakan. Perasaan seperti itu memabukkan dan menimbulkan ketagihan seperti tengah melayang atau mengalir seperti air, oleh karenanya ia dinamakan flow.
Dapat ditarik benang merahnya adalah kinerja terbaik dihasilkan pada saat seseorang mengerjakan sesuatu dengan senang hati atau berada dalam zona flow atau dapat memaknai setiap apapun yang dilakukannya. Menurut saya ada dua esensi dasar dari sorang bekerja adalah pertama dapat memberi, yaitu memberikan kemampuan terbaik dengan terus belajar dan mengembangkan diri tanpa ada rasa rendah dan selalu memiliki pikiran apapun yang dikerjakan oleh diri kita dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain dan lingkungan. Memberi ini merupakan suatu ibadah yang tak terkira kebermanfaatannya buat diri, orang lain dan lingkungan. Kedua, Aktualisasi Diri, bekerja dengan penuh suka cita, mencintai apa yang dikerjakannya, sesuai minat dan kemampuannya, ia akan memberikan hasil terbaik dalam setiap karya-karyanya dalam bekerja, tidak peduli apakah dia tukang sapu, pedagang asongan, satpam, office boy bahkan hingga CEO sekalipun. Diri berkembang, orang lain pun merasakan kebermanfaatan akan hadirnya diri kita, dan lingkunganpun akan semakin baik.
Apakah kita hanya ingin menjadi orang-orang biasa saja atau kita ingin menjadi “sesorang” yang menghargai kemampuan dan perasaan anda untuk menghasilkan karya terbaik ? semua ada di DIRI kita…selamat kembali berselancar dalam kehidupan !!
Wicaksana, 10 July 2009
Komentar